AJARAN BUDHA DHARMA TENTANG MANUSIA
DAN ALAM
- Ajaran Budha tentang manusia
Manusia, menurut ajaran Budha,
adalah kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan
bergerak, yang disebut Pancakhanda atau lima kelompok kegemaran yaitu:
- Rupakhandha (kegemaran akan wujud atau bentuk), adalah semua yang terdapat dalam makhluk yang masih berbentuk (unsur dasar) yang dapat diserap dan dibayangkan oleh indra. Yang termasuk Rupakhandha adalah hal-hal yang berhubungan dengan lima indra dengan obyek seperti bentuk yang terlihat, terdengar, terasa, tercium ataupun tersentuh.
- Vedanakhandha (kegemaran akan perasaan), adalah semua perasaan yang timbul karena adanya hubungan lima indra manusia dengan dunia luar. Baik perasaan senang, susah ataupun netral.
- Sannakhandha, adalah kegemaran akan penyerapan yang menyangkut itensitas indra dalam menanggapi rangsangan dari luar yang menyangkut enam macam penyerapan indrawi seperti bentuk-bentuk suara, bau-bauan, cita rasa, sentuhan jasmaniah dan pikiran.
- Shankharakhandha adalah kegemaran bentuk-bentuk pikiran. Bentuk-bentuk pikiran disini ada 50 macam, seperti lobha (keserakahan), chanda (keinginan), sadha (keyakinan), viriya (kemauan keras) dan sebagainya.
- Vinnanakhandha (kegemaran akan kesadaran) adalah kegemaran terhadap reaksi atau jawaban yang beradasarkan pada salah satu dari keenam indra dengan obyek dari indra yang bersangkutan. Kesadaran mata misalnya, mempunyai mata sebagai dasar dan sasaran benda-benda yang dapat dilihat. Kesadaran tersebut mengarah pada yang buruk, yang baik atau netral.[1][1]
Kelima Kandha tersebut sering diringkas
menjadi dua yaitu nama dan rupa. Nama adalah kumpulan dari
perasaan, pikiran, penyerapan dan perasaan, yang dapat digolongkan sebagai
unsur-unsur rohaniah. Rupa adalah badan jasmaniah yang terdiri dari empat unsur
materi, yaitu unsur tanah, air, api dan udara.
Pemikiran tentang manusia dalam agama Budha adalah unik, yaitu karena
penyangkalannya terhadap adanya roh atau atma yang kekal abadi dalam diri
manusia. Manusia dianggap merupakan kumpulan dari lima Kandha tanpa adanya roh
atau atma di dalamnya.
Anatma merupakan ajaran yang mengatakan bahwa tiada aku yang kekal atau
tetap.[2][2] Bila
roh yang dianggap sebagai inti manusia itu bersifat langgeng, maka tak akan
terjadi suatu perkembangan ataupun kemunduran. Menurut pendapat Bertrand Russel
“Perbedaan lama antara roh dan tubuh telah usai, karena materi telah kehilangan
spiritualitasnya. Psikologi sudah menjadi ilmiah. Dalam psikologi modern
kepercayaan akan kekekalan tidak mendapat suatu dukungan dari ilmu
pengetahuan”.
Umat Budha setuju dengan pendapat
Bertrand Russel yang menyatakan “Jelas terdapat beberapa alasan dimana aku
sekarang merupakan orang yang sama dengan aku kemarin, dan menggunakan contoh
yang lebih jelas, bila aku melihat seseorang dan mendengar ia bicara maka terdapat
suatu pengertian di mana “aku” yang mendengar.[3][3] Anatma dapat
diterangkan dalam 3 tingkatan, yaitu:
- Tidak terlalu mementingkan diri
- Kita tidak dapat memerintah terhadap siapa dan apa saja,
- Bila tingkatan pengetahiuan tinggi telah dicapai dan telah mempraktekkan akan pengetahuan dan menemukan bahwa jasmani dan batinnya sendiri adalah tanpa aku.
