AJARAN
BUDDHA DHARMA TENTANG KETUHANAN DAN BAKTI PUJA
Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui, banyak
agama-agama di dunia ini yang memfokuskan perhatiannya tehadap pemujaan pada
tuhan dan makhluk-makhluk suci lainnya, namun para umat buddha di dunia telah
memfokuskan pada tokoh buddha atau siddharta gautama sebagai seorang manusia
yang menemukan bagaimana membawa penecerahan dari penderitaan dan keluar dari
lingkaran hidup dan mati. Cara umat buddha untuk berhubungan dengan buddha
adalah melalui penghormatan, sebagaimana orang lain dapat memuja
kekuatan-kekuatan diluar alam atau dewa-dewa yang mereka yakini dapat
memberikan pertolongan kepadanya dan sanak keluarganya.
Telah dijelaskan pula bahwa dalam
agama buddha tidak mengenal konsep ketuhanan yang maha esa, yang ada adalah
nibbana atau kesempurnaan sejati. Nibbana bisa dicapai dengan melaksanakan
Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tentu saja akan timbul pertanyaan dalam diri para
umat serta simpatisan Buddhis bahwa apabila Nibbana atau Tuhan dalam Agama
Buddha tidak memiliki konsep seperti pemahaman umum yang dikenal dalam
masyarakat, lalu bagaimanakah umat Buddha seharusnya berdoa? Ini akan kita
bahas dalam bhakti puja.
Agama buddha adalah religi
humanitis, berpusat pada diri manusia sendiri dengan segala kekuatannya yang
dapat dikembangkan hingga mencapai kesempurnaan. Berbeda dengan religi
otoriter, yang menghendaki penyerahan, kepasrahan atau ketergantungan terhadap
kekuatan diluar manusia.
Pembahasan
A. Konsep Ketuhanan Buddha
Dharma
Tak dapat dikatakan bahwa didalam
ajaran agama buddha seperti yang terdapat didalam kitab pitaka terdapat ajaran
tentang tuhana atau tokoh yang dipertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali
kepada asalanya, yaitu tuhan. Melainkan unuk masuk kedalam nirwana, pemadaman,
suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan tanpa
kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah
situasi damai.
Oleh karen itu ada ahli-ahli agama
yang tidak mau mengakui, bahwa buddhisme adalah suatu agama. Buddhisme adalah
suatu falsafah, suatu usaha akal manusia untuk mencari kedamaian dengan
rumusan-rumusan yang sistematis mengenai sebab dan akibat[1][1].
Akan tetapi pendapat yang demikian adalah keliru. Memang harus diakui bahwa
sebutan tuhan atau tokoh yang dipertuhan tidak ada. Yang ada adalah nirwana,
pemadaman, situasi padam, bukan tokoh yang memadamka. Tak ada gagasan tentang
suatu pribadi yang ada dibelakang suasana damai itu. Tak ada gagasan tentang pemberi
hukum, tata tertib, baik yang alamiah mauun yang moril. Tiada gambaran tentang
yang disembah dan yang menyembah. Sekalipun demikian, dibelakang segala
pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan manusia akan yang dipertuhan
tadi.
Ajaran agama-agama tentang keyakinan
terhadapa tuhan yang maha esa berbeda-beda. Sekalipun tampaknya ada hal-hal
yang bertentangan terdapat pula hal-hal yang sama, yaitu dia adalah yang
mutlak, yang sering dipahami dan dialami sebagai misteri, rahasia yang
mengatasi dunia.
Buddha mengajarkan ketuhanan tanpa
menyebut nama tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran
manusia, tidak diberikan suatu nama, karena dengan sendirinya nama itu akan
memberi pembatasan kepada yang tidak terbatas. Dalam agama buddha tuhan tidak
dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme
(pengenaan ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme
(pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia).
Buddha tidak mengajarkan teisme
fatalistis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan adikodrati
merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk. Teisme semacam itu
mengingkari kehendak bebas manusia dan dngan sendirinya swajarnya juga
meniadakan tanggung jawab moral perbuatan manusia .
- Buddha Trasenden
Bagi mereka yang menganggap buddha
dilahirkan sebagai orang hindu dan meninggal juga sebagai orang hindu, buddha
adalah salah satu awatara. Awatara berarti ititsan atau perwujudan tuhan yang
maha esa dalam memulihkan ketentraman dunia. Kitab purana menyebutkan ada 10
awatara, dan buddha adalah awatara yang kesembilan[2][2].
Thuben chordon melihat ada tiga cara
pandang mengenai siapa sebenarnya buddha. Cara yang pertama, melihatnya
sebaagai buddha historis, yang dilahirkan sebagai manusia yang kemudian
meninggal dunia. Ia seorang penunjuk jalan, yang sekaligus memberi contoh
kepada manusia. Cara yang kedua adalah dengan memahami buddha sebagai
manifstasi keluhuran yang trasenden, yang muncul dalam berbagai bentuk dan
simbol untuk berbagai fungsi. Ada banyak buddha yang masing-msing menonjolkan
salah satu aspek dari nilai-nilai kebuddhaan. Hakikat dari semua manifestasi
yang beragam sesungguhnya adalah sama. Cara yang ketiga memahaminya sebagai
buddha masa mendatang, yang muncul dalam diri kita, karena kita semua memiliki
potensi untuk menjadi buddha.
- Trikaya
Hakikat kebudhaan dharmakaya yang
absolut. Yang mutlak ini bersifat kekal, meliputi segalanya, tidak dibatasi olh
ruang dan waktu, bukan realitas personifikasi, esa, beban dari pasangan yang
berlawanan, ada dengan sedirinya, bebas dari pertalian sebab akibat. Tubuh
dharma ini disebut juga rahim tathagata (tathagata garbha).
Keterlibatan dalam dunia yag
bersifat relatif dimungkinkan jika buddha mengambil bentuk yang berwujud dan tampak
secara fisik sehingga dapat dipahai dan diterima oleh segala makhluk. Dengan
car itu buddha bekerja untuk menyelamatkan dunia[3][3]. Tubuh yang
tampak tersebut adalah sambhogakaya dan nirmanakaya. Sambhogakaya, yaitu tubuh
rahmat aatu tubuh cahaya, sering dinyatakan dalam perwujudan surgai yang dapat
dilihat oleh makhluk surga dan boddhisatwa. Seorang buddha menyadari kebuddhaan
dengan memiliki tubuh ini. Buddha memiliki tubuh cahaya untuk mengajar para
boddhsatwa. Nirmanakaya yaitu tubuh perubahan yang dapat dilihat oleh manusia.
Dipakai untuk mengajar manusia biasa. Buddha gotama sebagai buddha historis
adalah wujud nirmanakaya.
- Adi Buddha
Dalam agama buddha terdapat banyak
buddha, tetapi hanya ada satu dharmakaya. Dharmakaya yang merupakan sumber perwujudan
panca dhyani buddha dinamakan adi buddha. ”buddha tanpa awal dan akhir adalah
adi buddha”[4][4]. Sebutan adi
buddha berasal dari tradisi aisvarika (isvara, tuhan, maha
buddha), aliran mahayana di nepal, yang menyebar lewat benggala, hinnga dikenal
pula di jawa.
Adi buddha merupakan buddha
primordial, yang esa atau dinamakan juga paramadhi buddha (buddha yang pertama
dan tiada banding). Adi buddha timbl dari kekosongan (sunyata) dan dapat muncul
dalam berbagai bentuk sehingga disebut visvarupa serta namanya pun tidak
terbilang banyaknya. Adi buddha sering diidentifikasikan sebagai salah satu
buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte. Dengan memahami arti dari setiap
sebutan yang maha esa, yang maha pengasih, yang maha tahu dan sebagainyayang
bermacam-macam, sama menunjuk dari sifat tuhan yang satu.
Konsep adi buddha terdapat dalam
kitabnamangsiti, karandavyuha, svayambhupurana, maha vairocanabhisambodhi
sutra, guhya samaya sutra, tattvasangraha sutra, dan paramadi buddhodharta sri
kalacakra sutra. Di indonesia sikenal dengan kitab namangsiti versi
chandrakirti dari sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari zaman
pemerintahan mpu sendok.
Walau umat buddha menyebut tuhan
yang maha esa dengan nama yang berbeda-beda. Undang-undang RI no.43 tahun 1999
(perubahan atas UU no. 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian),
sebagaimana peraturan pemerintah RI no. 21 tahun 1975 (tentang
sumpah/janji pegawai negri sipil), menyatakan dalam pengucapan sumpah atau
janji bagi mereka yang beragama buddha, kata-kata “demi allah” diganti dengan
“demi sang hyang adi buddha”[5][5].
- Manifestasi Keyakinan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Keyakinan terhadap tuhan yang maha
esa dengan sebutan atau nama yang berbeda-beda adalah pengakuan akan kebesaran
tuhan yang tak dapat dijelaskan secara tepat . tingkat pemahaman akan hakikat
tuhan bisa berbeda-beda pada setiap manusia. Keyakinan ini membawa konsekuensi
kepada kita untuk bersikap saling menghormati, toleran, memelihara kerukunan
dan bekerjasama antar pemeluk agam dan penganut kepercayaan yang berbeda,
apalagi antar sekte.
Keyakinan bahwa tuhan yang maha esa
mengatasi dunia, mendorong agar kita mengembangkan pemahaman, hingga mampu
membebaskan diri dari semua rintangan duniawi, melalui penembusan bodhi, untuk
sapai kepadanya. Karena tuhan yang maha esa itu juga maha tinggi, maha luhur,
maha suci, maha sempurna, manusia yang percaya dan memujanya akan selalu
mencinati segala sifat-sifatnya yang mulia, mengembangkan sifat-sifat itu dalam
diri masing-masing. Salah satunya brahma vihara atau kediaman luhur yang bisa
diarikan sebagai rumah tuhan yaitu cinta kasih (metta), welas asih (karuna),
simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha).
Keyakinan terhadap tuhan yang maha
esa sebagai kebenaran mutlak atau dharma yang mnguasai dan mengatur alam
smesta, serta melindungi mereka yang melaksanakan kebenaran membuat kita selalu
menjauh kejahatan dan tidak menentang hukum alam. Menyadari kehadirannya yang
tidak dibatasi ruang dan waktu, membuat kita senantiasa merasa dekat dengannya
dalam kehidupan sehari-hari, didunia luar hingga hati.
Beriman itu membuat seorang buddha
dengan mantap memiliki kekuatan, selalu berusaha untuk meninggalkan hal-hal
yang baik,bersemangat sekuat tenaga melatih dan tidak melepaskan tanggung
jawab. Kebjikan orang yang memilii keyakinan harus dapat dikenali dari tiga
hal, ia berhasrat untukmenemui orang-orang yang bijaksana, berhasrat untuk
mendengarkan dharma, dan dengan hati yang bebas dari keserakahan, ia hidup
dengan murah hati, bekerja tanpa suka mencela, suka berdana, suka menolong, dan
berbagi dengan orang lain.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa
untuk memahami konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu dimengerti terlebih
dahulu bahwa dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua cara pendekatan.
Pertama, tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang
dijumpai istilah tuhan melihat umatnya, atau tuhan mendengar doa umatnya serta
masih banyak lainnya.
Pendekatan kedua, tuhan dikenal
melalui sifat manusia. Misalnya, tuhan marah, tuhan cemburu, tuhan mengasihi,
tuhan adil, serta masih banyak istilah sejenis lainnya. Berbeda dengan yang
telah disampaikan, ketuhanan dalam agama buddha tidak menggunakan kedua cara di
atas. Agama buddha menggunakan aspek nafi atau penolakan atas segala sesuatu
yang dapat dipikirkan oleh manusia. Jadi, pengertian nibbana atau tuhan dalam
agama buddha adalah yang tidak terlahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak
bersyarat, yang tidak kondisi. yang tidak terpikirkan, serta masih banyak kata
tidak lainnya. Secara singkat, tuhan atau nibbana adalah mutlak, tidak ada
kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan dengan
ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala sesuatu bahkan hal
sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang tidak akan
pernah mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada orang yang sama
sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang itu bercerita,
si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya, apalagi jika
membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak mungkin terceritakan. Untuk
itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah dengan membawa
contoh durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar. Setelah melihat
bendanya, mencium aromanya, si pendengar pasti segera menganggukkan kepada
penuh pengertian.
B. Konsep Bhakti Puja dalam
Buddha Dharma
Banyak orang sering menyebutkan
secara keliru bahwa umat buddha melakukan sembahyang di vihara. Untuk itu,
sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah sembahyang yang sebenarnya
terdiri dari dua suku kata yaitu sembah berarti menghormat dan hyang yaitu
dewa. Dengan demikian, sembahyang berarti menghormat, menyembah para dewa.
Apabila sembahyang diartikan seperti itu, maka umat buddha sesungguhnya tidak
melakukan sembahyang. Umat buddha bukanlah umat yang menghormat maupun
menyembah para dewa. Umat buddha mengakui keberadaan para dewa dewi di surga,
namun umat tidak sembahyang kepada mereka. Umat buddha juga tidak berdoa karena
istilah ini mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan ketika
seseorang sedang berdoa[6][6]. Umat buddha
tentu saja tidak pernah meminta kepada arca sang buddha maupun kepada pihak
lain. Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat buddha bukanlah penyembah
berhala karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga kepada arca sang
buddha, arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia lainnya. Daripada
disebut sembahyang maupun doa, umat buddha lebih sesuai dinyatakan sedang
melakukan puja bakti. Istilah puja bakti ini terdiri dari kata puja yang
bermakna menghormat dan bakti yang lebih diartikan sebagai melaksanakan ajaran
sang buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam melakukan puja bakti, umat
buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman sang buddha
masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan tenang,
melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang
sang buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan bersujud ini
dilakukan karena sang buddha berasal dari India. Sudah menjadi tradisi sejak
jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika seseorang
bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud yaitu
menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak dihormati
dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.
Karena bersujud di depan altar
ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para umat dan
simpatisan boleh saja tidak melakukannya apabila batinnya tidak berkenan untuk
melakukan tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca tidak mungkin
menuntut dan memaksa seseorang yang berada di depannya untuk bersujud. Namun,
dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai kesempatan lebih besar
untuk berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap rendah hati.
Setelah memasuki ruangan dan
bersujud, umat buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah disediakan. Umat
kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan
tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah sang buddha. Diharapkan dengan
pengulangan kotbah sang buddha, umat mempunyai kesempatan untuk merenungkan isi
uraian dhamma sang buddha serta berusaha melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal dhamma, semakin
banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah sang buddha yang diulang,
maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam tindakan, ucapan maupun pola
pikirnya.
Salah satu contoh yang paling mudah
ditemukan adalah kebiasaan umat membaca karaniyametta Sutta di vihara. Sutta
atau kotbah sang buddha ini berisikan cara memancarkan pikiran penuh cinta
kasih kepada semua mahluk di setiap waktu, ketika seseorang sedang berdiri,
berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan, dengan sering
membaca sutta tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan pikiran cinta
kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih sabar dari
sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta tersebut bahwa jangan
karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian baris cinta
kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan mampu
melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka batin seseorang akan
menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi yang tidak
sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu mengendalikan dirinya.
Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan berkumpul maka ia akan selalu membawa
kebahagiaan untuk lingkungannya.
Itulah makna sesungguhnya dari pengertian
puja bakti yaitu menghormat dan melaksanakan ajaran sang buddha. Sekali lagi,
umat buddha tidak berdoa, juga tidak sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa,
adalah wajar apabila umat buddha mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya
ingin banyak rejeki, ingin kaya dan sebagainya. Jika demikian, bagaimanakah
yang dilakukan oleh umat buddha agar keinginan atau harapan yang ia miliki
tersebut dapat tercapai?
Untuk mencapai keinginan yang
dimiliki, secara tradisi umat buddha disarankan untuk melakukan kebajikan
terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Setelah berbuat
kebajikan, ia dapat mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan tersebut agar
memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkan.
- Berdoa Bukan Meminta
Doa yang paling sering kita dengar
adalah berbagai jenis permohonan. Kalaupun mengandung pujian, biasanya diikuti
dengan permintaan. Ketika menghadapi penderitaan, kesulitan dan ketakutan,
banyak orang berdoa meminta pertolongan. Seperti dalam mite rahu, sang surya
berdoa saat gerhana matahari. Doa dalam mora parita juga memohon
pertolongan dan perlindungan. Ini tidak salah, tetapi sembahyang atau doa saja
tidak cukup untuk memecahkan masalah[7][7]. Kepada
anathapindika, buddha pernah mengemukakan bahwa kebanyakan orang mendambakan panjang
usia, kecantikan, kebahagiaan, kehormatan dan alam surga. Kelima hal itu
tidaklah tercapai hanya dengan berdoa. Untuk mencapai apa yang diinginkan
janganlah bergantung pada doa atau bersikap pasrah tak berdaya, tapi ia harus
berusaha menempuh jalan kearah itu. Setiap orang dapat merubah nasibnya dengan
berusaha melakukan apa yang terbaik.
Sehari-hari dapat kita lihat orang
yang meminta agar keinginannya dipenuhi orang lain bersikap merendah atau juga
menjilat hingga menyogok, dan menuntut. Jika doa diartikan meminta, dan
ternyata yang diharkan sesorang tidak terkabul, mungkin timbul kemudian rasa
jengkel dan kecewa. Bagi seorang buddhis, rahmat dan berkah tuhan, kasih
buddha, perlindungan tritana tidak hanya bagi orang yang meminta. Tanpa
meminta, apa yang diharapkan pasti akan datang pada waktunya sebagai buah dari
perbuatan (karma). Karena itu orang berdoa seraya mawas diri, buddha selalu
melindungi, buddha selalu memancarkan kasih sayangnya yang tidak terbatas.
Contoh doa dalam syair shanti deva
(abad ke 7)[8][8].
Semoga aku menjadi penwar rasa sakit
bagi semua makhluk
Semoga aku menjadi dokter dan
perawat bagi semua orang sakit
Semoga aku dapat memberi makan dan
minum semua yang menderita lapar dan kehausan
Semoga aku menjadi mestika yang tak ternilai
bagi orang-orang miskin
Smoga aku menjadi pembela bagi
mereka yang dicampakan terlantar dipinggir jalan
Semoga aku menjadi perahu dan titian
bagi mereka yang merindukan pantai sebrang
Semoga aku menjadi elita penerang
bagi mereka yang tersesat jalan.
Shanti deva tidak berdoa agar
menjadi kaya, tatapi apa yang diharapkannya jelas tidak akan tercapai tanpa
kekayaan. Doanya bukan meminta, malah menunjukan untuk bisa memberi.
- Parrita dan Mantra
Parrita adalah bacaan perlindungan
yang dalam pengertian sekarang disamakan dengan doa. Pembacaan parita bermula
dari petunjuk buddha kepada siswanya untuk mengucapkan bacaan tertentu agar
terhindar dari kesulitan atau telindung dari kejahatan. Misalnya angulimala
parrita yang dibacakan menjelang suatu persalinan. Berasal dari formula
pernyataan kebenaran dan doa agar ibu dan bayiny selamat, yang diajarkan oleh
buddha gotama kepada angulimala untuk menolong perempuan yang menghadapi
kesukaran melahirkan.
Selanjutnya adalah mantra. Mantra
adalah rumusan mistis suku-suku kata yang dipandang suci dan mengandung
kekuatan gaib. Pada mulanya sebuah sutra panjang diringkas menjadi beberapa
bait kalimat yang disebut hrdaya (ikhtisar). Hrdaya ini diringkas
menjadi dharani yang hanya terdiri dari satu atau dua baris kalimat, yang
selanjutnya diringkas lagi menjadi mantra yang terdiri dari beberapa suku kata.
Konsep mantra berkembang dai
keyakinan agar kegunaan suara (sabda) sebagai sumber suatu kekuatan atau bahkan
sebagai kekuatan itu sendiri yang memiliki pengaruh kuat terhadap diri manusia
dan alam semesta. Agar suatu mantra menjadi efektif setelah dibaca
berulang-ulang dengan mulut atau dengan hati, ia harus dibangkitkan didalam
kesadaran seorang melalui integrasi psiofisik dan meditasi yang mendalam. Tanpa
konsentrasi mendalam dan meditasi, mantra tidak memiliki kekuatan[9][9].
- Persembahan
Berdoa (bhakti puja) dapat dilakukan
secara pribadi atau bersama. Dalam suatu upacara, berdoa dapat dilakukan dengan
ataupun tanpa mempersembahkan sajian. Untuk melakukan upacara persembahan
karena buddha dan boddhisattwa mwmwrlukan persembahan itu. Tidak juga suatu
persembahan dimaksudkan untuk mengambil hati mereka. Memberi persembahan bukan
keharusan, tetapi biasany dilakukan sebagai cara untuk mengembangkan potensi
batin dan melatih pikiran kita. Lewat persembahan kita mengikis egoisme,
melenyapkan kemelekatan dan kekikiran. Kita membiasakan diri untuk memberi apa
yang terbaik dengan terimakasih yang tulus, gembira berbagi, tanpa merasa
kehilangan. Para buddha dan boddhisattwa menerima persembahan tanpa membawanya
pergi.
Setiap sajian yang dipersembahkan
memiliki makna simbolik. Pelita atau lilin melambangkan penerangan, menghapus
saput kegelapan dan ketidaktahuan. Air selain membersihkan juga melambangkan
kerendahan hati. Dupa yang harum dengan asap membumbung keatas mengingatkan
kepada harumnya nama baik dan kebajikan menyebar kemana-mana hingga ke surga.
Bunga mengingatkan ketidak kekalan sehingga kita terdorong untuk mencapai
kebebasan.
Daftar
Pustaka
Ali, Mukhti.H.A, Agama-agama di Dunia.Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press.1988.
Mukti, Krishanda Wijaya, Wacana Buddha Dharma.
Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan. 2006.
Tanggok, M. Ikhsan, Agama Buddha. Jakarta:
Lembaga Penelitian Uin Jakarta. 2009.
Hadiwijono, Harun, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta:
PT. BPK Gunung Mulia. 1987.
Mahatera, Narada.Sang Buddha danAjaranya.Jakarta:
Yayasan Dharmadipa Arama 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar