Namo Tassa Bhagavato Arahato Samm?sambuddhassa
Vac?pakopa? rakkheyya – V?c?ya sa?vuto siy?
Vac?duccarita? hitv? – V?c?ya sucarita? care’ti.
Hendaklah orang selalu menjaga
rangsangan ucapannya, hendaklah ia mengendalikan ucapannya. Setelah
menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui ucapan, hendaklah ia giat
melakukan perbuatan-perbuatan baik melalui ucapan.
(Dhammapada 232)
Sebagai bagian dari kehidupan
ber-masyarakat, kita dituntut untuk menjaga tiga pintu perbuatan kita
sendiri, yaitu pikiran, ucapan, dan badan jasmani. Ketiga pintu
perbuatan ini memang harus kita jaga setiap saat. Bisakah kita melakukan
hal ini? Sebisa mungkin kita harus melakukan sehubungan dengan adanya
relasi-relasi yang banyak antarsesama di sekitar kita.
Kita memang mengetahui bahwa
pengucapan sebuah kata membawa pengaruh yang sangat kuat terhadap si
pendengar di sekitar kita. Untuk itu marilah kita simak penjabaran
secara rinci di bawah ini.
Ucapan benar itu dalam pe-nyampaiannya tidak berarti secara terbuka penuh.
Dalam Abhayarajakumara Sutta, Majjhima Nik?ya 58,
Sang Buddha menunjukkan faktor-faktor yang turut menentukan suatu
ucapan patut dan tidak patut dikemukakan. Faktor-faktor yang utama
adalah: 1. Apakah per-nyataan itu benar atau salah, 2. Apakah pernyataan
itu bermanfaat atau tidak, 3. Apakah pernyataan itu dikehendaki/
disetujui oleh orang-orang lain atau tidak. Sang Buddha sendiri akan
me-ngemukakan hal-hal yang benar dan bermanfaat, dan mengetahui saatnya
yang tepat, sesuatu yang menyenang-kan dan sesuatu yang tidak
me-nyenangkan pun patut dikemukakan.
Diceritakan bahwa pada suatu saat,
seorang bayi yang masih kecil sedang berbaring telungkup di pangku-an
Pangeran Abhaya. Sang Buddha berkata kepada Pangeran Abhaya, ”Bagaimana
pendapatmu Pangeran? Karena kelalaianmu atau pun kelalaian perawat,
kalau saja anak yang masih kecil itu memasukkan sebatang kayu atau
sebutir batu ke dalam mulutnya sendiri, apa yang akan engkau lakukan
terhadapnya?”
”Saya akan mengeluarkan kayu atau batu
itu, Bhante. Jika saya tidak bisa mengeluarkannya, saya akan memegang
kepalanya dengan tangan kiri saya dan membengkokkan jari tangan kanan
saya, saya akan me-ngeluarkannya meskipun harus berdarah. Mengapa
demikian? Karena saya memiliki welas kasih kepada anak itu.” Sang Buddha
berkata: ‘Demikian juga Pangeran:
[1] Ucapan yang diketahui oleh
Tathagata sebagai bukan fakta, tidak benar, tidak berhubungan dengan
tujuan, tidak dikehendaki dan tidak menyenangkan orang-orang lain,
Tathagata tidak mengemukakan ucapan-ucapan itu.
[2] Ucapan yang diketahui oleh
Tathagata sebagai fakta, benar, tidak berhubungan dengan tujuan, tidak
dikehendaki dan tidak menyenangkan orang-orang lain, Tathagata tidak
mengemukakan ucapan-ucapan itu.
[3] Ucapan yang diketahui oleh
Tathagata sebagai fakta, benar, ber-hubungan dengan tujuan, tetapi tidak
dikehendaki dan tidak menyenangkan orang-orang lain, Tathagata
me-ngetahui saat yang tepat untuk mengemukakan ucapan-ucapan itu.
[4] Ucapan yang diketahui oleh
Tathagata sebagai bukan fakta, tidak benar, tidak berhubungan dengan
tujuan, tetapi dikehendaki dan me-nyenangkan orang-orang lain,
Tatha-gata tidak mengemukakan ucapan-ucapan itu.
[5] Ucapan yang diketahui oleh
Tathagata sebagai fakta, benar, tidak berhubungan dengan tujuan, tetapi
dikehendaki dan menyenangkan orang-orang lain, Tathagata tidak
me-ngemukakan ucapan-ucapan itu.