Jika ada suatu diri yang sejati atau
permanen, harus dapat diidentifikaikan. Bagaimanapun juga tubuh berubah tak
henti-hentinya dari detik ke detik, dari kelahiran sampai kematian. Pikiran
bahkan berubah lebih cepat lagi. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa batin, badan,
atau gabungan tertentu dari keduanya adalah suatu diri yang berdiri sendiri.
Tidak ada yang dapat berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri
karena badan maupun batin tergantung dari banyak faktor untuk eksis. Karena apa
yang dinamakan “diri” ini hanyalah sekumpulan faktor fisik dan mental yang
terkondisi dan selalu dalam perubahan, tidak ada unsur yang nyata atau konkrit
di dalam kita. Dengan menyadari di atas, maka akan lebih mudah untuk tumbuh,
belajar, berkembang, bermura hati dan berwelas asih karena tidak merasa harus
membentengi diri.[4][4]
Agama Budha tidak menolak sama
sekali adanya suatu kepribadian dalam suatu pengertian empiris. Agama Budha
hanya bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada di dalam suatu pengertian
mutlak. Istilah filsafat Budhis bagi seorang individu adalah Santana, yaitu
arus atau kelangsungan, yang mencakup unsur-unsur rohani dan jasmani”. Kekuatan
kamma masing-masing individu merupakan unsur-unsur batin dan jasmani.[5][5]
Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran Budha selalu
dalam keadaan dukkha, sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya Satyani tentang
hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu:
- Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
- Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha)
- Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantung (sankharadukkha)
Untuk menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan memahami sumber dukkha
yang disebut dukkhasamudaya, yang ada dalam diri manusia itu sendiri,
yaitu berupa tanha (kehausan) yang mengakibatkan kelangsungan dan kelahiran
kembali serta keterikatan pada hawa nafsu.
Terhentinya dukkha manusia disebut dukkhanirodda yang berarti nirwana atau
nibbana. Istilah “nirwana” mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan
akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan konsep surga
maupun neraka atau arti yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen,
ataupun Hindu. Nirwana diartikan sebagai suatu keadaan yang harus disadari dan
dipahami oleh orang-orang yang ingin mengalaminya melalui cara-cara tertentu.
Isa diartikan sebagai pemadaman, penghancuran anavas, yaitu sifat-sifat
induvidualis, menuruti hawa nafsu dan kebodohan dan terlepasnya ikatan pada
hal-hal yang indrawi sehingga menjadi tidak ada kelahiran kembali.
Nirwana merupakan tujuan akhir dari semua pemeluk Buddha, baik sewaktu masih
hidup maupun sesudah mati, yang dapat dicapai oleh setiap orang dengan jalan
memahami delapan jalan mulia atau Hasta Arya Marga.[6][6]
- Ajaran Budha tentang Alam
Dalam bahasa Pali, alam semesta
disebut loka, menurut ajaran Budha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang
timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu,
ia disebut sankhata dharma yang berarti ada, yang tidak mutlak dan
mempunyai corak timbul, lenyap dan berubah. Alam semesta adalah suatu proses
kenyataan yang yang selalu dalam keadaan menjadi. Hakikat kenyataan itu adalah
arus perubahan dari suatu keadaan menjadi keadaan lain yang berurutan. Karena
itu, alam semesta adalah sankhara yang bersifat tidak kekal, selalu dalam
perubahan dan bukan jiwa, tidak mengandung suatu substansi yang tidak
bersyarat.
Ada tiga tradisi pikiran mengenai
asal muasal dunia. Tradisi pikiran pertama menyatakan bahwa dunia ini ada
karena alam dan bahwa alam bukanlah suatu kekuatan kepandaian. Bagaimanapun
alam bekerja dengan caranya sendiri dan teru berubah.
Tradisi pikiran kedua berkata bahwa
dunia diciptakan oleh suatu Tuhan mahakuasa yang bertanggung jawab akan segala
sesuatu.
Tradisi pikiran ketiga berkata bahwa
awal dunia dan kehidupan ini tidak dapat dibayangkan karena hal itu tidak
memiliki awal atau akhir. Ajaran Budha sesuai dengan tradisi ketiga ini.
Bertrand Russell mendukung tradisi pikiran ini dengan berkata, “Sama sekali
tidak ada alasan untuk menganggap bahwa dunia memiliki suatu permulaan. Gagasan
b
ahwa segala sesuatu harus memiliki
permulaan benar-benar karena miskinnya pikiran kita.”[7][7]
Tentang terjadinya alam ini
dikaitkan dengan hukum Pattica-Samuppada. Arti Pattica-Samuppada kurang lebih
adalah “muncul bersamaan karena syarat berantai” atau “pokok permulaan sebab
akibat yang saling bergantungan”.[8][8]
Yang dimaksud bergantungan disini
adalah unsur-unsur penyusun alam semesta, baik materi maupun mental
berinteraksi satu sama lain sedemikian hingga tidak satupun yang berdiri secara
terpisah, segala sesuatu sama-sama pentingnya.[9][9]
Prinsip dari ajaran hukum
Patticasamuppada diberikan dalam empat rumus/formula pendek yang artinya
berbunyi sebagai berikut:
- Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
- Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
- Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu
- Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.[10][10]
Sistem dunia selalu muncul, berubah,
hancur dan hilang di dalam semesta dalam siklus yang tak berpenghujung. Ajaran
Budha tidak pernah menyatakan bahwa dunia, matahari, bulan, bintang, angin,
air, siang dan malam diciptakan oleh suatu Tuhan yang berkuasa atau seorang
Budha.
Umat Budha tidak percaya bahwa dunia
akan tiba-tiba berakhir dalam suatu kehancuran total sama sekali. Jika sebagian
tertentu dari alam menghilang, sebagian yang lain muncul kembali atau
berevolusi dari sisa alam semesta sebelumnya.
Dalam ilmu pengetahuan, pengetahuan
tentang alam semesta ditujukan untuk memungkinkan manusia untuk menguasai demi
kenyamanan material dan keamanan pribadinya. Tetapi sang Budha mengajarkan
bahwa tidak ada pengetahuan nyata apapun yang mampu membebaskan manusia dari
rasa sakit.[11][11]
Dalam Visudha Maga 2204, loka
tersebut digolong-golongkan atas shankharaloka, sattaloka, okasaloka.
Shankharaloka adalah alam makhluk yang tidak mempunyai kehendak, seperti
benda-benda mati, batu, logam, emas.
Sattaloka adalah alam para makhluk hidup yang mempunyai kehendak
mulai dari makhluk yang rendah hingga yang tinggi, kelihatan atau tidak,
seperti manusia, hantu, dewa. Dalam sattaloka ada 31 alam kehidupan
yang dapat dikelompokkan menjadi:
- Kamaloka, yaitu alam kehidupan yang masih senang dengan nafsu birahi dan terikat oleh panca indranya.[1][12] Meliputi 11 alam yang dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a.) Apaya-Bumi,
meliputi:
- Alam neraka
- Alam binatang
- Alam syetan
- Alam raksasa asuro.
b.)
Kamasugatu-Bhumi, meliputi:
- Alam para Dewata yang menikmati ciptaan-ciptaan lain,
- Alam dewata yang menikmati ciptaannya sendiri,
- Alam dewata yang menikmati kesenangan,
- Alam dewata Yama,
- Alam 33 dewata
10. Alam tempat Maharaja
11. Jagat manusia[2][13]
Jadi Brahma
tidak dapat dikatakan Tuhan yang Maha Esa karena masih berada dalam
Samsaracakra yaitu lingkaran roda samsara yaitu Roda kelahiran dan kematian. Di dalam samsaracakra ada tiga alam yaitu alam Brahma tanpa
wujud, alam Brahma berujud dan alam Kamaloka. Kamaloka terdiri dari Sorgaloka
dan Bumi loka yaitu alam yang dihuni oleh para Dewa dan umat manusia.
Brahmaloka maupun Kamaloka ini diciptakan, dilahirkan karena dialam-alam
tersebut masih ada penderitaan, umur tua dan mati.[3][14]
- Ruppaloka, alam bentuk atau alam tempat tinggalnya Rupa-Brahma. Alam ini bisa dicapai dengan mengheningkan cipta dalam samadi. Terdiri 16 alam yang dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:
a.) Pathama Jhana
Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang pertama
12. Brahma Parisajja: alam
pengikut Brahma
13. Brahma Purohita: alam para
mentrinya Brahma
14. Maha Brahma: alam Brahma
yang besar.
b.) Dutiya Jhana
Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang kedua
15. Brahma Parittabha: alam
para Brahma yang kurang bercahaya
16. Brahma Appamanabha: alam
para Brahma yang tidak terbatas auranya.
17. Brahma Abbhassana: alam
para Brahma yang gemerlapan cahayanya.
c.) Tatiya Jhana
Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang ketiga:
18. Brahma Parittasubha: alam
para Brahma yang kurang auranya,
19. Brahma Appamanasubha: alam
para Brahma yang tidak terbatas auranya
20. Brahma Subhakinha: alam
para Brahma yang auranya penuh dan tetap,
d.) Catutha Jhana Bhumi,
yaitu ada 7 alam Jhana yang keempat,
21. Brahma Vehapphala: alam
para Brahma yang besar pahalanya,
22. Brahma Asannasatta: ialah
alam para Brahma yang kosong dari kesadaran,
23. Brahma Aviha: alam
kediaman para makhluk yang tidak bergerak,
24. Brahma Atappa: alam
kediaman para makhluk/Brahma yang suci,
25. Brahma Suddassa: alam
kediaman para makhluk/Brahma yang indah,
26. Brahma Sudassi: alam
keidiaman para makhluk/Brahma yang terang,
27. Brahma Akanittha: alam
kediaman para makhluk/Brahma yang luhur.[4][15]
- Arupaloka (alam tanpa bentuk) adalah alam dewa yang tidak berbadan. Ada 4 alam, yaitu:
28. Akasanancayatana: keadaan
konsepsi ruangan yang tanpa batas,
29. Vinnanancayatana: keadaan
konsepsi kesadaran yang tanpa batas,
30. Akincannayatana: keadaan
konspsi kekosongan,
31. Nevasannanasannayatana: keadaan
konsepsi bukan pencerapan pun bukan tidak pencerapan.
Okasaloka adalah alam tempat. Disini terdapat dan hidup
makhluk-makhluk di atas, seperti bumi adalah okasaloka tempat manusia hidup dan
tempat makhluk lain.
Seprti sudah dijelaskan diatas bahwa menurut kepercayaan agama Budha, alam
tersebut di atas bukan diciptakan Tuhan, dan Tuhan tidak mengaturnya.
Agama Budha selalu menghindari membicarakan persoalan hubungan Tuhan atau alam
mutlak dengan alam yang tidak mutlak Karena dikhawatirkan dapat menimbulkan
problem metafisika yang tidak habisnya. Segala sesuatu di alam ini dikembalikan
dalam rangkaian sebab akibat, berdasarkan aturan yang berlaku di mana-mana
(hukum). Hukum yang tetap, yang pasti, disebut Dharma yang mengatur tata tertib
alam semesta, tidak tercipta, kekal dan immanent.
Dharma yang mengatur alam semesta disebut dharmaniyama yang dapat digolongkan
menjadi lima:
- Utuniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa energy.
- Bijaniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa biologis.
- Karmaniyama, yaitu hukum yang mengatur bidang moral, yang bertumpu pada hukum sebab-akibat.
- Cittaniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa batiniah.
- Dharmaniyama, yaitu hukum yang mengatur hal-hal yang tidak termasuk dalam keempat kelompok di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar