Senin, 06 Juli 2015

Loe Gue End, Samsara!



Loe Gue End, Samsara!
Siaowan

Dalam memberikan pemahaman Dhamma yang lebih mendalam pada kehidupan para umat, Prasadha Jinarakkhita Buddhis Institute (PJBI) kembali menghadirkan ceramah Dharma Duo Gurus yang kali ini diadakan pada Minggu (21/6/2015) dalam rangka perayaan Waisak 2559 BE/2015. Seperti biasa, pembicara pertama diisi oleh Ashin Kheminda sebagai tuan rumah, sedangkan pembicara kedua menghadirkan Venerable Guo Jun dari Vihara Mahabodhi (Puti Ge), Singapura. Keduanya membicarakan tema “1 Samsara 1000 Wajah”.
Sebelum ceramah dimulai, muda-mudi Dhammagavesi di PJBI yang belum lama terbentuk menampilkan drama “Lentera Hidupku” yang amat memikat hadirin dengan memberikan pemahaman yang benar akan arti berdana.
“Tujuan belajar Dhamma adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan kebahagiaan kita. Orang-orang mengejar kebahagiaan kekal padahal yang mereka dapat adalah penderitaan. Kesuksesan apa pun yang kita raih akan selalu dihantui ketidakpuasan yang pada akhirnya menjauhkan diri dari kebahagiaan,” ujar Ashin Kheminda.
Ketika kehidupan sudah stabil, orang cenderung cari selingkuh. Ketika sukses dalam karir, orang juga cenderung bekerja sampai larut malam demi anak dan istri tapi nyatanya toh juga tidak punya cukup waktu bersama dengan anak dan istrinya untuk membahagiakan mereka. Seseorang yang berada di puncak kesuksesan seperti manajer perusahaan mobil TATA yang besar pun bisa bertengkar dengan istri yang amat dicintainya dan malah memilih bunuh diri.
Ashin pun memberikan solusinya, “Kita harus memahami cara kerja hati dan pikiran. Jika kita dikuasai oleh keserakahan dan kemarahan, maka kita akan kehilangan obyektivitas kita. Pikiran yang tidak obyektif akan berakhir pada penderitaan. Persepsi kita terus berubah oleh karena itu jangan percaya pada persepsi karena terus berubah. Semua tidak kekal. Jadi, janganlah melekat karena segala sesuatu terus berubah. Yang tidak enak akan jadi enak lagi, yang enak bisa jadi tidak enak. Pemahaman bahwa semua anatta (kosong) dan selalu sabar (akan) membuat Anda sabar terhadap penderitaan, berdaya tahan dan damai. Loe Gue End dengan Samsara!”
Sesi kedua dilanjutkan oleh Venerable Guo Jun dengan piawai, “Samsara punya banyak wajah. Lahir, tua, sakit, mati, lalu berulang inilah samsara biologis. Semi, panas, gugur dan dingin lalu muncul, rusak dan lenyap adalah samsara metafisika. Lalu samsara ada pula yang muncul dalam wujud emosi, pikiran mengembara yang muncul dan lenyap. Ini adalah samsara psikologis. Bagi banyak orang, uang dan status adalah yang terpenting. Dan tanpanya, hidup tak ada maknanya.”
Venerable melanjutkan, segala penderitaan ini muncul karena kita tidak “hidup” (alive) untuk mendapat sebuah kehidupan (a life). Kebanyakan orang di dunia ini “tidak hidup (alive)”, semuanya bagaikan mayat hidup, menjalankan kehidupan secara mekanis seperti robot. “Buddha berjalan di muka bumi selama 80 tahun dengan benar-benar hidup (alive), sedangkan sebagian besar orang di muka bumi tidak benar-benar hidup,” tuturnya.
“Karena semua orang bangun, belajar, makan, tidur, belanja, kerja, cari pacar, menikah dan pensiun maka saya ya ikutan bangun, belajar, makan, tidur, belanja, kerja, cari pacar, menikah dan pensiun. Semua orang begitu, ya saya begitu juga. Kalian hidup bukan menjalani hidup kalian melainkan menjalani hidup orang lain,” ujar Venerable memberi perumpamaan.
Di era modern ini, semua orang melekat pada alat komunikasi atau handphone mereka, berkomunikasi hanya lewat layar. Perasaan yang timbul dari hubungan langsung antar manusia berubah menjadi emoticon-emoticon di layar telepon genggam. Semuanya menjadi monoton. Dari monoton menjadi keberadaan yang tawar yaitu sebuah keberadaan yang tidak terhubung satu sama lainnya, tertutup. “Kita bisa punya hunian yang besar tetapi apakah kita benar-benar punya ‘rumah’? ‘Rumah’ itu hidup karena adanya interaksi,” tandas Venerable.
“Jika kita tidak menyadari makna hidup maka kita berada dalam samsara. Kita telah terlahir di 6 alam samsara dan telah punya banyak wajah. Bangkit lalu terjerumus, lalu bangkit, dan terjerumus kembali. Para makhluk seringkali tidak berdaya akan karma dan hanya terseret oleh karma. Peselancar yang berbakat dapat menaiki ombak dengan terampil, maka seperti itulah bagaimana kita seharusnya menghadapi ombak samsara. Kita tidak tersapu olehnya.”
Solusi yang ditawarkan Venerable Guo Jun adalah kita harus memahami batin kita sendiri yang menyebabkan samsara terjadi. Jika kita bisa terbebas dari perangkap persepsi dualisme baik-buruk, maka pembebasan dari samsara (penderitaan) pun akan dapat digapai.

Senin, 08 Juni 2015

pesan waisak 2559

Pesan Waisak 2559 / 2015

SANGHA THERAVADA INDONESIA
Pusdiklat Buddhis Sikkhadama Santibhumi,
BSD City Sektor VII Blok C Nomor 6,
Tangerang Selatan 15321.
Telp (021) 53167061, Faks. (021) 53156737.
Vihara Mendut,
Kotakpos 111, Kota Mungkid 56501, Magelang
Telp / Faks (0293) 788564.


Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammàsambuddhassa
Dhammam care sucaritam, Na nam duccaritam care
Dhammacari sukham seti, Asmim loke paramhi ca
(Dhammapada 169)
Sepatutnya ia melaksanakan Dhamma dengan baik,
tidak melaksanakan dengan buruk.
Ia yang senantiasa melaksanakan Dhamma,
akan berbahagia di dunia ini dan di dunia lain.
  
Hari Trisuci Waisak memperingati tiga peristiwa suci dalam kehidupan Guru Agung Buddha Gotama, yaitu: kelahiran Siddhartha Gotama calon Buddha, pencapaian Pencerahan Sempurna Buddha, serta kemangkatan Guru Agung Buddha. Tiga peristiwa suci itu terjadi pada hari yang sama, yaitu hari purnama sidi, bulan Waisak, dengan tahun yang berbeda-beda: kelahiran calon Buddha tahun 623 SM di Kapilavasthu, India Utara; Pencerahan Sempurna tahun 588 SM di Bodhgaya, India; dan Buddha mangkat tahun 543 SM pada usia 80 tahun, di Kusinara, India. Hari Trisuci Waisak 2559 tahun ini jatuh pada tanggal 2 Juni 2015. Seluruh umat Buddha di dunia memperingati Trisuci Waisak dengan laku puja bakti, meditasi, pendalaman Dhamma ajaran Buddha, serta kegiatan-kegiatan sosial-budaya Buddhis lain.
Sangha Theravada Indonesia mengangkat tema Trisuci Waisak 2559/2015: Dhamma Melindungi yang Melaksanakan. Dhamma ajaran Buddha meliputi tiga aspek, yaitu: pelajaran, pelaksanaan, dan pengalaman. Pelajaran Dhamma terdapat dalam kitab suci Tipitaka yang memuat kebenaran-Dhamma dan kemoralan-Vinaya, sedangkan pelaksanaan Dhamma adalah praktik kesusilaan (moral), praktik keteguhan pikiran (meditasi), dan praktik kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman Dhamma adalah hasil praktik kesusilaan, keteguhan pikiran, dan kebijaksanaan, yang berupa lenyapnya penderitaan.
Kesusilaan (Moral) sebagai Pelindung
Di tengah-tengah kehidupan dewasa ini, manusia sering mengabaikan pelaksanaan moral, karena ia lebih mengutamakan keberhasilan pencapaian cita-cita atau keinginannya. Menggantungkan cita-cita setinggi langit memang baik, tetapi lebih baik lagi apabila orang berpikir bagaimana cara yang tepat untuk mencapai cita-cita itu. Bukan asal cita-cita tercapai, apapun perilaku boleh dilakukan. Tidak peduli perilaku itu buruk bahkan menimbulkan penderitaan orang lain pun dilakukan demi tercapainya cita-cita seseorang. Sikap orang seperti itu cenderung terpukau pada kesenangan atas keberhasilan semata, dan enggan bersusah-susah melakukan upaya kebaikan untuk meraih keberhasilan itu. Cita-cita lebih diutamakan daripada cara pencapaiannya. Padahal cara pencapaian yang buruk akan berdampak negatif bagi keberhasilannya. Kecemasan, kekhawatiran, permusuhan, nama buruk, bahkan kehancuran rumah tangga bisa saja menyertai keberhasilan dalam perolehan cita-citanya. Sedangkan cara-cara baik, seperti: kerja keras, rajin, semangat hidup, pantang menyerah, kejujuran, kasih sayang, dan lain-lain, akan berdampak positif bagi keberhasilan cita-cita seseorang. Kenyamanan, kedamaian, nama baik, kepercayaan, persaudaraan akan diperoleh bersamaan dengan pencapaian cita-citanya.
Apabila orang berlomba-lomba memperoleh keberhasilan meskipun dengan cara-cara buruk, maka terjadilah krisis moral yang membuat kekacauan hidup, hidup saling mengancam, saling menjatuhkan, bahkan saling menyerang. Tidak ada rasa aman dalam kehidupan ini. Ada kalanya orang berkata bahwa hukum negara sebagai panglima dalam kehidupan bernegara. Tetapi permasalahan akan muncul, ketika penanggungjawab hukum negara itu tidak bermoral. Sulit dibayangkan bahwa hukum negara menjadi tidak digunakan sebagaimana mestinya. Orang yang bermoral buruk dapat berlindung di balik pembenaran hukum negara. Karena itu pelaksanaan moral tidak dapat ditawar lagi apabila hukum negara ataupun peraturan di tempat manapun juga ingin ditegakkan dan bermanfaat bagi kehidupan bersama. Revolusi mental tidak bisa dilakukan tanpa pelaksanaan moral dalam kehidupan bersama, perlu ada perubahan paradigma mental yang semula menghalalkan segala cara untuk mencapai cita-cita kemudian menjadi sangat peduli terhadap cara-cara baik dan tepat demi pencapaian cita-cita yang memberi berkah bagi diri sendiri maupun orang lain.
Penerapan moral akan menimbulkan perlindungan bagi orang yang melaksanakannya, sebab ia yang menerapkan moral tidak akan mempunyai pikiran bersalah dan menyesal. Ia akan merasa nyaman pergi kemana saja, karena ia merasa tidak bersalah. Ia juga tidak menyesali perbuatan yang telah dilakukannya. Ia akan melindungi dirinya sendiri dari berbagai kesalahan dan penyesalan. Bahkan melindungi orang lain pula, karena orang lain tidak merasa terancam dan tidak takut dengan kehadiran orang yang menerapkan moral.
Keteguhan Pikiran (Meditasi) sebagai Pelindung
Selain penerapan moral dalam kehidupan sehari-hari, keadaan pikiran manusia juga perlu diperhatikan, karena selama manusia masih memiliki keadaan pikiran yang serakah, benci, dan egois, maka kehidupan manusia sangatlah tidak nyaman. Keserakahan dalam pikiran dapat mendorong niat mencuri, korupsi, berzina, perilaku asusila, bahkan merusak hutan dan kandungan alam lingkungan hidup. Sedangkan kebencian akan mendorong niat orang melakukan kekerasan, perbuatan sadis, dan pembunuhan. Egois akan menyebabkan orang memiliki pandangan hidup yang keliru, tidak dapat membedakan mana yang benar dan yang salah, memiliki pandangan eksklusif dan tidak toleran. Hal-hal itu sangat membahayakan bagi kehidupan bersama, karena itu sangatlah penting penerapan meditasi sebagai cara untuk mengolah pikiran, agar pikiran dapat terbebas dari keserakahan, kebencian, dan keegoan. Revolusi mental dapat terlaksana apabila orang mau mengubah kondisi pikirannya yang semula dipenuhi oleh serakah, benci, dan egois, kemudian beralih menjadi pikiran yang memiliki kepedulian, cinta kasih, dan kebersamaan dalam hidup bermasyarakat.
Penerapan meditasi akan mengubah pikiran menjadi tidak lagi serakah melainkan gemar memberi, tidak lagi membenci melainkan penuh welas asih, dan tidak lagi egois melainkan inklusif dan toleran. Pikiran seperti itu akan menimbulkan perlindungan bagi seseorang dan juga perlindungan buat banyak orang di sekitarnya. Orang-orang akan merasa nyaman hidup bersama.
Kebijaksanaan sebagai Pelindung
Pemahaman hakikat hidup sering menimbulkan masalah dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bersama. Ada orang yang menganggap bahwa kebahagiaan hidup hanyalah semata kebahagiaan materi, dengan kekayaan yang berlimpah orang berpandangan bahwa ia akan hidup berbahagia. Atau kebahagiaan hidup diperoleh dengan terpenuhinya kenikmatan-kenikmatan indriawi manusia, kenikmatan mata pada saat mata berkontak dengan objek penglihatan, kenikmatan telinga pada saat telinga berkontak dengan objek pendengaran, demikian pula kenikmatan indria lainnya. Pemahaman kebahagiaan hidup seperti itu akan menimbulkan pemujaan terhadap kekayaan materi, pemujaan terhadap kenikmatan indria, sebagai suatu kebahagiaan tertinggi. Apakah memang benar bahwa kebahagiaan tertinggi seperti itu? Bagaimana dengan kebahagiaan tertinggi sesuai ajaran Buddha? Untuk mengetahui hal itu, perlu sekali dipahami adanya hal-hal hakiki yang berlangsung dalam kehidupan ini. Dalam ajaran Dhamma, terdapat penjelasan bahwa meskipun Guru Agung Buddha ada ataupun tidak ada, terdapat hal-hal hakiki yang berlangsung sepanjang masa, yaitu adanya ketidakkekalan, ketiadapuasan, dan ketiadaan ego. Ia yang memahami ketidakkekalan, ketiadapuasan, dan ketiadaan ego, maka ia tidak mau menggenggam erat apapun yang telah diperolehnya. Ia memahami segala sesuatu akan berakhir, segala sesuatu tidak dapat memenuhi kepuasan secara terus menerus, dan segala sesuatu tidak dapat diatur sesuai kehendaknya, sedangkan dirinya sendiri saja akan mengalami hal-hal seperti tersebut di atas, maka hidup ini hanyalah proses yang terus berlangsung. Manusia terlibat dalam proses kehidupan ini bersama dengan segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan itu. Manusia dapat turut berperan serta memengaruhi proses kehidupan itu, apakah akan merawat kehidupan atau akan menghancurkan kehidupan. Apapun yang terjadi dalam proses kehidupan itu berlangsung sesuai dengan hukum sebab akibat yang saling bergantungan. Hukum kausalitas itulah yang melangsungkan proses kehidupan. Revolusi mental juga memerlukan pemahaman bahwa hidup adalah proses yang berlangsung terus menerus karena berlakunya hukum sebab akibat. Karena itu pandangan hidup yang memohon atau menanti, hendaknya perlu diubah menjadi berikhtiar dan bekerja keras karena apa yang kita peroleh dari hidup ini adalah hasil dari upaya kita.
Pengembangan kebijaksanaan adalah pengembangan pemahaman hakikat kehidupan itu, memahami proses kehidupan beserta hukum sebab akibat yang berlaku akan menimbulkan pengertian kebahagiaan hidup sebagai akibat dari segala sesuatu yang dilakukan dengan baik, benar, dan bermanfaat. Kebahagiaan hidup bukan berbentuk suatu kecanduan atau kelekatan, seperti halnya kelekatan terhadap kekayaan materi dan kenikmatan indria. Kebahagiaan hidup justru kebebasan dari kecanduan atau kelekatan. Pelepasan kecanduan dan kelekatan atau sikap bersahaja dalam hidup sehari-hari itulah yang membuat masing-masing orang merasa nyaman dan tidak mengancam orang lain.
Selamat Hari Trisuci Waisak 2559/2015, marilah umat Buddha sekalian membuat perlindungan bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat, bahkan bagi bangsa dan negara dengan cara melaksanakan kebenaran Dhamma. Karena pelaksanaan Dhamma akan menjauhkan hidup kita dari segala keadaan tidak nyaman atau penderitaan. Revolusi mental merupakan gerakan hidup baru yang berlandaskan pada pelaksanaan kesusilaan, keteguhan pikiran, dan kebijaksanaan. Revolusi mental itu akan melindungi hidup kita dari kekacauan laku, pikiran, dan pedoman hidup. Semoga dengan revolusi mental ini dapat mengantarkan kehidupan bangsa dan negara kita maju, sejahtera, serta damai.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Tiratana, selalu melindungi.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia
Kota Mungkid, 2 Juni 2015
SANGHA THERAVADA INDONESIA
ttd.
Bhikkhu Jotidhammo, Mahathera
Ketua Umum / Sanghanayaka
http://www.samaggi-phala.or.id/sangha-theravada-indonesia/pesan-waisak-2559-2015/

Dhamma Adalah Harta Yang Paling Mulia


Dhamma Adalah Harta Yang Paling Mulia
Oleh: Venerable Phra Ajahn Yantra Amaro

Khotbah ini adalah hari yang istimewa saat anda semua datang untuk memberikan dana makanan dan persembahan, serta memohon tuntunan sila bersama.
Dhamma adalah harta yang paling berharga. Jika misalnya seseorang menggali dan menemukan, serta memanfaatkannya, orang tersebut akan menjadi kaya dalam sepanjang hidupnya, kaya dalam kesadaran dan kebijaksanaan serta amat bahagia.
Dhamma berarti segala sesuatu yang baik, sejuk, damai, sejahtera, dan terang. Seseorang yang telah memperoleh pengertian tentang Dhamma memiliki hati yang baik, tenang, damai, bermanfaat, berbudi luhur, dan bijaksana. Apapun yang ia lakukan, dilakukannya dengan penuh semangat, perhatian, dan kebijaksanaan, karena batin mereka tenang dan damai, dan pikiran mereka terang dan jernih. Seseorang yang memiliki Dhamma tidak pernah merasa kesepian tetapi penuh daya/semangat, pengetahuan, kesadaran, dan kebahagiaan.
Bagaimana agar kita dapat mencapai keadaan tersebut di dalam hidup kita? Kita perlu latihan, praktek, dan mempunyai pendirian yang benar. Jalan yang paling cepat adalah dengan selalu memancarkan cinta-kasih, melakukan tugas anda dengan baik dalam apapun yang anda kerjakan, serta mengerjakannya dengan sebaik mungkin. Dengan cinta-kasih sebagai landasannya, lakukan kewajiban anda terhadap putra-putri anda, istri-suami anda, orang-orang yang anda cintai dan hormati, orang lain, dan kepada hewan-hewan.
Dhamma adalah kewajiban/tugas. Seseorang yang tidak melakukan tugas seorang ayah, ia bukanlah seorang ayah. Begitu pula, seorang ibu harus melakukan tugas seorang ibu kepada anak-keturunannya. Jika seseorang mengabaikan tugasnya, ia semata-mata disebut manusia tetapi bukan manusia yang baik. Anak-anak juga harus melakukan tugas mereka. Para guru dan murid mempunyai tugas satu terhadap lainnya. Guru wajib mengajar, membimbing, dan mendorong murid-murid untuk belajar serta mengikuti petunjuk guru dengan rasa terima kasih, serta berusaha melakukan yang terbaik terhadap orang tua mereka, para guru mereka, teman-teman dan kerabat mereka. Seseorang harus berpikir tentang mereka semua dengan cinta kasih.
Hari ini saya akan memberikan khotbah Dhamma singkat yang bertema: “Berusahalah sebaik mungkin melakukan tugas anda”. Setiap hari kita harus memeriksa diri kita sendiri dan apa yang telah kita lakukan. Tugas-tugas apa yang harus kita lakukan pada hari ini? Kita harus melakukan dengan sebaik mungkin yang dapat kita lakukan, dan ingatlah selalu untuk tidak mudah menyerah. Kita harus melakukan yang terbaik untuk memecahkan setiap problem dan mengatasi setiap rintangan. Putuskanlah untuk melakukan hal ini setiap hari, serta mencintai dan bersikap baik kepada semua makhluk, bahkan kepada mereka yang tidak baik dan tidak menyenangkan, juga bahkan kepada mereka yang pernah menyakiti kita. Meskipun jika mereka menyakiti kita, kita harus siap untuk menjadi baik dan cinta kepada mereka. Kita tidak seharusnya menjadi marah, karena marah merupakan penderitaan.
Jika kita berbaik-hati, tenang, dan damai, kebajikan kita itu akan membuat kita bahagia. Hal ini juga memberikan kesempatan kepada orang-orang yang tidak menyenangkan untuk menjadi baik, orang-orang yang bertemperamen panas menjadi tenang.
Jika kita benar-benar tenang dan dipenuhi dengan cinta-kasih, maka apabila orang lain marah, kita dapat tetap tersenyum. Jika kita tak dapat tersenyum, cukuplah untuk diam saja. Jika orang lain mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan, kita dapat sebaliknya mengucapkan kata-kata yang menyenangkan. Jika orang lain mencoba mengambil keuntungan dari kita, kita dapat memberikan apa yang mereka inginkan. Lihatlah kemudian siapa yang pada akhirnya menang dan bahagia.
Dunia memerlukan Dhamma, memerlukan ketenangan, walaupun kita harus siap berkorban untuk memberikan hal tersebut. Kekerasan selalu dikalahkan oleh kelembutan, karena kelembutan tersembunyi, terdapat di dalam kekerasan. Perhatikan gusi dan gigi kita, meskipun gigi tanggal, tetapi gusi tetap di tempatnya. Angin yang paling lembut pun dapat mengikis gunung, dan dapat menciptakan gelombang yang pada akhirnya lenyap karena penguapan. Angin tidak memiliki jasmani/wujud, tetapi ia memiliki energi. Sebuah roda terbuat dari poros dan jari-jari/ruji. Ruji tidak dapat bergerak jika poros tidak berputar, dan poros hanya dapat berputar karena di tengah-tengahnya adalah kosong. Lihatlah pada mulut saya, yang saya pergunakan untuk berbicara. Ia memiliki gigi, lidah dan sebagainya, tetapi saya dapat berbicara hanya karena mulut saya juga memiliki rongga kosong. Jika mulut saya padat, saya tidak akan dapat berbicara. Jadi kekosongan adalah sangat berguna. Lihatlah pada mangkuk makan saya. Besi yang dipakai untuk membuat ini memang pasti ada, tetapi adalah ruang kosong di dalam mangkuk yang membuatnya berguna. Kita dapat menaruh benda-benda di dalam ruang tersebut. Bergunanya mangkuk tersebut datang dari kekosongannya.
Jika kita membuat batin kita kosong, tenang, dan bebas dari kekotoran, dan tidak memikirkan apa-apa kecuali cinta-kasih, maka batin kita akan menjadi sangat kuat. Batin sedemikian adalah suci, dan kekuatan suci benar-benar ada di dunia ini. Tetapi batin yang paling memiliki kekuatan di dunia ini adalah batin yang terang dan tenang. Jika kita dapat melatih pikiran kita untuk menjadi baik, maka apapun kemudian akan menjadi baik. Berusahalah untuk melatih pikiranmu dan berusahalah untuk menjadi penuh cinta-kasih. Katakan kepada dirimu, “Sejak saat ini saya tidak akan menjadi marah”. Jika seseorang marah kepada saya, tidak mengapa, saya akan tetap tersenyum atau kalau tidak, hanya akan diam saja dan mengingat kalimat keramat/ magis itu “Itu memang demikian”. Mereka bersikap seperti itu disebabkan oleh sifat alamiah mereka. Tidak usah peduli bila seseorang marah, dan jika tidak mungkin untuk berucap sesuatu, maka pikirlah bahwa itu adalah alamiah/ wajar, “Hanya kedemikianan”. Bersikaplah yang sama jika seseorang mengutuk atau menyalahkanmu; ingatkan dirimu bahwa engkau tidak akan menjadi marah. Anda akan selalu melakukan kebajikan, jika anda ingin setiap hari hanya melakukan kebajikan. Anda dapat mengandaikan bahwa anda mesti meraih angka/nilai tertentu untuk dapat lulus dari ujian, dan kemudian memberi nilai tambah/plus kepada diri anda sendiri apabila anda melakukan kebajikan, dan nilai kurang/minus apabila anda melakukan kejahatan. Di akhir hari (malam hari) lihatlah nilai apa yang telah anda raih. Apakah nilai kebajikan anda mengungguli nilai kejahatan anda?
Memang benar bahwa tiada seorang pun yang lahir di dunia ini sempurna dan tidak pernah melakukan suatu kesalahan, akan tetapi kita masih memiliki kesempatan untuk mengubah dan memperbaiki diri kita. Jika anda dapat melihat ke dalam diri anda sendiri, melihat cacat atau kekurangannya, serta berusaha untuk mengubah dan memperbaikinya, anda akan menjadi mulia dan dipuji oleh orang-orang bijaksana. Kadang-kadang adalah baik untuk diberitahukan apa yang tidak baik tentang diri kita, kita tidak perlu marah, tetapi kita harus membiarkan orang lain mengemukakan sisi buruk atau kekurangan kita. Apakah anda pikir anda begitu sempurna? Bahkan Sang Buddha sendiri memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengatakan tentang dirinya. Sang Buddha juga mengatakan untuk tidak memeriksanya dengan seksama dan mempraktekkan apa yang Beliau ajarkan hingga seseorang mencapai hasil-hasil yang seperlunya, sebelum ia mempercayainya.
Jadi janganlah kecewa atau sedih jika tak seorang pun yang memuji, menghargai, mendukung, atau bahkan mereka menentang perbuatan baik yang kita lakukan. Jika kita tahu bahwa apa yang ingin kita lakukan adalah baik dan pantas, lakukanlah itu dengan penuh keyakinan dan kesabaran, maka tiada kerugian yang akan datang kepada diri kita atau orang lain. Kita harus memulainya dengan keyakinan di dalam diri kita.
Kita mengira kita sudah mengerti Dhamma dan menginginkan dunia (orang-orang lain) mengetahui tentang hal tersebut, tetapi kemudian kita tidak bahagia ketika kita dikritik. Kita sangat sensitif terhadap kritikan, itu membuat kita merasa bodoh dan tidak bahagia. Kadang-kadang kita memiliki niat/maksud yang baik, tetapi hal itu dapat ternoda jika kita membiarkan telinga kita meladeninya, misalnya kita goyah oleh kritikan. Batin kita haruslah kuat sepanjang waktu, harus tidak pernah menyerah, dan harus selalu penuh perhatian/kesadaran akan saat ini.
Saya percaya bahwa perbuatan baik yang kita lakukan akan membuat kita bertambah bahagia, seperti sebatang pohon yang mula-mula berupa sebuah tanaman yang kecil dengan hanya satu batang saja, sampai tumbuh cabang-cabang, daun-daun, bunga-bunga, dan buah-buah. Batin yang baik dan tenang akan semakin memberikan kebahagiaan dan mendapatkan cinta dari setiap orang atau para dewa kemana pun ia pergi. Adalah kenyataan bahwa kekuatan yang didapatkannya dari praktek Dhamma adalah nyata, kuat dan lebih bernilai dari pada apapun juga. Seseorang yang memiliki keyakinan di dalam Dhammanya tidak perlu melakukan hal spesial lainnya, karena apapun yang ia lakukan akan memberikan hasil yang memuaskan. Anda tidak perlu melakukan hal-hal apapun yang rumit, kadang-kadang hanya dengan berpikir baik saja akan memperoleh hasil yang baik dan hebat. Cobalah lalukan itu. Bila anda memiliki batin yang baik dan bersih, jalan menuju sukses akan nampak lancar, dan hal-hal akan berjalan dengan baik. Tetapi jika batin anda tidak tenang, tentram, dan bersih, hal-hal yang anda harapkan dan lakukan tidak akan berjalan sesuai yang anda harapkan, meskipun anda mengharapkannya dengan kuat dan sering. Batin seperti itu adalah batin yang bingung, lemah, dan tiada berdaya. Maka, berusahalah untuk melakukan hanya hal-hal yang baik, laksanakan tugas anda dengan sebaik mungkin yang dapat anda lakukan, selalu dengan cinta kasih dan kesadaran akan saat sekarang. Apapun yang muncul atau terjadi, anggaplah itu sebagai hal yang alamiah, sebagai “kedemikianan”.
Pertimbangkanlah ungkapan “tidak apa-apa”. Kata-kata ini adalah seperti kata keramat untuk meringankan batin kita, menasehatkan bahwa jika kita tidak ambil peduli, jika kita tidak menganggap hal-hal dengan serius, kita tidak akan menderita. Namun sebaliknya, kita harus selalu “peduli”, selalu berpikir, dan melakukan hal-hal yang baik saja.
Cobalah untuk membaca paritta setiap hari, pada pagi hari dan malam sebelum tidur. Ambillah nafas panjang yang dalam dan perhatikan nafas yang masuk dan nafas yang keluar, dan anda akan menemukan kebahagiaan. Pada saat yang sama, sadarilah akan perhatianmu. Pada akhirnya batin akan tetap memiliki kesadaran di dalam tanpa memperhatikan nafas. Anda akan mendapatinya dalam keadaan tanang dan damai karena batin bagitu terkonsentrasi pada saat itu. Apapun yang anda lakukan, apakah berbicara, berpikir, atau bertindak, berdiri, duduk berbaring, atau apa saja, anda akan merasa bahagia dan tidak pernah kesepian. Mereka mengerti Dhamma tidak pernah marasa kesepian, karena selalu ada teman baik di dalam hatinya. Pada saat yang sama, hal itu merupakan sumber dari hidup panjang umur yang berharga, corak yang baik, kebahagiaan, kekuatan, kebijaksanaan, dan kekayaan. Tiada lagi yang lebih berharga dari pada Dhamma. Apabila kita mempraktekkannya dengan rajin dan sungguh-sungguh, kebajikan akan tumbuh dengan semakin besar.
Jika kita berkecil-hati, pikirkanlah tentang diri Sang Buddha. Sang Buddha, yang pada akhirnya mencapai kesempurnaan (parami) tertinggi (kesepuluh tingkat dari kesempurnaan spritual) dengan ketekunan dan kesabaran, sila (sikap laku bermoral), dan bhavana (meditasi), telah mengalami kelahiran-kembali sebanyak sekitar 1600 juta kali sebelum Beliau mencapai Pencerahan sebagai seorang Buddha. Karena itu, kita yang mengikuti jejak-Nya sebagai seorang Buddhis, harus mempraktekkan hal-hal yang Beliau ajarkan. Janganlah menyerah, tetapi berusahalah melakukan kebajikan. Majulah selangkah-demi selangkah hingga anda mencapai tujuan (gol). Tidak peduli berapa jauh jaraknya, seribu atau sepuluh ribu langkah, lakukan satu langkah setiap saat, maka akhirnya anda akan tiba juga. Saya sendiri berjalan dari Thailand Selatan menuju Burma Utara. Tidak akan terasa jauh jika anda tetap melaksanakan 2 langkah tersebut, kiri dan kanan. Dengan kesabaran dan keyakinan anda akan berhasil, karena di mana ada kemauan, di sana pasti ada jalan. Orang yang tekun/ulet tidak pernah gagal.
Pada khotbah kali ini, saya menekankan bahwa kita harus berusaha dan melakukan perbuatan baik, dan berusaha untuk membebaskan diri kita dari penderitaan. Berusahalah untuk mengetahui dan mengerti tentang penderitaan, sehingga bila ia datang, ia akan dapat dihadapi. Adalah tidak hanya saya/anda yang menderita, orang lain pun menderita, bahkan beberapa dari mereka lebih buruk dari pada saya/anda. Cobalah untuk mengerti bahwa apapun yang muncul, bertahan untuk waktu yang agak lama atau singkat, kemudian lenyap. Tidak ada satu pun yang permanen. Suatu waktu, kita tidak memiliki apa-apa, dan apa yang kita miliki dan menjadi apa kita sekarang ini, adalah datang belakangan. Tiada satupun yang tetap untuk selamanya. Kita harus berusaha untuk mengerti hal-hal ini dan merenungkan mereka dengan perhatian dan cinta-kasih. Ketahuilah kapan untuk melepas. Berusahalah untuk mencintai orang lain, bahkan kepada mereka yang tidak menyukaimu sekalipun. Berusahalah untuk mencintai dan memafkan mereka. Cobalah untuk mengerti tentang dirimu sendiri dan hal-hal baik dari orang lain. Berusahalah untuk tidak berat sebelah/memihak. Jangan menunggu sampai orang lain mengerti tentang dirimu sebelum anda mencoba untuk mengerti tentang mereka. Janganlah merasa cemas dengan berlebihan.
Saya percaya bahwa jika kita mengerti orang lain, kita dapat belajar untuk mencintai mereka, karena cinta kasih tumbuh dari (adanya) pengertian. Dalam suatu keluarga yang tanpa pengertian, cinta takkan bertahan lama. Jadi, cobalah untuk memahami satu sama lain dan jalanilah hidup yang baik. Tidak peduli apakah orang lain tidak mencintai atau menghormatimu, cobalah untuk mengerti dan “maafkan dan lupakan”. Hadiah yang paling penting adalah hadiah berupa memafkan. Janganlah melekat kepada benda-benda dengan kuat, karena tiada satu apapun yang kekal. Relakan mereka pergi, dan jadilah orang yang baik dan penuh cinta kasih.
Kini waktunya untuk berhenti, sehingga saya harus menghentikan khotbah untuk hari ini.

Bagaimanakah yang Disebut Upasaka Upasika Itu


/

Bagaimanakah yang Disebut Upasaka Upasika Itu
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Shanti Bhadra Mahathera

Dalam bahasa Pali umat Buddha laki-laki disebut Upasaka, sedangkan wanita disebut Upasika. Kata “upasaka” berarti seseorang yang mengenal dekat dan akrab Tiratana (Tiga Permata) —Buddha (orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna), Dhamma (ajaran), dan Sangha (persaudaraan dari orang yang meninggalkan keduniawian). Ketika seseorang menerima Tiga Perlindungan atau menganggapnya sebagai pedoman hidup, umumnya dapat dikatakan sebagai seorang umat Buddha.Saat menerima ajaran Sang Buddha sebagai pedoman hidup, dia harus menjalani suatu bentuk latihan, yaitu kemoralan (Sila). Lima bentuk latihan sebagai dasar dari kemoralan (Sila). Kelima Sila itu dilaksanakan dengan pengendalian diri, bukan dengan diperintah. Dan melakukan Sila itu berdasarkan pengertian untuk mengurangi kadar dari tiga akar kejahatan yakni lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kebodohan).Dengan melatih diri menghindari diri dari pembunuhan, pencurian, perzinahan, kebohongan, dan mabuk-mabukan; dan berdasarkan ini memupuk diri dengan kemurahan hati (alobha), cinta kasih (adosa), dan pengertian benar (amoha).Sang Buddha telah menunjukkan bahwa seorang upasaka yang mempunyai lima hal berikut ini dengan baik dapat diumpamakan seperti bunga teratai merah (paduma), teratai putih (pundarika), dan permata (ratana).

Kelima hal tersebut adalah:Saddha (keyakinan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha Sila (kemoralan, etika). Tidak yakin pada Kotuhala Mangalika (menerima sesuatu yang baik dan buruk yang ia anggap sebagai pertanda keberuntungan dan kemalangan). Yakin pada Hukum Kamma (Hukum sebab dan akibat). Nabahida dakkhinineyyan gaveseti (pencarian di manapun, di luar ajaran Sang Buddha, untuk berdana baik segi materi maupun non materi; dan mengulurkan tangan pertama-tama pada kebenaran, sebagai pengamalan ajaran Sang Buddha). Melalaikan hal-hal tersebut berarti menodai upasaka yang dapat diumpamakan seperti orang buangan (chandala), noda (malan), dan orang dari keturunan rendah (patikuttha). Dalam Milinda Panha (pertanyaan Raja Milinda), Bhikkhu Nagasena dalam percakapannya dengan Raja Yunani, menjelaskan garis besar sepuluh kualitas seorang upasaka.Dia selalu menginginkan kesejahteraan Sangha. Dhamma menempati kedudukan yang utama dalam kehidupannya. Dia selalu memberi dengan kemurahan hati. Bila dia melihat tanda kemunduran dari ajaran Sang Buddha (sasana), dia berbuat dengan sekuat tenaga untuk menolong dan menegakkan kembali.

Dia terbebas dari takhyul tentang pertanda dan tanda-tanda yang memberikan keberuntungan atau kemalangan. Dan ia memiliki pengertian yang benar. Kalaupun ada kejadian dalam kehidupannya, ia tidak memikirkan orang lain selain Sang Buddha sebagai Gurunya. Dia tertib, dalam ucapan dan perbuatannya. Dia rukun dan harmonis dalam hubungan antar manusia. Dia tidak bersifat iri hati. Dia tidak menggunakan agama Buddha untuk menipu orang lain atau untuk memperoleh nama dan kemashyuran. Dia menerima Perlindungan (berpedoman pada) Buddha, Dhamma, Sangha. Dalam percakapan dengan Mahanama, salah seorang saudara sepupu Sang Buddha, Beliau menguji delapan tanda seorang upasaka yang melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan memberikan berkah serta bantuan kepada orang lain. Delapan ciri tersebut adalah:Dia memiliki kepercayaan dan menanamkannya pada orang lain. Dia memiliki kebajikan dan disiplin serta mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Dia memiliki kemurahan hati dan menjelaskan perbuatan baik tersebut kepada orang lain. Dia senang bertemu dengan bhikkhu dan juga mengajak orang lain untuk bergabung bersama-sama. Dia gemar mendengarkan diskusi Dhamma dan mendorong ketertarikannya pada Dhamma itu kepada orang lain; dan dia memulainya untuk berbuat demikian. Dia menunjang Dhamma yang telah ia dengarkan dan merenungkan dalam batin pada waktu senggang untuk memperdalam pengertiannya. Dia menganjurkan orang lain berbuat demikian. Dia mengkaji dan menerapkan Dhamma secara terus menerus dan mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama. Dia mempraktikkan Dhamma dalam kehidupannya sehari-hari, mendorong dan membangkitkan orang lain untuk melakukan hal yang sama. Seorang Upasaka seharusnya tidak melakukan sejumlah pekerjaan yang merugikan orang lain. Yaitu menghindari lima jenis perdagangan:

berdagang peralatan perang, budak, daging/binatang, makanan yang dapat memabukkan, dan racun.
Tapussa dan Bhallika adalah dua pedagang bersaudara yang pertama kali mempersembahkan makanan sejenis gandum dan madu kepada Sang Buddha setelah Beliau mencapai Penerangan Sempurna. Mereka juga menjadi upasaka pertama yang menerima Dua Perlindungan pada Buddha dan Dhamma. Saat itu belum ada Sangha.Tercatat, mereka bertemu Sang Buddha lagi setelah empat atau lima bulan di Rajagaha. Mereka mendengarkan ajaran Sang Buddha. Dan Tapussa mencapai tingkat kesucian yang pertama (Sotapana) dan tetap sebagai upasaka. Sedang Bhallika mencapai Arahat dan kemudian menjadi anggota Sangha.Kisah tentang upasaka pertama yang menerima Tiga Perlindungan sangat menarik. Di kota kuno Benares, tinggal seorang pedagang kaya yang mempunyai seorang putra bernama Yasa. Dia dibesarkan di lingkungan yang mewah. Bosan dengan hidupnya dalam sangkar kemewahan, dia menempuh hidup dengan kesenangan indera yang melemahkan dan dangkal. Dia mengungkapkan dirinya demikian,
Aduh, letih aku dalam kesibukan duniawi, apakah gunanya semua nafsu dan kesakitan ini, datang, datanglah kedamaian, kedamaian yang indah, ke dalam dadaku(Goethe)

Pada suatu pagi, dia meninggalkan rumahnya dengan sembunyi-sembunyi dan berangkat menuju Sarnath (Taman Rusa), mencari kedamaian dan ketenangan batin.Ketika itu Sang Buddha tinggal di Sarnath bangun di pagi hari dan berjalan mondar-mandir di suatu ruangan terbuka. Saat Beliau melihat seorang pemuda —Yasa datang mendekatinya, Beliau duduk dan menunggunya. Yasa datang kepada Sang Buddha, memberikan hormat, dan duduk di dekatnya. Sang Buddha tahu bahwa pikiran Yasa sedang tak menentu. Diawali dengan uraian tentang kehidupan sehari-hari, perlahan-lahan Sang Buddha mengantarkannya menuju khotbah yang lebih berkembang dan mendasar tentang Empat Kesunyataan Mulia.

Seperti halnya kain yang masih bersih tanpa noda hitam atau kotoran, akan mudah dicelup warna, demikian juga dengan setiap rangkaian, kesucian dan kemurnian pandangan Dhamma —bangkit dalam pikiran Yasa. Dan dia mencapai tingkat kesucian pertama, Sotapana.Tidak lama kemudian, Ayah Yasa datang mencarinya. Sang Buddha menjumpainya dengan senyum yang memancarkan cinta kasih, menghibur dan membuatnya gembira dengan sebuah khotbah yang dalam maknanya. Pada akhir khotbah ayah Yasa berkata, Luar biasa, luar biasa, Sang Bhagava.
( Dikutip dari Majalah Jalan Tengah No.58 ) 
Kisah Upasaka Dhammika, Kisah Dua Bhikkhu yang Bersahabat, Suara yang Paling Indah, Kisah Bhikkhu-bhikkhu Yang Berjumlah Banyak, Kisah Kijang yang Cerdas
 http://buddhist.dipankarajayaputra.com/bagaimanakah-yang-disebut-upasaka-upasika-itu.html

Rabu, 27 Mei 2015

MN 109 Mahapunnama Sutta

14. Kemudian, dalam pikiran salah seorang bhikkhu muncul pikiran ini: “Jadi, sepertinya, bentuk materi adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, persepsi adalah bukan diri, bentukan-bentukan adalah bukan diri, kesadaran adalah bukan diri. Kalau begitu, diri apakah, yang melakukan perbuatan sebagai akibat dari apa yang dilakukan oleh apa yang bukan diri?” [7]
Kemudian Sang Bhagavā, dengan pikiranNya mengetahui pikiran bhikkhu tersebut, berkata kepada bhikkhu itu sebagai berikut: “Adalah mungkin, para bhikkhu, seseorang sesat di sini, yang bodoh dan dungu, dengan pikirannya yang dikuasai oleh ketagihan, akan berpikir bahwa ia dapat melampaui pengajaran Sang Guru sebagai berikut: ‘Jadi, sepertinya, bentuk materi adalah bukan diri … kesadaran adalah bukan diri. Kalau begitu, diri apakah, yang melakukan perbuatan sebagai akibat dari apa yang dilakukan oleh apa yang bukan diri?’ Sekarang, para bhikkhu, kalian telah dilatih olehKu melalui tanya jawab dalam berbagai kesempatan sehubungan dengan berbagai hal. [8]
15. “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah bentuk materi adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia.”
“Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian: apakah perasaan … persepsi … bentukan-bentukan … kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – [20] “Apakah apa yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia.”
16. “Oleh karena itu, para bhikkhu, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang … segala bentuk materi harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala jenis perasaan apapun … Segala jenis persepsi apapun … Segala jenis bentukan-bentukan apapun … Segala jenis kesadaran apapun … segala jenis kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
17. “Dengan melihat demikian, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi kecewa dengan bentuk materi, kecewa dengan perasaan, kecewa dengan persepsi, kecewa dengan bentukan-bentukan, kecewa dengan kesadaran.
18. “Karena kecewa, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’”
http://fb.com/DhammacittaDaily
http://instagram.com/dhammacitta
http://dhammacitta.org/forum

Rabu, 20 Mei 2015

Tiga Hal yang Perlu Dilakukan

Submitted by Untung on September 7, 2012 – 4:34 pm2 Comments
Tiga Hal yang Perlu Dilakukan Tiga Hal yang Perlu Dilakukan,   oleh: Cunda J Supandi
Dalam hidup ini banyak sekali hal yang yang telah, sedang dan akan dikerjakan.  Kadang kita berada pada posisi memilih mana yang akan kita kerjakan A atau B. Seringkali kita mengerjakan dahulu hal-hal yang mendesak atau urgent, tetapi melupakan hal-hal penting yang harus dikerjakan.
Tiga hal yang perlu dilakukan oleh kita menurut Romo Cunda J Supandi dalam ceramah Dhammanya di Vihara Pluit Dharma Sukha memang tidak menyinggung masalah penting atau mendesak. Namun dalam kehidupan sehari-hari kita harus mendahulukan hal hal penting untuk dikerjakan dan mengurangi mengerjakan hal-hal yang mendesak.
Kenapa kita mendahulukan hal yang mendesak untuk dikerjakan? itu merupakan akibat kesalahan kita mengatur waktu dan tugas kita sehingga salah dalam memilah- milah pekerjaan. Jadi bisa saja ada hal yang tidak penting namun karena mendesak jadi terpaksa harus dilakukan lebih dahulu. Hal mana yang penting dalam hidup ini yang harus dilakukan, anda sendiri yang menentukan.
Romo Cunda J Supandi mengatakan ada tiga hal yang patut dilakukan oleh kita, yang dianjurkan oleh para bijaksana. Apakah ketiga hal tersebut?
  1. Berdana
  2. Pabbaja
  3. Menghormat kepada kedua orang tua
Perbuatan baik mendasar yang patut dilakukan adalah berdana. Tujuan dari berdana yang paling tinggi bukanlah mengharapkan agar kelak mempunyai materi yang berlimpah, tetapi demi untuk melatih melepas keterikatan kita. Dengan ketulusan berdana, kelimpahan materi tidak perlu diharapkan karena itu akan berjalan otomatis. Tetapi melepas keterikatan kita itu membutuhkan latihan.
Menghormat kepada kedua orang tua kita mungkin sudah jelas bagi kita. Lalu apa yang dimaksud dengan Pabajja? Silakan anda mendengarkan secara langsung uraian Dhamma dari Romo Cunda J. Supandi dengan meng-klik tombol play dari player dibawah ini. atau silakan mendownloadnya jika dirasakan perlu.

Celaan dan Pujian


Submitted by Untung on November 26, 2012 – 9:19 am4 Comments
Kritikan dan PujianCelaan dan Pujian. Ceramah Dhamma oleh: Romo Cunda J Supandi
Celaan dan Pujian merupakan dua dari delapan kondisi duniawi yang selalu muncul dalam kehidupan kita. Siapapun dia termasuk Buddha tidak terbebas dari dicela dan dipuji.
Kita harus mempunyai keseimbangan batin yang tinggi agar dapat menghadapi celaan dan pujian. Celaan tidak selamanya buruk dan pujian tidak selamanya menghasilkan kebaikan. Walau begitu tentu saja kita lebih menyukai dipuji dibandingkan dengan dicela. Hal itu wajar saja.
Kita harus bijaksana dalam menghadapi kritikan, celaan, pujian maupun sanjungan. Pernah mendengar cerita tentang bagaimana seorang bapak dengan anaknya mengendarai seekor kuda? kali ini Romo Cunda J. Supandi juga menceritakan hal yang mirip cerita tersebut, tentang sepasang suami istri yang menunggang keledai.
Jika kita selalu terombang ambing oleh kritikan dan celaan orang lain maka kita akan bingung sendiri. Kita harus cermat dalam menghadapi setiap kritikan dan celaan, direnungkan secara bijaksana apakah kritikan tersebut jika kita ikuti akan membawa manfaat? atau celaan tersebut walaupun memang terdengar benar tetapi tidak membawa manfaat untuk kita.
Karena apapun yang kita lakukan dan kerjakan pasti akan mengundang celaan dan kritikan maka seyogyanya kita tidak perlu terlalu memusingkan semua kritikan yang ditujukan dengan kita.
Jika kita menanggapi semua celaan yang ditujukan kepada kita maka cerita tentang sepasang suami istri atau bapak dan anak tersebut akan terjadi juga dengan kita. Kita tidak mempunyai pegangan.
Berbuat baik di kritik, tidak berbuat baik apalagi, pasti dicela. Maka sepanjang kita merasa apa yang kita lakukan bermanfaat untuk diri sendiri maupun orang banyak, apapun cela dan kritikan yang diterima, tidak perlu sampai menghentikan perbuatan itu.

Lima Elemen dan Kesempurnaan Hoki


Submitted by Untung on February 19, 2013 – 8:54 pmOne Comment
Lima Elemen dan Kesempurnaan HokiLima Elemen dan Kesempurnaan Hoki  oleh: Budiyono Tantrayoga
Apa hubungan nya antara lima elemen dengan kesempurnaan hoki anda? apa itu lima elemen? Bagaimana itu bisa dikaitkan dengan hoki anda?
Lima elemen dikenal dalam kebudayaan China atau dalam ilmu Ba Zi ( Pek Ji ) maupun Feng Shui. Lima elemen tersebut adalah Air, Kayu, Api, Tanah dan logam. Air menghidupi kayu. Kayu menghidupi api. Api menghidupi tanah. Tanah menghidupi logam dan logam menghidupi air.
Bapak Budiyono Tantrayoga menguraikan hubungan lima elemen tersebut dikaitkan dengan kesempurnaan hoki anda lewat tingkah laku anda sebagai cerminan dari lima elemen tersebut.
Apakah lima elemen ini dikenal dalam Buddhism? Dalam Buddhism dikenal adanya empat elemen (catudhatu) yang membentuk jasmani maupun materi dalam alam semesta ini yaitu elemen tanah atau Pathavidhatu, elemen air atau Apodhatu, elemen api atau Tejodhatu dan elemen udara atau Vayodhatu.
Dalam Mahasatipatthana Sutta, ada bagian dimana Buddha meminta kita  untuk merenungkan empat elemen ini dalam meditasi. Tubuh jasmani kita ini terurai menjadi elemen tanah, elemen air, elemen api dan elemen udara. Perenungan terhadap empat elemen ini penting dalam menembus pengertian tentang Anicca, Dukkha dan Anatta.
Dalam teori Ba Zi dan kebudayaan China, kondisi serta keadaan dunia dan isinya termasuk manusia di simbolisasikan kedalam lima elemen air, kayu, api, tanah dan logam. Dalam teori Ba Zi  ini Butuh keseimbangan dari lima elemen untuk mendapatkan kehidupan yang baik.
Hoki atau keberuntungan manusia pun di tentukan oleh lima elemen ini. Bagaimana ke lima elemen ini di aktualisasikan kedalam tingkah laku manusia agar hokinya menjadi sempurna? silakan mendengarkan penjelasan bapak Budiyono Tantrayoga yang merupakan seorang pakar Ba Zi dan Feng Shui.

Mencapai Tujuan Hidup


Submitted by Untung on March 14, 2013 – 5:58 am5 Comments
Mencapai Tujuan Hidup Mencapai Tujuan Hidup. Oleh: Suhu Xian Xing
Mencapai tujuan hidup adalah tujuan dari setiap insan. Meskipun tujuan hidup manusia berbeda-beda namun secara spiritual Buddhis, suhu Xian Xing membagi tujuan itu dalam 3 bagian besar berdasarkan tingkatan batin seseorang yaitu:
1. Bagi manusia yang mempunyai tingkatan batin awal atau biasa seperti kebanyakan manusia, maka tujuan hidupnya sangat bersifat duniawi seperti menjadi orang kaya, menjadi dokter atau sebagainya.
2. Bagi sebagian manusia yang mempunyai tingkatan batin menengah, maka tujuan hidupnya adalah melenyapkan penderitaan diri, bebas dari tumimbal lahir atau mencapai tingkat kesucian.
3. Bagi segelintir manusia yang mempunyai tingkatan batin yang tinggi maka tujuan hidupnya bukan saja ingin membebaskan diri sendiri dari penderitaan dunia samsara ini namun juga bertekad untuk membantu makhluk lain membebaskan diri mereka dari penderitaan.
Apapun tujuan hidup seseorang maka diperlukan syarat-syarat agar bisa mencapai tujuan hidupnya. Suhu Xian Xing mengatakan agar bisa mencapai tujuan hidup maka kita harus:
1. Mempunya viriya atau semangat yang tinggi dalam usaha mencapai tujuan hidup itu. Bagaimana membangkitkan semangat?
2. Berlatih dalam jalan spiritual
3. Membantu orang lain untuk mencapai tujuan mereka

Dewa Bumi dan Kepercayaan Tionghoa

Submitted by Untung on April 22, 2013 – 10:51 amNo Comment
Dewa Bumi dan Kepercayaan TionghoaDewa Bumi dan Kepercayaan Tionghoa.  Oleh: Rudy Arijanto
Dewa Bumi dalam kepercayaan umat Buddha Tionghoa mempunyai tempat tersendiri. Dewa Bumi dikenal dengan nama Du Ti Gong ( Tu Thi Kung) maupun Hock Tek Tjeng Sin.
Apa perbedaan antara Tu Thi Kung dan Hock Tek Tjeng Sin tersebut?. Bapak Rudy Arijanto sebagai seorang pandita Buddha aliran Tridharma menerangkan mengenai Dewa Bumi secara khusus dan kepercayaan Tionghoa secara umumnya dalam ceramah Dhamma pada kebaktian Minggu pagi di Vihara Pluit Dharmasukha.
Aliran Tridharma merupakan salah satu aliran agama Buddha di Indonesia. Aliran Tridharma menggabungkan ajaran Buddha dengan ajaran Kong Hu Cu dan paham Lao Tze.
Setiap dewa dalam kepercayaan Tionghoa mempunyai sejarahnya sendiri sendiri kenapa bisa dipuja sebagai seorang dewa. Umumnya berasal dari seorang manusia yang banyak melakukan kebajikan, yang banyak menolong orang orang disekitarnya sehingga setelah kematian orang tersebut di puja sebagai seorang dewa . Bapak Rudy Arijanto juga menceritakan bagaimana sejarah sehingga muncul penghormatan terhadap Dewa bumi ini.
Apa peranan Dewa Bumi dalam membantu orang orang Tionghoa yang memujanya?
Apakah Dewa Bumi bisa mendatangkan rejeki?
Apa beda patung Tu Thi Kung dan Hock Tek Tjeng Sin?
Serta banyak pertanyaan pertanyaan seputar kegiatan ritual umat Buddha Tionghoa yang diterangkan oleh Bapak Rudy Arijanto.

Kebijaksanaan


Submitted by Untung on October 18, 2013 – 12:11 pm6 Comments
Kebijaksanaan Kebijaksanaan oleh Cornelis Wowor MA
Delapan jalan utama dapat di bagi dalam tiga bagian utama yaitu Sila, Samadhi dan Panna. Panna atau kebijaksanaan ini sangat memegang peranan penting dalam Buddhism.
Kebijaksaan atau Panna yang dimaksud adalah kebijaksaan tinggi. Kebijaksanaan dalam agama Buddha dapat dibagi dalam tiga level (Lihat Jenis Kebijaksanaan) yaitu:
1. Sutta Maya Panna. Kebijaksanaan ini adalah kebijaksanaan yang umum kita kenal. Kebijaksanaan ini di dapat karena hasil proses mendengar maupun membaca.
2. Cinta Maya Panna. Kebijaksanaan yang diperoleh karena berpikir. Berpikir disini adalah berpikir secara phisik bukan batin. Level kebijaksanaan ini lebih tinggi dari Sutta Maya Panna. Namun tetap ada keterbatasan karena ada banyak kasus yang tidak bisa dipecahkan oleh pikiran biasa.
3. Bhavana Maya Panna. Inilah kebijaksanaan yang dituju oleh umat Buddha. Kebijaksanaan ini diperoleh melalui latihan meditasi. Pengetahuan kebijaksanaan ini juga berbeda tergantung jenis meditasi.
Pengetahuan kebijaksanaan (kemampuan batin/kesaktian) yang didapat melalui meditasi Samatha dapat berupa:
1. Kemampuan fisik seperti berjalan diatas air, terbang, menembus tembok, masuk ke dalam tanah termasuk kemampuan menyembuhkan orang sakit.
2. Kemampuan mendengar jarak jauh, alam lain serta mampu mendengar suara makhluk lain.
3. Mata Dewa. Mampu melihat makhluk makhluk lain dari alam berbeda. Termasuk kemampuan melihat kapan seseorang akan meninggal dan terlahir kemana.
4. Kemampuan melihat/mengetahui apa yang sedang dipikirkan orang lain.
5. Kemampuan batin melihat kehidupan lampau dari makhluk hidup.
Banyak kejadian ataupun hal hal yang tidak dapat dipecahkan lewat pikiran biasa ataupun ilmu pengetahuan dapat dilihat Lewat kebijaksanaan tingkat Bhavana Maya Panna. Termasuk melihat  surga dan neraka yang bagi saudara kita dari keyakinan lain cukup di-iman-i saja.
Yang paling tinggi adalah Bhavana Maya Panna yang diperoleh dari meditasi Vipassana. Karena kebijaksanaan yang diperoleh adalah kebijaksanaan kesucian. Anda menjadi orang suci. Anda mempunyai kemampuan untuk mengatasi penderitaan secara total. Menembus Anicca (hukum ketidakkekalan), Dukkha ( Ketidak-puasan/penderitaan) serta (Anatta (hukum tanpa aku/tanpa inti yang kekal)

Evaluasi Akhir Tahun


Submitted by Untung on December 24, 2013 – 12:01 pm9 Comments
Evaluasi Akhir Tahun Evaluasi Akhir Tahun oleh: Cornelis Wowor MA.
Evaluasi akhir tahun lazim dilakukan oleh sebuah perusahaan  untuk menilai kinerja perusahaan selama setahun. Sayangnya kita sering lebih memberikan perhatian kepada hal-hal materi diluar kita. Melupakan hal penting untuk diri sendiri. Kita jarang malah hampir tidak pernah melakukan evaluasi akhir tahun terhadap diri kita sendiri.
Kalaupun kita melakukan evaluasi akhir tahun terhadap diri sendiri, itu lebih banyak berkaitan dengan yang bersifat materi ataupun harta benda, misalnya dengan melakukan pelaporan pajak setiap tahun. Kita mengevaluasi harta kekayaan kita apakah bertambah, berkurang. Apakah tahun ini penghasilan saya bertambah atau malah berkurang.
Pernahkah kita merenungkan dan mengevaluasi perkembangan batin dan rohani kita pada akhir tahun? Misalnya pernahkah kita mengevaluasi apakah kita lebih sering marah pada tahun ini dibandingkan tahun lalu? atau apakah tahun ini kita lebih tenang dan lebih sering memberikan senyuman terhadap orang lain?
Sebagai seorang umat Buddha kita patut melakukan evaluasi ataupun melakukan perenungan terhadap kualitas Sila (kemoralan), Samadhi (konsentrasi dan perhatian) dan Panna (kebijaksanaan) diri kita secara berkala.
Berapa sering kita melakukan pelanggaran pancasila Buddhis? apakah sudah berkurang atau malah tanpa disadari kita lebih banyak melakukan pelanggaran sila. Apa yang menyebabkan terjadinya hal itu? Apakah faktor luar begitu mempengaruhi diri kita dalam menjalankan sila? Kenapa kita begitu terpengaruh oleh faktor diluar diri dan kondisi lingkungan dalam mengendalikan sila? Bisakah kita tetap tenang dan sabar di saat kondisi dan keadaan di luar diri kita begitu menekan dan kacau?
Selain kemoralan, sebagai umat Buddha yang baik kita harus berlatih meditasi. Apakah pada tahun ini latihan samadhi kita sudah meningkat secara kualitas maupun frekuensi latihan, atau malah sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kalinya berlatih meditasi?
Kebijaksanaan yang tinggi tidak dapat diperoleh hanya melalui bacaan ataupun hanya melalui latihan kemoralan. Sila dan Samadhi saling mendukung untuk memunculkan Panna. Munculnya Panna mendukung untuk kemajuan Sila dan Samadhi. Begitulah Sila, Samadhi dan Panna saling berhubungan satu sama lainnya. Sila mendukung Samadhi dan selanjutnya menimbulkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan memberikan kemudahan buat kita dalam menjalankan kemoralan.

Perenungan Terhadap Dhamma


Submitted by Untung on January 28, 2014 – 6:47 pm4 Comments
Perenungan Terhadap DhammaPerenungan Terhadap Dhamma oleh: dr. Ratna Surya Widya
Dalam Dhammanussati atau perenungan terhadap Dhamma, kita bisa menemukan 6 karakter dari Dhamma. Demikian yang dibabarkan oleh romo pandita dr. Ratna Surya Widya dalam ceramah Dhamma di Vihara Pluit Dharma Sukha di Bulan Desember 2013.
Agama Buddha adalah agama praktek. Seorang umat Buddha tidak hanya cukup mempunyai keyakinan terhadap Buddha Dhamma dan Sangha, namun juga dalam praktek kehidupan sehari harinya harus mencerminkan ajaran Buddha. Dalam hal ini artinya kita selalu berusaha untuk melakukan perbuatan sesuai jalan Dhamma, meskipun masih jauh dari sempurna.
Ambil contoh sederhana. Kita semua menginginkan untuk bisa mempunyai banyak materi atau kekayaan. Menjadi kaya bukanlah keadaan yang dilarang dalam agama Buddha. Namun saat kita belum kaya, apa yang kita lakukan untuk menjadi kaya?
Dhamma secara jelas mengajarkan lewat hukum karma cara untuk menjadi kaya. Walaupun cara ini kedengarannya sangat tidak umum. Kalau kita miskin umumnya kita mengharapkan ada orang yang memberi kita uang. Tidak salah dalam kacamata pandangan secara umum. Dalam Dhamma justru kebalikannya. Jika kita masih miskin dan ingin kaya maka berdanalah uang sebisa dan sesering mungkin, bukan malah meminta-minta. Sudahkah kita menjalankannya?
Dalam ceramah dhamma ini romo dr. Ratna Surya Widya menceritakan sepasang suami istri miskin yang berusaha untuk kaya. Saking miskin nya maka penghasilan hari ini hanya cukup untuk makan besok. Tidak ada lebihnya. Jika demikian lalu bagaimana caranya untuk berdana? Apa yang dilakukan oleh sepasang suami istri tersebut dalam usahanya untuk berdana mungkin di luar pemikiran kita.

Menjawab Tantangan Hidup


Submitted by Untung on March 5, 2014 – 8:50 am6 Comments
Menjawab Tantangan Hidup Menjawab Tantangan Hidup. oleh: dr. Ratna Surya Widya.   Maret 2014
Semua manusia mempunyai tantangan hidup yang harus dijawab. Tantangan hidup ber beda-beda antar manusia. Waktu yang berbeda pun akan menimbulkan tantangan hidup yang berbeda pada satu manusia.
Saat masih ber status pelajar atau mahasiswa, tantangan hidup nya mungkin berupa bagaimana bisa naik kelas dengan hasil bagus. Setelah ber keluarga tantangan hidup pun berubah kembali menjadi bagaimana bisa mencari uang dan sebagainya.
Tantangan hidup masuk dalam kategori austress, sedangkan tekanan hidup masuk ke dalam distress.  Kalau boleh dikatakan secara gampang austress masih tergolong positif sementara distress tergolong negatif.
Stress bisa saja mendadak muncul. Apa yang terjadi jika ada dokter memvonis anda menderita kanker stadium 4? Anda akan menganggap nya sebagai austress atau distress? sebaiknya anggap itu sebagai austress. sebagai suatu tantangan hidup untuk bisa sembuh.
Tantangan hidup diperlukan oleh setiap orang. Bayangkan jika seseorang sudah tidak mempunyai tantangan hidup lagi. Orang itu bisa saja bunuh diri karena sudah merasa sudah tidak memiliki harapan maupun target yang harus dicapai dalam hidup ini.
Pernahkah anda merasa bahwa untuk dapat menjalankan Buddha Dhamma dalam kehidupan sehari-hari juga merupakan tantangan hidup? Apalagi jika ada seseorang yang mempunyai tantangan untuk bisa mencapai tahap sotapana dalam kehidupan ini juga. itu merupakan tantangan hidup yang memerlukan usaha yang besar sekali untuk bisa menjawabnya.
Romo dr. Ratna Surya Widya yang juga merupakan seorang dokter jiwa menguraikan tentang tantangan hidup serta 4 cara untuk bagaimana menjawab tantangan hidup tersebut. apa 4 hal yang harus dimiliki setiap orang dalam menjawab tantangan hidup tersebut?
Dalam ceramah Dhamma di vihara Pluit Dharma Sukha 2 Maret 2014, dr. Ratna Surya Widya memberi tahu mengenai 4 hal tersebut yang harus di miliki oleh seseorang dalam menjawab tantangan hidup nya.

Kasih Sayang Ibu (Sebuah Renungan)


Submitted by Untung on March 24, 2014 – 7:11 pm2 Comments
Kasih Sayang Ibu Kasih Sayang Ibu (Sebuah Renungan) oleh: Sri Pannavaro Mahathera
Ceramah Dhamma dengan tema kasih sayang ibu oleh Bhante Sri Pannavaro Mahathera ini saya dapatkan dari sebuah audio CD yang diterbitkan oleh DPP PATRIA. Tidak disebutkan dalam CD tersebut kapan dan dimana khotbah ini dibawakan oleh beliau.
Dalam agama Buddha kedudukan seorang ibu sangat lah istimewa. Dalam Mangala Sutta disebutkan bahwa menyokong ayah dan ibu merupakan suatu berkah utama. Kita mungkin mengatakan bahwa kasih sayang ibu adalah tema sangat sederhana, namun pada praktek kehidupan kita sehari-hari apakah kita sungguh sungguh sudah menyadari besarnya kasih sayang ibu kita? dan sudah berusaha untuk membalas budinya?. Jika merasa sudah membalas apakah dengan cara yang benar?
Banyak kasus di sekeliling kita yang menggambarkan putra putri yang tidak berbakti pada orang tuanya. Banyak alasan yang menimbulkan hal itu. Bisa masalah ekonomi, masalah keluarga, bahkan masalah agama juga bisa membuat seorang anak mengakibatkan orang tuanya menjadi sedih dan menderita.
Cukup banyak kasus yang kita dengar karena alasan seorang anak merasa agamanya yang paling benar dan agama orang tuanya salah maka dia bisa mengancam untuk tidak mau mengurus orangtuanya sendiri jika tidak ikut agamanya. Mungkin dia merasa niatnya baik. Tetapi niat itu benar jika alasannya itu benar, dan dengan cara yang juga harus benar bukan dengan paksaan atau ancaman yang justru membuat orangtuanya merasa menderita.
Agama Buddha juga mengajarkan bahwa untuk dapat membalas budi kepada orang tua, maka seorang anak harus bisa membuat orangtuanya mempunyai sila yang baik dan mengerti Dhamma serta hukum hukumnya. Tetapi sepanjang pengetahuan saya itu bukanlah berarti bahwa seorang anak Buddhis baru bisa membalas budi orangtuanya jika bisa membuat orangtuanya juga beragama Buddha.
Menjalankan sila dan mempraktekkan Buddha Dhamma serta hukum hukumnya tidak identik dengan harus beragama Buddha. Ada orang yang bukan beragama Buddha namun pada prakteknya dia menjalankan sila dan mengerti tentang yang baik akan berakibat baik dan melakukan yang buruk akan berakibat buruk. Bandingkan dengan orang yang mengaku Buddhis tetapi tidak menjalankan sila dan tidak mengerti ajaran Buddha. Mana yang Buddhis menurut anda? Hidup sesuai Buddha Dhamma tidak perlu harus beragama Buddha. Buddha Dhamma bukanlah berupa ritual keagamaan yang dangkal.
Mari kita kembali dalam topik Kasih Sayang Ibu ini. Sebagai seorang anak Buddhis yang baik maka kita harus membalas budi orangtua kita terutama ibu kita. Bhante Sri Pannavaro menerangkan caranya dalam ceramah renungan kasih sayang ibu ini. Namun jika orangtua kita punya keyakinan lain maka menurut hemat saya membalas budinya bukan dengan memaksanya menjadi beragama Buddha tetapi mulai dengan memberikan contoh prilaku kita sendiri yang baik kemudian secara perlahan lahan mengajarkan tentang sila dan Dhamma serta hukum hukumnya. Jika kita bisa membuat orangtua kita hidup sesuai Buddha Dhamma maka kita sudah membalas budi mereka.

Empat Jenis Kesombongan


Submitted by Untung on June 10, 2014 – 3:33 pm2 Comments
Empat Jenis Kesombongan Empat Jenis Kesombongan. Oleh: Dr. Dharma K. Widya
Kesombongan dalam agama Buddha tidak hanya menyangkut hal yang bersifat lebih dibandingkan orang lain. Agama Buddha melihat kesombongan dalam definisi membanding-bandingkan dengan orang lain. Jika kita sudah mempunyai pikiran membandingkan diri sendiri dengan orang lain apapun hasilnya apakah lebih bagus, sama atau malah lebih jelek, semuanya sudah termasuk dalam kesombongan.
Romo Dharma K Widya dalam ceramah Dhammanya pada bulan April 2014 di Vihara Pluit Dharma Sukha menerangkan ada empat jenis kesombongan berdasarkan penyebab yang dapat timbul dalam diri manusia, yaitu:
1. Kesombongan yang muncul akibat kelahiran.
2. Kesombongan yang muncul akibat kepemilikan/harta/kekayaan.
3. Kesombongan yang muncul akibat dari penampilan.
4. Kesombongan yang muncul akibat dari kecerdasan dan ilmu yang dimiliki.
Kesombongan sangat sulit di berantas. Berdasarkan tingkatannya kesombongan memiliki banyak level mulai dari yang sangat kasar sampai yang sangat halus sehingga tidak sadar bahwa itu merupakan kesombongan.
Lebih mudah mengatasi nafsu indria dibandingkan mengatasi kesombongan. Dasar pemikirannya adalah nafsu indria pada tingkat kesucian ke dua atau Sakadagami sudah dapat dilemahkan dan dihilangkan total setelah seseorang telah mencapai tingkat kesucian ketiga atau Anagami. Kesombongan hanya baru dapat dihilangkan setelah seseorang telah mencapai tingkat kesucian tertinggi atau Arahat. Pada tingkat Anagami seseorang masih memiliki kesombongan yang halus. Jadi bisa dikatakan lebih mudah menghilangkan nafsu indria dibandingkan melenyapkan kesombongan.

Makna Pelimpahan Jasa


Submitted by Untung on December 31, 2014 – 12:50 pmNo Comment
Makna Pelimpahan JasaCeramah Dhamma Makna Pelimpahan Jasa oleh Suhu Xian Xing Desember 2014 Vihara pluit Dharma Sukha
Pelimpahan jasa dalam Buddhisme cukup sering menjadi bahan polemik. Karena antara aliran Theravada dan Mahayana maupun Tantrayana sepertinya ada perbedaan dalam pengertian serta objek pelimpahan jasa.
Dalam Theravada, Pelimpahan jasa mengacu pada Tirokudha Sutta dan cerita Yang Ariya Moggalana saat ingin membantu ibunya yang terlahir di alam neraka. Namun yang Ariya Moggalana yang sudah mempunyai kesaktian sangat tinggi pun tidak mampu menolong ibunya. Ketika meminta nasihat Buddha, maka Buddha meminta yang Ariya Moggalana untuk mengundang anggota Sangha dan berbuat kebaikan yang kemudian di limpahkan jasanya kepada ibunya. Ibu Yang Ariya Moggalana pun tertolong.
Meskipun dalam Abhinhapaccavekkhana dikatakan aku adalah pemilik karmaku sendiri, mewarisi karmaku sendiri, lahir dari karmaku sendiri, berhubungan dengan karmaku sendiri serta terlindung oleh karmaku sendiri. Namun pengertian tersebut tidak mengandung pemahaman bahwa makhluk lain sama sekali tidak dapat menolong kita.
Dalam kehidupan saat ini pun kita bisa melihat bahwa kita hidup saling tolong menolong. Hanya saja apakah kita pada saat dan kondisi tertentu bisa ditolong atau tidak bisa, di sinilah pengertian kita terlindung oleh karma kita sendiri berbicara, saat itu karma kita apakah mendukung atau tidak untuk kita menerima pertolongan. Jadi kita tidak selalu bisa di tolong dan tidak selalu tidak bisa ditolong.
Dalam ceramah dhamma di Vihara Pluit Dharma Sukha, Suhu Xian Xing menjelaskan macam macam pelimpahan jasa yang bisa dilakukan. Makna dalam setiap pelimpahan jasa adalah antara kita dan makhluk lain adalah satu. Tidak perlu melakukan perbuatan baik yang khusus dalam pelimpahan jasa. Dalam setiap melakukan perbuatan baik, yang penting kita harus melakukan nya secara tulus, bahkan dengan hanya memberikan senyuman kepada setiap orangpun kita sudah dapat melakukan pelimpahan jasa.

Selasa, 19 Mei 2015

Menjelaskan makna & manfaat puja serta doa.. Makna Puja ::


Dalam agama Buddha berarti "menghormat". Dillihat dari arti puja sebagai penghormatan berarti puja dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu berupa materi maupun perilaku. Puja yang dilakukan dengan materi misalnya, seperti persembahan makanan, buah, dupa, bunga, air, dll. Puja yang dilakukan dengan perilaku juga dapat dilakukan baik melalui fisik seperti bersikap anjali, namaskara, atau pradaksina maupun sikap mental sepeti praktek metta, karuna, khanti serta memiliki samma ditthi. Puja dalam agama Buddha tidak terbatas sebagai penghormatan sebagai dewa-dewa, tetapi termasuk juga penghormatan kepada mereka yang patut dihormati

Sarana Puja :: sarana-sarana yang digunakan untuk melakukan puja.

Yaitu ::

a. paritta,sutera,dharani,dan mantra
b. vihara
c. cetya atau altar
d. stupa

Manfaat Puja ::

a. keyakinan (saddha)
b. metta,karuna,mudita,upekkha
c. pengendalian diri (samvara)
d. Perasaan puas (santutthi)
e. kedamaian (santhi)
f. kebahagiaan (sukha)

Manfaat Amisa Puja ::

* Saddha : Keyakinan dan bakti akan tumbuh berkembang
* Brahmavihara : Empat kediaman atau keadaan batin yang luhur akan berkembang yaitu : Metta (Cinta kasih yg universal), Karuna (Belas kasihan), mudita (simpati atas kebahagiaan/kelebihan makhluk lain), Upekha ( seimbang dalam suka/duka)
* Samvara : Indera akan terkendali
* Santutthi : Puas
* Santi : Damai
* Sukha : Bahagia

Perbedaan antara doa menurut agama Buddha dengan doa menurut pandangan umum ::

Doa menurut agama Buddha diartikan sebagai tindakan penghormatan, perlindungan.. Sedangkan Doa menurut pandangan umum diartikan sebagai tindakan meminta atau memohon..

Mendeskripsikan sejarah & petunjuk tentang puja ..

Sejarah Puja pada Zaman Sang Buddha ::

Puja pada zaman Sang Buddha memiliki arti yang berbeda, yaitu menghormat. Pada masa Buddha terdapat suatu kebiasaan yang dilakukan oleh para bhikkhu yang disebut vattha. Vattha artinya merawat guru Buddha yaitu dengan membersihkan ruangan, mengisi air dan lain-lain. Setelah selesai melaksanakan kewajiban itu, mereka semua (para bhikkhu) dan umat duduk, untuk mendengarkan khotbah dari Buddha. Setelah selesai mendengarkan khotbah, para bhikkhu mengingatnya atau menghafal agar kemanapun mereka pergi, ajaran Buddha dapat diingat dan dilaksanakannya.

Pada hari bulan gelap dan terang (purnama) para bhikkhu berkumpul untuk mendengarkan peraturan-peraturan atau patimokkha yang harus dilatih. Patimokkha yang didengar oleh para bhikkhu adalah diucapkan oleh seorang bhikkhu yang telah menghafalnya. Sebelum atau sesudah pengucapan patimokkha bagi para bhikkhu, umat juga berkumpul untuk mendengarkan khotbah. Umat tidak hanya berkumpul dua kali, tetapi dipertengahan antara bulan gelap dan bulan terang, mereka juga berkumpul di vihara untuk mendengarkan khotbah. Namun, bila Buddha ada di vihara, umat datang untuk mendengarkan khotbah setiap hari.

Para umat biasanya juga melakukan puja (penghormatan) kepada Sang Buddha dengan mempersembahkan bunga, lilin, dupa, dan lain-lain. Namun, Sang Buddha sendiri berkata bahwa melaksanakan Dhamma yang telah Beliau ajarkan merupakan bentuk penghormatan yang paling tinggi. Oleh karena itu, Sang Buddha mencegah bentuk penghormatan yang berlebihan terhadap diri pribadi Beliau.

Sejarah Puja pada Zaman Pasca Buddha ::

Setelah Sang Buddha Parinibanna, umat tetap berkumpul, lalu untuk mengenang jasa-jasa dan teladan dari Sang Buddha atau merenungkan kebajikan-kebajikan Tiratana. Para bhikkhu dan umat berkumpul di vihara untuk menggantikan kebiasaan vattha. Sebagai pengganti khotbah Buddha, para bhikkhu mengulang kotbah-kotbah atau sutta. Selain itu, kebiasaan baik lain yang dilakukan oleh para bhikkhu dan samanera, yaitu setiap pagi dan sore (malam) mereka mengucapkan paritta yang telah mereka hafal. Kebiasaan para bhikkhu tersebut pada saat ini dikenal dengan sebutan kebaktian.

Kebaktian yang merupakan perbuatan baik yang patut dilestarikan adalah salah satu cara melaksanakan puja. Selain itu, sama dengan zaman Sang Buddha, para bhikkhu ataupun umat juga melaksanakan Dhamma ajaran Sang Buddha sebagai penghormatan tertinggi.

Sejarah Amisa Puja ::

Amisa puja dilaksanakan bermula dari bhikkhu Ananda. Beliau adalah murid setia Sang Buddha, setiap hari mengatur tempat tidur, membersihkan tempat tinggal, membakar dupa, menata bunga dll, mengatur pergiliran umat untuk menemui atau menyampaikan dana makanan kpd Buddha.
Setelah Buddha parinibbana, para arahat tidak terguncang batinnya, tetpai bhikkhu Ananda yang belum mencapai arahat, masih merasakan sedih dan berduka, karena selama bertahun-tahun ia berada didekat buddha, untuk merawat dan melayani. kebiasaan menyiapkan cendana, bunga-bungaan dall yang dilakukan oleh bhikkhu ananda kpd buddha inilah yang menjadi kebiasaan umat buddha melaksanakan amisa puja sampai sekarang. umat buddha melaksanakan amisa puja pada altar, relik orang suci, termasuk kpd para bhikkhu dengan memberikan dupa, bunga, lilin, dll.

Mengidentifikasi Praktik Puja Terkait dengan Budaya..

Perbedaan puja dan budaya ::

Puja adalah penghormatan sebagai sarana pengembangan batin yang lebih berkualitas.
sedangkan Budaya adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.

Menjelaskan Praktik Puja dalam Hari-hari Raya Agama Buddha..

* Hari Raya Waisak
Hari suci waisak adalah hari suci atau hari raya utama bagi umat Buddha. Hari Raya Waisak telah menjadi hari libur Nasional sejak tahun 1983, sesuai dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 1983, tanggal 19 Januari 1983.
Hari Suci Waisak memperingati 3 peristiwa penting:
1. Hari lahirnya P.Sidharta pada tahun 623 SM di Taman Lumbini.
2. Tercapainya penerangan sempurna oleh pertapa Gotama dan menjadi Buddha pada tahun 588 SM, di hutan Gaya (Bodh Gaya) rimba Uruvela.
3. Buddha mencapai parinibbana (wafat) pada tahun 543 SM di Kusinara.
Karena memperingati 3 peristiwa penting dalam kehidupan Buddha, maka hari suci Waisak disebut juga “Tri Suci Waisak” dan sering disebut juga sebagai “Hari Buddha”. Hari raya Waisak ini biasanya jatuh pada bulan Mei atau Juni.

* Hari Raya Asadha
Beberapa alasan memperingati Hari Asadha :
1. Buddha membabarkan khotbah yang pertama kali dengna nama “Dhamma-cakkappavatana Sutta” (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma)
2. Munculnya Sangha pertama kali di dunia. Sangha merupakan salah satu faktor dari Tisarana(Buddha,Dhamma,Sangha)
Hari Raya Asadha biasanya jatuh pada bulan purnama sidhi di bulan asadha (juli-agustus) dua bulan setelah Waisak.

* Hari Raya Khatina
Hari Raya Khatina dirayakan tiga bulan setelah hari Asadha. Perayaan ini diselenggarakan umat Buddha sebagai ungkapan perasaan terima kasih atas perbuatan baik yang telah dilakukan oleh para bhikkhu. Karena ketika bhikkhu melaksanakan vassa di vihara selama 3 bulan, mereka mengajar,menuntun dan membina umat agar mendalami,menghayati dan mengamalkan dhamma. Ungkapan terima kasih itu dinyatakan dengan mempersembahkan 4 kebutuhan pokok p[ara bhikkhu :
a. makanan (bhatta)
b. Jubah (civara)
c. Obat-obatan (bhesajja)
d. Tempat tinggal (kuti)
Dan pada saat penyelenggaraan upacara jubah khatina, di suatu vihara atau cetiya harus memiliki syarat-syarat tertentu :
1. jumlah bhikkhu pada tempat bervassa tersebut sedikitnya 5 orang
2. bhikkhu pada vihara tersebut harus membuat suatu dewan khusus.
3. upacara khatina hanya boleh diadakan pada waktunya, Mahayana hari 16 bulan ke 7 sampai hari ke 16 bulan ke 8. Theravada hari ke 16 bulan ke 11 sampai hari ke 16 bulan ke 12.
4. suatu vihara hanya boleh mengadakan Khatina Puja satu kali setahun.
# Hari Khatina disebut juga Hari Sangha.

* Hari Raya Magha Puja
Hari Magha Puja biasanya jatuh pada purnama sidhi di bulan magha (februari-maret). Pada hari ini memperingati 2 kejadian penting dalam masa hidup Buddha,yaitu:
1. berkumpulnya 1250 orang arahat di vihara veluvana, rajagaha.
kejadian ini memiliki keistimewaan yang disebut “Caturangga-Sanipata” sbb:
a. 1250 bhikkhu semuanya arahat.
b. semuanya ditahbiskan langsung oleh Buddha dengan klimat “Ehi Bhikkhu”.
c. semuanya datang tanpa persetujuan terlebih dahulu.
d. Buddha mengajarkan prinsip-prinsip ajaran-Nya yang disebut ” Ovada Patimokkha”.
2. Buddha memberikan khotbah “Iddhipada Dhamma” kepada para siswanya. Kejadian ini terjadi sewaktu Buddha berada di Cetiya Capala di dekat kota Vesali. Setelah beliau memberikan khotbahnya, beliau berdian diri sejenka dan membuat keputusan untuk wafat 3 bulan kemudian.

sumber: GIRIBALA.CO.CC

Mendeskripsikan sila sebagai bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan

Pengertian sila ::
Sila mempunyai banyak arti. Pertama, berarti ‘ norma(kaidah), peraturan hidup, perintah’. Kedua, kata itu menyatakan pula keadaan batin terhadap peraturan hidup, hingga dapat berarti juga ‘ sikap, keadaan, perilaku, sopan-santun’ dan sebagainya.

Dasar-dasar pelaksanaan sila::
1.Sati dan sampajanna
-Sati=cetusan keadaan batin.
-Sampajanna=muncul kesadaran ketika sedang melakukan kegiatan.
2.Hiri dan ottapa
-Hiri=perasaan malu, sikap batin yang merasa malu bila melakukan kesalahan/kejahatan.
-Ottapa= enggan berbuat salah/jahat.

Jalan Mulia Berunsur Delapan::

1.Pandangan benar
2.Pikiran Benar
3.Ucapan Benar
4.Perbuatan Benar
5.Penghidupan Benar
6.Usaha Benar
7.Kesadaran Benar
8.Samadhi Benar

Ucapan benar :: menjauhkan diri dari berbohong, dari menyebarkan cerita,
dari kata-kata kasar, dan dari pembicaraan yang sia-sia.

Perbuatan Benar adalah menghindari::

* Membunuh
* Mengambil yang tidak diberikan
* Melakukan perbuatan asusila

Pengertian mata pencaharian benar::

Mata pencaharian atau pekerjaan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, karena tanpa pekerjaan kita akan mengalami kesulitan dalam hidup kita. Kita memiliki akal dan kebijaksanaan, dengan kebijaksanaan kita dapat mengembangkan kemampuan, memperbaiki, membuat sesuatu atau memilih pekerjaan yang kita inginkan. Memilih pekerjaan yang akan kkita kerjakan adalah penting sekali sebab bila kita salah memilih perkerjaan, kita akan merasa selalu tidak puas dan menderita.