[6] Ucapan yang diketahui oleh
Tathagata sebagai fakta, benar, ber-hubungan dengan tujuan, dan
di-kehendaki dan menyenangkan orang-orang lain, Tathagata mengetahui
saat yang tepat untuk mengemukakan ucapan-ucapan itu.
Mengapa demikian? Karena Tathagata memiliki welas kasih ke-pada semua makhluk hidup.” (MN 58)
Dalam Suta Sutta, Gradual Sayings (Aïguttara Nik?ya II. 179) diceritakan
bahwa Brahmana Vassa-kara berkata kepada Sang Buddha, demikian: ”Saya
berpandangan, saya berpendapat bahwa, ketika seseorang berbicara hal-hal
yang telah dilihat, dengan mengatakan, ’Demikian telah saya lihat’,
tidak ada salahnya hal semacam itu. Ketika seseorang ber-bicara hal-hal
yang telah didengar, dengan mengatakan, ’Demikian telah saya dengar’,
tidak ada salahnya hal se-macam itu. Ketika seseorang berbicara hal-hal
yang telah diketahui, dengan mengatakan, ’Demikian telah saya ketahui’,
tidak ada salahnya hal se-macam itu.”
Sang Buddha menanggapi per-nyataan
Brahmana Vassakara tersebut: ”Saya tidak mengatakan, Brahmana, bahwa
hal-hal yang telah dilihat…, hal-hal yang telah didengar…, hal-hal yang
telah diketahui patut dikemukakan. Tetapi bukan berarti hal-hal yang
telah dilihat, telah didengar, telah diketahui tidak patut dikemukakan.”
”Apabila seseorang mengemuka-kan
hal-hal yang telah didengar, hal-hal yang telah dilihat, hal-hal yang
telah diketahui, mengakibatkan kualitas batin yang buruk berkembang dan
kualitas batin yang baik merosot, maka hal semacam itu tidak patut
dikemukakan. Akan tetapi, apabila seseorang me-ngemukakan hal-hal yang
telah di-ketahui, mengakibatkan kualitas batin yang buruk berkurang dan
kualitas batin yang baik berkembang, maka hal semacam itu patut
dikemukakan.”
“Apabila, seseorang mengemuka-kan
hal-hal yang telah dilihat, meng-akibatkan kualitas batin yang tidak
baik berkembang dan kualitas batin yang baik merosot, maka hal semacam
itu tidak patut dikemukakan.”
Dalam menyampaikan segala sesuatu
melalui ucapan, apalagi me-ngenai Dhamma, memang ada cara-cara yang
harus diketahui dengan baik, dan menggunakannya secara baik dan benar
pula. Dalam menanggapi atau menjawab suatu pertanyaan pun kita harus
berusaha memberikan jawaban yang sesuai.
Dalam Pañha Sutta, Gradual Sayings (Aïguttara Nik?ya II. 53-54) Sang Buddha mengajarkan bagaimana cara menjawab suatu pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan yang di-ajukan
tentu harus dimengerti terlebih dahulu, baru memikirkan dan me-rancang
jawaban yang tepat untuk pertanyaan-pertanyaan yang berbeda. Dalam Pañha Sutta
tersebut, dikatakan ada empat cara menjawab pertanyaan-pertanyaan,
yaitu: 1]. Ada pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab secara langsung
dan singkat (misalnya: iya / tidak); 2]. Ada jenis pertanyaan yang harus
dijawab secara analisis (men-definisikan sebanyak mungkin dalam
penjelasan dengan berbagai contoh); 3]. Ada jenis pertanyaan yang harus
dijawab dengan sebuah pertanyaan balik sebagai jawabannya; 4]. Ada pula
jenis pertanyaan yang harus dijawab dengan diam/ tidak perlu dijawab.”
Siapa pun yang mengetahui hal tersebut
dengan benar menghubungkan dengan Dhamma, maka ia dikatakan mahir dalam
empat tipe pertanyaan tersebut. Sulit untuk mengalahkannya. Ia
mengetahui hal-hal yang sesuai dan yang tidak sesuai, sehingga menolak
hal-hal yang tidak memiliki makna dan menguasai hal-hal yang memiliki
makna.
Menurut ayat Dhammapada ter-sebut di atas, tentu usaha dan per-juangan kita sendiri kuncinya. Ber-usaha dan berjuanglah. Sukses!
Sumber: http://www.accesstoinsight.org/canon/sutta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar