Agustus 16, 2008 in Humanity/Social
Reality of Life
Lama tidak menulis sesuatu, ada saja
yang terasa kurang, entah ini entah itu. Ya, banyak alasan seseorang tidak
menulis, banyak pula alasan mengapa seseorang menulis. Menulis merupakan sarana
yang indah untuk menyebarluaskan sesuatu hal yang ingin kita ingin agar orang
yang membacanya tahu akan apa yang terkandung dalam tulisan itu.
Hidup itu memang seperti ombak,
kadang pasang kadang surut, kalau lagi berjaya kita begitu bahagia, kalau lagi
ambruk, rasanya begitu menderita. Kalau kita pahami secara benar, segala
fenomena ini sebenarnya berakar dari pikiran kita sendiri. Mengapa bisa demikian? Coba kita sadari, kala kita
memikirkan sesuatu, kita ingin mendapatkannya, tetapi hasilnya tidaklah
sebagaimana yang kita inginkan, bukankah kita merasa sedih dan menderita. Andai
saja kita tidak memikirkannya, mungkin akar permasalahan itu tidak akan pernah
tumbuh menjadi sebuah pohon yang besar yang sekiranya akan menyulitkan diri
kita sendiri.
Berjumpa dengan yang kita tidak
senangi maupun berpisah dengan yang kita cintai, begitulah fenomena yang
senantiasa hadir dalam perjalanan kita mengarungi kehidupan ini. Tak ada orang yang sepenuhnya dapat senantiasa merasakan
kebahagiaan setiap hari dalam kehidupannya, ini juga berlaku bagi orang terkaya
di dunia ini. Kelak dan pasti, seseorang akan mengalami kesedihan, entah karena
hartanya dirampok, ditinggal orang yang dicintai (habisnya usia kehidupan),
sakit, tua, dan akhirnya harus mengalami tutup usia. Apa yang dapat kita
pelajari dalam hidup yang begitu singkat ini? Kita bukanlah makhluk abadi yang
senantiasa dapat mengikuti proses perubahan di dunia ini. Bahkan sangat sulit
untuk manusia di era masa kini mampu mencapai usia 100 tahun (hampir mustahil).
Kalau direnungkan, dapat mencapai usia 70 tahun saja sudah patut bersyukur.
Usia begitu singkat, manusia
berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan tanpa batas, ketika miskin berpikir, “besok
kita mau makan apa?“, ketika sudah masuk golongan menengah berpikir, “besok
makan di mana?“, ketika sudah kaya berpikir, “besok makan siapa?“.
Itulah realita kehidupan yang sulit dipungkiri, ada akar keserakahan dalam
diri, tak pernah puas dengan apa yang telah diperoleh. Kalau sudah memperoleh
apa yang diinginkan, niscaya akan melupakan maksud mulia yang dahulu pernah
diikrarkannya, misalnya, “kalau aku sudah kaya, aku mau membangun rumah
sakit, menyumbang ke yayasan, dan lain-lain“, yang kesemuanya itu pada
awalnya begitu indah, tetapi pahit pada akhir ceritanya. Sudah merupakan
sifat asal manusia, melupakan apa yang telah berlalu, terutama kenangan pahit.
Akan tetapi, kenangan indah pun terkadang dilupakan.
Ada contoh lain, misalnya ketika
kita masih lajang, bertemu dengan seorang wanita yang masih muda belia, dalam
hati kita berpikir, “alangkah bahagianya aku jika aku bisa hidup bersama dengan
putri jelita ini”. Ok, kemudian anda berhasil menikahinya, anda tetap bahagia.
Akan tetapi, sesungguhnya, paras cantik adalah alasan anda meminang wanita itu,
dan memang, ada pepatah yang mengatakan “cantik itu relatif, tapi, jelek itu
mutlak“. Wah, kalau begini dasar anda memilih pasangan anda, yakinlah anda
masih bahagia, tapi hanya untuk sementara waktu. Mengapa? Karena anda belum
menemukan tandingan dari putri jelita itu. Dunia ini memang tidak selebar daun
kelor, tapi dunia ini cukup luas untuk dihuni milyaran manusia di permukaannya.
Kalau ada seorang yang parasnya rupawan, pasti ada yang lebih rupawan lagi.
Anda tak bisa memastikan, “apakah saya masih bisa mencintai wanita ini
kelak, 10 tahun lagi, 20 tahun lagi, 30 tahun lagi, dst.“. Fisik adalah
harga mati yang pasti akan mengalami perubahan! Anda akan menyaksikan wanita
yang anda cintai keriput, mulai bongkok di usia senja. Ok, kalau orang sudah
tua ya pasti begitu. Bagaimana kalau sehabis kelahiran anak pertama, istri anda
itu tiba-tiba badannya melar? Apalagi kelahiran anak kedua? Bagaimana kalau
istri yang anda cintai adalah wanita yang doyan kehidupan glamor, pesta,
berdandan ala selebritis? Penghasilan perbulan anda lebih kecil daripada
kebutuhan istri anda, yang ternyata juga seorang wanita pemalas yang tidak
pernah mengasihani jerih payah suaminya? Mencampakkan suaminya ketika suaminya diambang
kemelaratan, yang tidak lain akibat istri durhaka itu?
Ok, anda mempunyai istri yang baik
budi, setia, tidak berfoya-foya, pandai, dan penyayang. Dapatkah anda
memastikan, perjalanan hidup buah hati (anak) anda selalu dalam kejayaan? Orang
tua senantiasa was-was akan keadaan yang menimpa anaknya. Entah dalam masa
menimba ilmu, berkarir, berumah tangga, dan lainnya. Contoh sederhana,
bagaimana bila buah hati anda mandek dalam karir menimba ilmu di sekolah, tidak
naik kelas, pemalas, hanya doyan bermain, menyukai permainan dan membenci buku,
senang bergaul dengan yang tidak pantas diajak bergaul dan menjauhi orang yang
pantas diajak bergaul, menyayangi teman sekolah yang buruk perilakunya dan
membenci guru yang pantas dihormatinya? Renungkanlah realita ini. Anda mungkin
yakin, jika orang tua baik, pasti anak baik, saya katakan, “belum tentu”.
Bagaimana jika anak anda tumbuh sebagai seorang pendusta besar? Yang parahnya,
anda tidak menyadari akan hal itu. Tak pelak, anak manja itu tumbuh dalam
perlindungan orang tua yang salah, yang kelak dan pasti akan menyebabkan
penderitaan yang berkepanjangan, di kemudian hari.
Ada orang yang berkata, “anak kecil
tidak mungkin berbohong”. Saya katakan, “pikiran anda sungguh sangat sempit
sekali…, kasihan kalau orang tua berpikir seperti ini, ini menandakan orang tua
tidak mempersiapkan diri secara baik untuk berprofesi sebagai orang tua yang
baik!”. Sedari seorang anak mempersiapkan diri untuk menginjak bangku sekolah,
sedari itu pula, sang anak telah siap untuk memasuki realita pergaulan yang
beragam dengan kondisi yang beragam, sedari itu pula kebohongan telah tertanam
dalam diri sang anak. Saya ingin bertanya, “apakah seorang koruptor, dahulunya
adalah seorang anak kecil? Apakah seorang perampok, dahulunya adalah seorang
anak kecil? Apakah seorang pembunuh, dahulunya adalah seorang anak kecil?”.
Jika ya, berarti anda telah menyadari realita ini, anak kecil dapat diibaratkan
sebagai bubuk semen yang baru saja dicampur dengan air, ia dapat diaduk, selama
diaduk dengan baik dan ditambahkan air (pelajaran yang baik), ia akan memiliki
sifat lunak. Bagaimana bila tidak diaduk dan ditambah air? Ia akan mengeras.
Kalau sudah begini, sebagai orang tua menangis darah pun sudah tidak berguna.
Jangan kira, anak kita nakal dan
malas, tidak patuh, tidak hormat dan ini dan itu, karena kita berpikir dia
masih kecil dan nanti kelak setelah dewasa pasti bisa berubah menjadi baik,
simsalabim, ia akan jadi orang bijak dan baik. Itu mustahil! Kehidupan ini
berjalan sebagaimana hukum fisika, “ada aksi, ada reaksi!”. Bagaimana mungkin
seorang wanita yang tidak kita kenal bisa menjadi istri kita dikemudian hari,
bila kita tidak pernah mau berkenalan dengan dia? Ini pasti lebih mudah dijawab
daripada menjawab soal berhitung.
Itulah realita hidup, senantiasa
dipenuhi dengan hal yang tidak pasti, dan selalu ada bumbu kesedihan di
dalamnya. Takkan ada orang yang dapat merasakan kebahagiaan sepanjang hayatnya.
Takkan ada orang yang selalu terpenuhi keinginannya. Pun, tak ada orang yang
kelak tidak akan ditinggalkan orang yang dicintainya. Tapi, satu hal yang
pasti, kita bisa memberikan kebahagiaan bagi orang lain. Niscaya, berkat
perbuatan memberikan kebahagiaan bagi orang lain, kita pun dapat merasakan
kebahagiaan itu. Dunia tidak akan memberi pada kita, jika kita tidak memutuskan
untuk memberi kepada dunia. Hukum aksi-reaksi selalu ada dalam kisah
petualangan hidup kita mengarungi dunia ini dalam lingkup usia manusia yang
begitu terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar