Selasa, 23 Desember 2014

Hidup Bahagia Dengan Dhamma

Oleh (Alm) Yang Mulia Bhikkhu Girirakkhito Mahathera


Saya akan memberikan khotbah yang erat hubungannya dengan hari Magha Puja. Semoga ini dapat memacu semangat dan tekad saudara untuk lebih giat meningkatkan pengamalan terhadap agama Buddha. Apabila tadi telah dijelaskan bahwa 1250 orang Arahat yang memiliki ca-abhinna, dengan tanpa diundang mereka semua hadir pada suatu saat yang bersamaan untuk mendengarkan wejangan Sang Buddha, maka saya harus menyampaikan kepada saudara-saudara bahwa ajaran Sang Guru Agung Buddha Gautama itu betul-betul sangat tinggi, sangat bermanfaat. Buktinya terdapat 1250 orang Arahat, dan tentu juga para Anagami, Sakadagami, dan Sotapatti, yang tak dapat dihitung banyaknya. Mereka adalah tergolong orang-orang yang sukses bertemu dengan agama Buddha, menghayati agama Buddha, dan kemudian meraih hasilnya, dari apa yang bisa dicapai dalam melaksanakan Buddha Dhamma.
Kalau diumpamakan, Buddha Dhamma atau agama Buddha itu adalah suatu universitas yang terbuka. Dia tidak harus melalui SMP, SMA, atau Fakultas ini atau Fakultas itu, tetapi siapa saja, yang tua, yang muda, mereka bisa belajar. Inilah yang saya umpamakan seperti universitas Terbuka. Dan buktinya, pada zaman Sang Buddha masih hidup, banyak sekali yang meraih sukses. Mereka bukan mendapat gelar Doktor, Insinyur, Sarjana Hukum, atau sarjana-sarjana lainnya, tetapi gelarnya adalah Arahat, Anagami, Sakadagami, Sotapatti. Dan kalau dibandingkan kesempurnaan pengetahuannya dengan sarjana-sarjana yang dilahirkan pada masa ini, saya kira kesempurnaan pengetahuannya jauh lebih hebat. Mereka yang menjadi Arahat bisa memiliki pengetahuan yang luar biasa, bahkan bukan saja pengetahuan duniawi tetapi sampai mampu terbang, datang ke Veluvana Arama (Hutan Bambu), mampu menerima perintah Sang Buddha untuk hadir tanpa diundang. Bayangkan! Bukankah ini suatu kemajuan yang puncak-puncaknya, yang pernah dicapai oleh para siswa Buddha pada zaman-zaman lampau?
Saudara, sekarang saya berusaha untuk mengambil makna, arti, dan hakikat dari Hari Magha Puja ini. Setelah mendengar apa yang diuncarkan tadi oleh para bhikkhu Sangha, kita melihat bahwa yang patut kita renungkan atau resapkan kembali, adalah:
Pertama:“Jangan berbuat jahat, dan perbanyaklah kebajikan”; ini adalah termasuk moral atau sila.
Kedua:“Praktikkan Kesabaran”; ini merupakan sarana kehidupan spritual yang sangat bermanfaat.
Ketiga:“Sucikan hati dan pikiran”.

Bersihkan Pikiran, Jaga Pikiran, dan Bahagiakan Pikiran. Itulah yang akan saya coba sampaikan kepada saudara-saudara saat ini. Semoga bangkit semangat kita untuk mengamalkan Sila. Sila adalah ajaran yang sangat penting. Jangan tertipu, jangan terpancing, atau jangan sampai diolok-olok oleh kelompok-kelompok tertentu yang mengatakan bahwa Sila pada zaman kehidupan modern ini sudah tidak mungkin, nonsens! Oleh karena itu ia menganjurkan boleh saja, mau main judi silahkan, mau minum-minuman keras silahkan, mencari hostes silahkan, apa saja bebas, tidak perlu dikekang oleh Sila. Sila itu menghambat kemajuan. Sila itu melarang ini melarang itu, demikian kelompok-kelompok tertentu mencoba menarik para umat yang semula keinginannya patuh pada Sila ini. Saudara-saudara, Sang Buddha mengajarkan Sila sama sekali tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apa yang bermanfaat bagi kesejahteraan dunia, Beliau membebaskan, mempersilahkan, maju terus. Tetapi apa yang merusak kesejahteraan manusia itu dilarang oleh Beliau. Apabila ada yang mengatakan Sila itu nonsens, itu tidak mendapat tempat dalam ajaran Dhamma yang sebenarnya. Sila ini tujuannya adalah untuk kesejahteraan seluruh umat manusia dan kesejahteraan diri sendiri. Sila ibaratnya rambu-rambu lalu-lintas, agar tidak melanggar aturan-aturan lalu-lintas. Demikian juga kita melakukan Sila agar tidak melanggar hukum-hukum alam, peraturan-peraturan negara, dan peraturan-peraturan setempat. Bukankah ini menjadikan masyarakat tertib? Camkan!
Saudara apabila kita membicarakan tentang Sila, sekedar untuk kita ingat kembali, maka Sila itu dapat kita bagi menjadi lima, yaitu: Panca Sila, Attha Sila, Dasa Sila atau Dasakusala kammapatha, Samanera Sila dan Bhikkhu Sila. Tetapi semuanya itu dapat diringkas menajdi hanya 2, yaitu Sila orang awam, dan Sila para Samanera dan Bhikkhu.
Namun kalau kita teliti kembali, ia hanya 3, yaitu tata tertib untuk mengatur perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran. Dari semua Sila ini dapat pula digolongkan menjadi 2 kategori, yaitu: Sila yang masih bersifat duniawi (lokiya Sila), dan Sila yang sudah tergolong di atas duniawi (lokuttara Sila).
Lokiya Sila, walaupun itu sebanyak 227 yang dilakukan oleh para bhikkhu, 117 dilakukan oleh para Samanera, 10 yang diambil oleh umat Upasaka tertentu, 8 sila yang diambil oleh umat Upasaka tertentu dan dilakukan pada waktu-waktu tertentu, kemudian 5 sila oleh Upasaka biasa, maka kelimanya itu, apabila mereka masih mempunyai pandangan salah atau Sakkayaditthi —keliru memandang alam semesta dengan segala isinya, keliru memandang diri kita ini, yang dianggap sebagai milik kekal, kepunyaanku?maka Sila yang dilakukannya, biarpun banyak, itu masih goyah! Kadang-kadang betul, tetapi kadang-kadang diracuni oleh pandangan keliru sehingga menjadi salah. Jadi dengan demikian, Sila yang tergolong lokiya atau duniawi, tidak menjamin seratus persen untuk bisa masuk sorga atau Nibbana. Tetapi Sila yang dilakukan oleh mereka yang sudah menghancurkan pandangan keliru, mereka yang tergolong Sotapatti, mereka yang walaupun umat biasa tetapi telah mencapai kehancuran Sakkayaditthi atau pandangan keliru, mereka akan melakukan sila yang tergolong Lokuttara Sila atau Sila di atas duniawi. Mengapa? Karena mereka telah menghancurkan pandangan yang keliru. Bagi para Sotapatti atau orang yang sudah menghancurkan pandangan keliru, maka “Panatipata Veramani” bukan saja sekedar tidak membunuh makhluk hidup, tetapi yang terpenting adalah tidak membunuh kesejahteraannya, kedamaiannya, ketenangannya, keseimbangannya, keharmonisannya, dengan pandangan keliru. Saudara, kalau Senjata Nuklir, Bom Atom, Bom Kimia, atau Bom Hidrogen itu dikatakan dahsyat dan mengerikan, itu hanya bagi orang-orang awam. Saya yakin para Arahat itu tidak akan takut kepada Bom Hidrogen. Beliau akan rela, apa maunya, kalau itu memang sudah alamiah jatuh di Bumi kami, terima kasih. Tetapi para Arahat, para Sotapatti itu paling takut dengan senjata sakkayaditthi, senjata pandangan keliru atau pandangan salah, yang menganggap badan jasmani ini milikku/kepunyaanku, yang menganggap perasaan itu milikku/kepunyaanku, menganggap pikiran itu milikku/kepunyaanku. Ini sangat berbahaya, karena bukan saja menghancurkan kehidupan pada saat ini, tetapi ia menyakiti kehidupan ini dengan sangat lihai. Apalah artinya Bom Hidrogen! Mungkin hanya dalam 1 menit, kita sudah tidak merasakan sakit apa-apa, lalu kita sudah mati. Tetapi kalau Sakkayaditthi atau pandangan keliru ini, itulah rajanya setan, rajanya iblis, rajanya santet, yang membuat kita menderita seumur hidup. Demikianlah ibaratnya pandangan keliru ini, yang membuat susah kehidupan kita, tidak pernah tenang, damai, tidak pernah selaras, tidak pernah harmoni, selalu bentrok, agitasi, tidak puas. Maka oleh karena itu, marilah kita lebih takut, lebih ngeri kepada Bom Sakkayaditthi daripada Bom Hidrogen.
Saudara-saudara, kalau kita belajar Dhamma, justru ke situ arah pikiran kita. Saya lebih takut, lebih ngeri dengan Avijja atau kebodohan, saya lebih takut dan sangat ngeri dengan pandangan keliru. Demikianlah saudara-saudara, maka untuk mengeliminir atau menjinakkan pandangan keliru, kemelekatan, dan avijja atau kebodohan ini, bukan dilawan dengan bom, bukan ditangkis dengan senjata anti bom hidrogen dan sebagainya, tetapi persisnya ditangkis dengan Sila, Kesabaran, dan Pikiran yang terjaga. Maka oleh karena itu saya bangkitkan semangat saudara-saudara untuk melakukan Sila lagi.
Saudara jangan terseret oleh pandangan keliru bahwa kalau kita melakukan Sila, ini tidak boleh, itu tidak boleh, jual daging tidak boleh, jual senjata tidak boleh, jual yang bersifat racun tidak boleh, jual udang tidak boleh, ekspor sapi tidak boleh, lalu apa yang bisa dikerjakan? Itu dianggap membuat kemunduran total. Saudara, itu pandangan picik menurut duniawi. Tetapi pandangan Dhamma tidak sepicik itu. Kalau saudara-saudara melakukan Sila, maka kemakmuran, kesejahteraan, penghormatan, pujian, dan sorga akan dinikmati.
Saudara-saudara mungkin saja dalam kehidupan ini tidak meraih sukses dalam materi; yang lain punya mobil mercy, kita hanya punya Honda roda-dua. Yang lain punya istana, kita hanya punya rumah yang sederhana. Tetapi kalau saudara rajin melaksanakan Sila —Atthasila, Dasasila?dengan konsekuen, dengan bersih, dan murni, saya kira kehidupan di dalam dunia ini pun akan damai, dan istimewanya setelah saudara meninggal, saudara akan lahir di alam sorga. Keindahan, kemewahan, kecemerlangan, kegemerlapan di alam Dewa jauh lebih tinggi daripada di dunia ini. Kalau saudara dilahirkan di Sorga Catummaharajika saja, saudara bisa hidup nyaman, nikmat, jauh lebih nikmat daripada di dunia ini untuk selama 9 juta tahun. Apalah artinya kita hidup di sini untuk hanya 80 tahun. Jadi meski saudara sekarang sederhana, setelah mati tiba-tiba menjadi satpam di Sorga Tusita. Kalau saya, jadi satpamnya saja mau, tetapi di Sorga Tusita, tidak usah jadi presiden; begitu ibaratnya. Kalau saudara lahir di Tusita Loka, usia saudara 144 juta tahun, mungkin lebih. Jadi lama sekali. Itu ganjarannya. Memang di sini kita hidup sederhana saja. Tetapi kalau kita kaya-raya namun tidak melakukan sila, setelah selesai hidup di sini, tamatlah riwayatnya! Bukan ke Sorga tetapi ke Neraka. Jadi tidak usah irihati kepada orang kaya-raya, tidak usah jor-joran. Kalau saudara hanya punya modal 50 juta dan si B punya bermilyar-milyar, jangan coba-coba saudara menandingi dia. Jangan! Nanti saudara akan ringsek sendiri. Lebih baik doakan agar si B bisa sejaya-jayanya, sehingga beliau bisa membantu vihara-vihara yang lain. Lebih baik begitu. Itu namanya positif. Tetapi kalau saing-saingan, itu namanya negatif.
Apa manfaatnya melakukan sila, dan apa jeleknya kalau tidak melakukan sila? Manfaatnya, saudara sama sekali tidak akan dicurigai oleh siapa pun. Kalau si B sudah kaya-raya, tetapi beliau juga melaksanakan sila, itu namanya kebajikan yang serba multi. Orang percaya, orang tidak curiga, orang menghargai, orang menghormati, hidupnya sejahtera, hidupnya makmur. Maka itu, lakukanlah sila dengan sebaik-baiknya. Kalau orang melakukan sila, ia ibaratnya berhias dengan perhiasan yang mahal-mahal, yang sesungguhnya jauh lebih tinggi nilainya daripada perhiasan emas berlian. Perhiasan emas berlian itu hanya cocok dipakai oleh orang-orang muda, dan harus cantik. Kalau ia memakai perhiasan yang mahal-mahal maka sinarnya akan gemerlapan. Kalau di dalam pesta ada wanita cantik yang pakai perhiasan yang mahal-mahal, orang semuanya kagum, melongo, mulutnya terbuka, sampai ‘buyung’ atau lalat masuk ke mulutnya. Tapi kalau perhiasan yang mahal-mahal itu dipakai oleh orang yang kulitnya hitam, tua bangka, orang bukan melongo, tetapi meludah, “Iih, tua bangka, tidak pantas pakai perhiasan begitu”. Tetapi kalau perhiasan sila, yang tua, yang tidak cantik, yang gemuk, yang kurus kering, kalau pakai sila, semuanya akan baik. Maka oleh karena itu berhiaslah dengan sila. Oleh karena itu saya anjurkan kepada anda mulai saat sekarang, setiap bulan purnama dan hari gelap bulan, lakukan 8 sila. Bertekad tidak makan selewat pk. 12:00, pada setiap bulan purnama dan gelap bulan. Kalau sudah maju, sudah biasa, sudah menjadi kondisi, saudara tambah lagi, satu bulan menjadi 4 kali. Setelah itu, ditambah lagi, 1 bulan menjadi 12 kali. Terus itu dilakukan, akhirnya sudah menjadi kondisi, seumur hidup saudara sudah bisa melakukan 8 sila. Akhirnya, “Bhante, saya minta dicukur saja kepala saya”. Tetapi kalau semuanya jadi Bhikkhu dan bhikkhuni, saya tidak setuju, itu tidak mungkin terjadi di dunia ini. Dan kalau mau melakukan sila yang baik, saudara tidak mutlak harus menjadi bhikkhu atau samanera. Menjadi orang awam saja cukup, dan bisa melakukan sila dengan baik. Hapuskan pandangan keliru, hapuskan pandangan yang percaya kepada takhayul, maka saudara akan mampu lebih murni melakukan sila daripada bhikkhu, seperti saya atau yang lainnya. Tapi kalau para bhikkhu sudah mempunyai pandangan yang benar, sudah mampu menghancurkan pandangan keliru, jangan dilawan!
Demikianlah saudara-saudara tentang sila ini, tidak ada tandingannya, dan saudara akan bisa mencapai sorga. Saya sekarang lewatkan saja anjurkan tentang sila ini, sekarang saya akan menganjurkan tentang melatih kesabaran. “Khanti Paramam Tapo Titikkha”. Kesabaran itu adalah jalan tol bagi orang-orang yang sudah melatih spritual. Saudara-saudara, kita masih jauh sekali dari memiliki kesabaran. Kalau misalnya saudara harus menunggu, sudah janji, orang tidak datang, saudara jengkel, marah; itu namanya anda tidak punya Khanti Adhivaseti. Saudara harus punya Khanti Adhivaseti, sabar menunggu, sabar menderita. Kalau panas, usahakan sabar, kalau anda dingin usahakan sabar. Itu namanya Khanti Adhivaseti. Khanti Metta, saudara harus mengeliminir kekurangan kesabaran itu dengan Metta, cinta kasih.
Saudara harus bisa mengerem ucapan, itu namanya Khanti Sovaca. Ucapan itu direm, sabar, sabar. Di Indonesia ada istilah “Sabar menjadi Subur”. Tetapi ada yang melanjutkan lagi “kalau terlalu sabar, masuk liang kubur”, katanya. Itu memang ada benarnya untuk urusan kita yang masih duniawi. Tapi kalau Dhamma, tidak begitu. Teruskan berjuang! Sedikit demi sedikit, kita maju terus. Kemudian miliki Khanti Akodhana, yaitu kendalikan kemarahan dengan kesabaran. Belajar juga harus sabar.
Misalnya dalam latihan Vipassana Bhavana, kalau para siswa itu melirik ke kanan, melirik ke kiri, “Wah, dia itu koq sudah 2 jam duduk, aku koq tidak tahan, ah aku akan pura-pura, 3 jam bisa duduk”. Jadi itu namanya tidak sabar. “Kalau dia 2 jam, saya harus bisa 3 jam, kalau dia bisa 3 jam, saya harus bisa 4 jam”. Akhirnya ringsek sendiri. Kalau temannya bisa tidak tidur sampai pk. 11 malam. Dia iri, dia cemburu, “Saya harus tidur jam 12 malam?”. Temannya bangun pk. 4 pagi, dia harus bangun pk. 3. Itu adalah ketidak-sabaran. Akhirnya pada siang hari seperti kelelawar, ngantuk begini. Jadi belajar pun harus sabar. Nibbana itu tidak bisa diraih dengan semangat yang menggebu-gebu, sebab nibbana atau kebebasan itu tidak punya kondisi. Kita tidak tahu kapan akan tercapai. Maka itu kesabaran itu harus dipupuk.
Saudara, sekarang tentang “Sucikan hati dan pikiran”. Tentang mensucikan hati dan pikiran ini sangat penting dan paling penting. Sebab kehidupan kita ini tergantung pada pikiran. Pikiran itulah dunia kehidupan kita. Kalau saudara putus asa, maka dunia anda tidak menentu. Kalau saudara lesu mental, putus pacaran, maka dunia ini tidak indah lagi, dunia ini terasa jelek. Itulah tergantung dari pikiran saudara, begitulah keadaan dunia saudara. Maka itu pikiran yang harus dijaga, dirawat. Menurut agama Buddha, ada ajaran yang dinamakan Citta Samvedhi. Itu artinya periksa pikiran. Cobalah, apakah dengan meditasi, menyepi, merenung, periksalah pikiran, “Oh, saya masih banyak kelobhaan, saya masih sering-sering marah, saya masih sering-sering mengkhayal -mengkhayalkan ini, mengkhayalkan itu? saya masih punya kemelekatan, saya masih punya nafsu besar”. Renungkan! Merenungkan dan memeriksa ini sangatlah perlu. Apa saja kalau tidak ada kontrolir, tidak ada inspektur, akan jadi kacau. Sekolah jadi ambruk kalau tidak diperiksa-periksa. Tetapi kalau diperiksa, guru-gurunya mulai rajin. Pikiran ini juga kalau sering diperiksa, sama seperti kalau inspektur memeriksa perusahaan, maka ketuanya, wakilnya ketuanya, sekretarisnya akan giat, begitu. Kemudian periksalah apakah saya pernah mempunyai pikiran-pikiran yang luhur, yang disebut Mahagatha? Punyakah cinta kasih, punyakah simpati, punyakah welas-asih, punyakah kesabaran, punyakah yang luhur-luhur? Periksa! Kalau belum, kita harus rajin meningkatkannya. Setelah itu apakah pikiran kita mempunyai konsentrasi atau tidak, bisakah pikiran ini dikonsentrasikan atau tidak? Kemudian belajarlah dengan giat untuk itu.
Akhirnya saudara harus membahagiakan pikiran, yang dalam bahasa Pali disebut Abhidhammodhayam Cittam: bahagiakan pikiran saudara. Kalau sedih jangan dibiarkan sedih, kalau marah jangan dibiarkan marah, kalau cemburu jangan dibiarkan cemburu. Bahagiakanlah pikiran anda, bukan dengan uang, bukan dengan nonton, bukan dengan plesir, bukan dengan pergi ke karaoke, dan lain sebagainya. Tetapi persisnya hiburlah dengan Dhamma. Sekarang, saat mendengar uraian Dhamma ini, artinya saudara sedang menghibur pikiran, membahagiakan pikiran dengan Dhamma. Maka sering-seringlah mendengarkan atau membaca tentang Dhamma, agar saudara dapat membahagiakan pikiran saudara, karena ini sangatlah perlu. Lebih-lebih kalau saudara sering melatih meditasi atau Vipassana, di situ saudara mengkonsentrasikan pikiran, mengembangkan pandangan terang. Konsentrasi ini adalah bahasa Palinya Sammadaham Cittam. Tetapi mungkin saja saya boleh memberitahukan bahwa tidak perlu duduk 6 jam, 8 jam, 10 jam, tidak seperti patung itu yang sejak duduk di sini tidak pernah bergerak-gerak sampai sekarang. Jadi saudara tidak perlu begitu. Cukup kalau saudara-saudara mencapai Samahito: pikiran tetap tenang, tidak goyah; Parisudho: pikiran bersih tanpa noda; dan pikiran dalan keadaan Kammaniyo: aktif, waspada, siap siaga, tidak malas.
Jadi kalau saudara sudah mampu memiliki pikiran yang stabil, tidak goyah, bersih, murni, siap siaga, itulah namanya pikiran yang gentle (Red: halus, lembut), pikiran yang mudo. Pikiran yang gentle inilah yang kita perlukan, karena pikiran yang gentle ini siap untuk belajar Dhamma, siap untuk menyelidiki Anicca, Dukkha, Anatta, Sunyata, Tathata, Paticcasamuppada. Tapi kalau pikiran keruh, pikiran sedih, pikiran kesal, pikiran linglung, dia tidak mampu. Saudara-saudara, kalau saya boleh mengambil perumpamaan dalam istilah modern, kita ini berusaha untuk menjaga batin, menyehatkan batin, maka itu istilah modernnya disebut Mental Higieny. Jadi menjaga jangan sampai pikiran itu kena penyakit, tetapi sehat, normal. Sebab kalau tidak normal, kalau sampai gila, kalau pikiran goyah, bisa berpengaruh pada badan kita sendiri. Mungkin daya tahan terhadap infeksi dan penyakit itu sangat kurang. Begitulah, maka jagalah pikiran. Setelah saudara memiliki konsentrasi yang baik maka sekarang renungkan Anicca, Dukkha, Anatta. Pengertian akan Anicca, Dukkha, dan Anatta ini ampuh luar biasa. Ia sanggup melemahkan dan menghancurkan kemelekatan. Di situ letak rahasianya. Bukan Dewa Brahma dari langit yang akan mengeliminir kemelekatan dan nafsu kita, bukan! Bukan dengan berdoa: “Arahat, Arahat, Arahat” seribu kali satu hari, tidak! Bukan dengan menyebut: “Nibbana, Nibbana, Nibbana” seribu kali satu hari; tidak! Tetapi persisnya datang dari usaha sendiri. Membangkitkan kebijaksanaan, pengertian terang, jelas dan komplit tentang Anicca, Dukkha, Anatta, Sunyata, Tathata, Paticcasamuppada inilah yang mampu mengeliminir kemelekatan, nafsu, kebodohan. Apabila sudah mampu memiliki pengertian tentang Anicca, Dukkha, Anatta secara komplit maka saudara boleh meningkat. Pasti ada keinginan nafsu yang dapat dieliminir sedikit demi sedikit. Maka saudara sudah mengkerut, mundur dari nafsu menyergap apa yang diinginkan. Inilah permulaan dari Viraga. Saudara harus merenungkan viraga ini. Namanya Viraga Nupassi. “Oh, saya sudah dapat menghentikan merokok”, nah itu sudha viraga dari rokok. “Oh, saya sudah dapat berhenti main judi”, nah itulah viraga dari main judi. “Oh, saya sudah bisa berhenti keluyuran”, nah itu namanya sudah viraga dari keluyuran. “Oh, saya sudah bisa berhenti dari sikap yang boros”, itu sudah viraga dari boros. Renungkan viraga itu, manfaatnya, kegunaannya, faedahnya; akhirnya saudara boleh merasa bahagia, saudara akan maju setapak lagi sampai pada tingkat Nirodha Nupassi. Nirodha Nupassi artinya sudah berhenti. Sekarang walaupun ada yang main judi di sebelah anda, walaupun dulu anda penjudi, anda acuh-tak-acuh saja, tidak mampir. Tapi kalau masih ada niat mampir dan ikut main, itu kambuh lagi namanya. Tetapi walaupun sekarang di samping saudara ada orang main judi, saudara tidak hirau, nah itu namanya Nirodha, berhenti. Kalau Nirodha ini sudah matang, saudara boleh meneruskan dengan apa yang dinamakan Patinissaga Viraga Nupassi, artinya saudara sekarang sudah betul-betul melepaskan beban.
Ada cerita kiasan yang sering saya sampaikan kepada siswa-siswa vipassana. Sang Buddha sendiri tersenyum ketika Beliau mencapai penerangan sempurna. Beliau berpikir, dulu aku ini pencuri, perampok. Kenapa begitu saudara-saudara? Karena siapapun yang menganggap bahwa rumah sebagai miliknya, istri sebagai miliknya, anak sebagai miliknya, mobil sebagai miliknya, itu namanya pencuri. Sebab semua itu adalah milik alam, tidak bisa dimiliki untuk seterusnya, nonsens. Pada suatu saat, mobil atau rumah akan berubah atau dijual lalu diganti dengan yang lain, atau ditinggal mati. Jadi bukan milik. Apa saja di dunia ini hanyalah hak pakai. Kalau punya istri, itu hak untuk kumpul hidup, bukan “kumpul kebo”, tapi hak untuk hidup. Toh nanti akan cerai, pada waktu mati. Semuanya hak pakai, hak guna usaha. Semuanya milik alam. Tidak ada milikku ?i>anatta. Ingat sama “Anatta, Anatta, Anatta”. Jadi sekarang lakukan kewajiban dengan baik, supaya dapat nama baik untuk kelak, kita siap untuk bye bye dengan segala sesuatu yang pernah kita miliki dan pernah kita ajak berkumpul atau pernah menjadi hak pakai dan hak guna usaha kita. Kita akan siap melambaikan tangan “bye-bye, farewell, selamat berpisah”. Itulah kebijaksanaan, itulah Wisdom.
Jadilah umat Buddha yang dewasa. Tidak seperti sekarang ini, masih cengeng, masih kanak-kanak; sedikit-sedikit tersinggung, sedikit-sedikit salah terima, sedikit-sedikit cekcok, sedikit-sedikit marah, dll.
Saya menganjurkan kepada saudara-saudara, kita harus kenal diri sendiri; siapa umat Buddha itu, apa umat Buddha itu, sampai di mana umat Buddha itu. Kita harus mengenal kelemahannya, kekurangan disiplinnya, mungkin protokulernya jelek dan sebagainya. Maklum itu kita punya, kita akan perbaiki.
Sekali lagi saya sampaikan kepada saudara-saudara, ambillah hikmah dari peringatan hari Magha Puja ini, yaitu meningkatkan sila, meningkatkan kesabaran, dan meningkatkan usaha untuk membersihkan, menjaga, dan merawat pikiran.
Akhirnya, saya ucapkan selamat merayakan hari Magha Puja.
(Sumber: Kaset kotbah Dhamma, dikutip dari Mutiara Dhamma X)

Ucapan Benar, Bermanfaat, dan Menyenangkan

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samm?sambuddhassa
Vac?pakopa? rakkheyya – V?c?ya sa?vuto siy?
Vac?duccarita? hitv? – V?c?ya sucarita? care’ti.

Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan ucapannya, hendaklah ia mengendalikan ucapannya. Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui ucapan, hendaklah ia giat melakukan perbuatan-perbuatan baik melalui ucapan.
(Dhammapada 232)
Sebagai bagian dari kehidupan ber-masyarakat, kita dituntut untuk menjaga tiga pintu perbuatan kita sendiri, yaitu pikiran, ucapan, dan badan jasmani. Ketiga pintu perbuatan ini memang harus kita jaga setiap saat. Bisakah kita melakukan hal ini? Sebisa mungkin kita harus melakukan sehubungan dengan adanya relasi-relasi yang banyak antarsesama di sekitar kita.
Kita memang mengetahui bahwa pengucapan sebuah kata membawa pengaruh yang sangat kuat terhadap si pendengar di sekitar kita. Untuk itu marilah kita simak penjabaran secara rinci di bawah ini.
Ucapan benar itu dalam pe-nyampaiannya tidak berarti secara terbuka penuh.
Dalam Abhayarajakumara Sutta, Majjhima Nik?ya 58, Sang Buddha menunjukkan faktor-faktor yang turut menentukan suatu ucapan patut dan tidak patut dikemukakan. Faktor-faktor yang utama adalah: 1. Apakah per-nyataan itu benar atau salah, 2. Apakah pernyataan itu bermanfaat atau tidak, 3. Apakah pernyataan itu dikehendaki/ disetujui oleh orang-orang lain atau tidak. Sang Buddha sendiri akan me-ngemukakan hal-hal yang benar dan bermanfaat, dan mengetahui saatnya yang tepat, sesuatu yang menyenang-kan dan sesuatu yang tidak me-nyenangkan pun patut dikemukakan.
Diceritakan bahwa pada suatu saat, seorang bayi yang masih kecil sedang berbaring telungkup di pangku-an Pangeran Abhaya. Sang Buddha berkata kepada Pangeran Abhaya, ”Bagaimana pendapatmu Pangeran? Karena kelalaianmu atau pun kelalaian perawat, kalau saja anak yang masih kecil itu memasukkan sebatang kayu atau sebutir batu ke dalam mulutnya sendiri, apa yang akan engkau lakukan terhadapnya?”
”Saya akan mengeluarkan kayu atau batu itu, Bhante. Jika saya tidak bisa mengeluarkannya, saya akan memegang kepalanya dengan tangan kiri saya dan membengkokkan jari tangan kanan saya, saya akan me-ngeluarkannya meskipun harus berdarah. Mengapa demikian? Karena saya memiliki welas kasih kepada anak itu.” Sang Buddha berkata: ‘Demikian juga Pangeran:
[1] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai bukan fakta, tidak benar, tidak berhubungan dengan tujuan, tidak dikehendaki dan tidak menyenangkan orang-orang lain, Tathagata tidak mengemukakan ucapan-ucapan itu.
[2] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai fakta, benar, tidak berhubungan dengan tujuan, tidak dikehendaki dan tidak menyenangkan orang-orang lain, Tathagata tidak mengemukakan ucapan-ucapan itu.
[3] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai fakta, benar, ber-hubungan dengan tujuan, tetapi tidak dikehendaki dan tidak menyenangkan orang-orang lain, Tathagata me-ngetahui saat yang tepat untuk mengemukakan ucapan-ucapan itu.
[4] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai bukan fakta, tidak benar, tidak berhubungan dengan tujuan, tetapi dikehendaki dan me-nyenangkan orang-orang lain, Tatha-gata tidak mengemukakan ucapan-ucapan itu.
[5] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai fakta, benar, tidak berhubungan dengan tujuan, tetapi dikehendaki dan menyenangkan orang-orang lain, Tathagata tidak me-ngemukakan ucapan-ucapan itu.
[6] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai fakta, benar, ber-hubungan dengan tujuan, dan di-kehendaki dan menyenangkan orang-orang lain, Tathagata mengetahui saat yang tepat untuk mengemukakan ucapan-ucapan itu.
Mengapa demikian? Karena Tathagata memiliki welas kasih ke-pada semua makhluk hidup.” (MN 58)
Dalam Suta Sutta, Gradual Sayings (Aïguttara Nik?ya II. 179) diceritakan bahwa Brahmana Vassa-kara berkata kepada Sang Buddha, demikian: ”Saya berpandangan, saya berpendapat bahwa, ketika seseorang berbicara hal-hal yang telah dilihat, dengan mengatakan, ’Demikian telah saya lihat’, tidak ada salahnya hal semacam itu. Ketika seseorang ber-bicara hal-hal yang telah didengar, dengan mengatakan, ’Demikian telah saya dengar’, tidak ada salahnya hal se-macam itu. Ketika seseorang berbicara hal-hal yang telah diketahui, dengan mengatakan, ’Demikian telah saya ketahui’, tidak ada salahnya hal se-macam itu.”
Sang Buddha menanggapi per-nyataan Brahmana Vassakara tersebut: ”Saya tidak mengatakan, Brahmana, bahwa hal-hal yang telah dilihat…, hal-hal yang telah didengar…, hal-hal yang telah diketahui patut dikemukakan. Tetapi bukan berarti hal-hal yang telah dilihat, telah didengar, telah diketahui tidak patut dikemukakan.”
”Apabila seseorang mengemuka-kan hal-hal yang telah didengar, hal-hal yang telah dilihat, hal-hal yang telah diketahui, mengakibatkan kualitas batin yang buruk berkembang dan kualitas batin yang baik merosot, maka hal semacam itu tidak patut dikemukakan. Akan tetapi, apabila seseorang me-ngemukakan hal-hal yang telah di-ketahui, mengakibatkan kualitas batin yang buruk berkurang dan kualitas batin yang baik berkembang, maka hal semacam itu patut dikemukakan.”
“Apabila, seseorang mengemuka-kan hal-hal yang telah dilihat, meng-akibatkan kualitas batin yang tidak baik berkembang dan kualitas batin yang baik merosot, maka hal semacam itu tidak patut dikemukakan.”
Dalam menyampaikan segala sesuatu melalui ucapan, apalagi me-ngenai Dhamma, memang ada cara-cara yang harus diketahui dengan baik, dan menggunakannya secara baik dan benar pula. Dalam menanggapi atau menjawab suatu pertanyaan pun kita harus berusaha memberikan jawaban yang sesuai.
Dalam Pañha Sutta, Gradual Sayings (Aïguttara Nik?ya II. 53-54) Sang Buddha mengajarkan bagaimana cara menjawab suatu pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan yang di-ajukan tentu harus dimengerti terlebih dahulu, baru memikirkan dan me-rancang jawaban yang tepat untuk pertanyaan-pertanyaan yang berbeda. Dalam Pañha Sutta tersebut, dikatakan ada empat cara menjawab pertanyaan-pertanyaan, yaitu: 1]. Ada pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab secara langsung dan singkat (misalnya: iya / tidak); 2]. Ada jenis pertanyaan yang harus dijawab secara analisis (men-definisikan sebanyak mungkin dalam penjelasan dengan berbagai contoh); 3]. Ada jenis pertanyaan yang harus dijawab dengan sebuah pertanyaan balik sebagai jawabannya; 4]. Ada pula jenis pertanyaan yang harus dijawab dengan diam/ tidak perlu dijawab.”
Siapa pun yang mengetahui hal tersebut dengan benar menghubungkan dengan Dhamma, maka ia dikatakan mahir dalam empat tipe pertanyaan tersebut. Sulit untuk mengalahkannya. Ia mengetahui hal-hal yang sesuai dan yang tidak sesuai, sehingga menolak hal-hal yang tidak memiliki makna dan menguasai hal-hal yang memiliki makna.
Menurut ayat Dhammapada ter-sebut di atas, tentu usaha dan per-juangan kita sendiri kuncinya. Ber-usaha dan berjuanglah. Sukses!
Sumber: http://www.accesstoinsight.org/canon/sutta

Doa, Bisakah Terkabul?

Oleh: Yan Saccakiriyaputta



Hidup ini tidak memuaskan. Ada saja yang kita rasa masih kurang kita miliki; harta, rezeki, berkah, sandang-pangan, pekerjaan, kesehatan, keamanan, keturunan, keselamatan, kebahagiaan, dll. Sesungguhnya semua itu bisa kita dapatkan dengan melakukan suatu usaha, dengan membuat sebabnya, karena manusia memang memiliki potensi untuk itu. Manusia bukanlah makhluk lemah dan ringkih, sehingga untuk memenuhi segala kebutuhannya harus mengharapkan belas kasihan makhluk lain. Menurut agama Buddha, manusia bukanlah wayang golek, yang segala sesuatunya diatur dan digerakkan oleh Pak Dalang/Sutradara. Tak ada makhluk lain yang ikut mengatur persoalan nasib seseorang. Namun karena terbelenggu oleh ketidaktahuan, manusia tidak dapat melihat dan merealisasikan potensi yang ada pada dirinya. Mereka lebih suka memohon dan meminta kepada para dewa, sebagai jalan pintas untuk memenuhi segala keinginannya, tanpa mau bersusah payah. Apalagi bila dalam memohon itu dipersembahkan sajian yang mewah dan mahal, maka dianggap akan lebih mempercepat terkabulnya permintaan mereka. Tindakan memohon dan meminta kemurahari hati para Dewa atau Maha Dewa untuk sesuatu inilah yang umum disebut Berdoa.
Umat Buddha memuja Sang Buddha, sama sekali tidak dengan harapan untuk memperoleh hadiah-hadiah duniawi maupun spiritual, seperti: rezeki, harta, pekerjaan, jodoh, keturunan, keselamatan, berkah, diampuni dosanya, sorga, atau pamrih apapun. Bukan juga karena perasaan takut akan hukuman. Kita menghormat dan sujud kepada Sang Buddha karena Beliaulah yang menemukan dan membabarkan Jalan Kebebasan. Karena itu, tidaklah berkelebihan bila Puja Bakti, sembahyang, dalam agama Buddha adalah betul- betul mumi dan tulus.
Dengan mempersembahkan bunga dan dupa di hadapan Buddha Rupang, kita bermaksud membuat diri kita merasa berhadapan langsung dengan Sang Buddha. Dengan cara demikian kita memperoleh inspirasi dari sifat pribadi Sang Buddha yang mulia, dan menghirup kasih sayang Beliau yang tak terbatas, serta merenungi dan mencoba untuk mengikuti contoh mulia Beliau. Pohon Bodhi juga merupakan lambang pencapaian penerangan sempuma. Obyek-obyek penghormatan luar ini tidak mutlak perlu, dan ini hanya berguna untuk memusatkan pikiran seseorang kala bermeditasi.
Seseorang yang sudah maju tidak memerlukan obyek-obyek luar tersebut Karena dengan mudah ia dapat memusatkan perhatiannya dan menggambarkan Sang Buddha dalam batinnya. Demi kebaikan kita sendiri dan karena rasa terima kasih, maka kita melakukan penghormatan luar seperti itu. Tapi yang diharapkan oleh Sang Buddha dari para pengikutnya bukanlah penghormatan seperti itu. Sang Buddha bersabda; bahwa cara penghormatan yang paling tepat adalah melaksanakan ajaran-Nya dengan baik.
Dalam agama Buddha tidak ada doa-doa permohonan, minta-minta keselamatan, berkah, rezeki, pengampunan, dan lain-lain; baik kepada Dewa, Brahma, Sang Buddha sendiri, ataupun Tuhan. Beliau tak pernah manjanjikan hadiah kepada mereka yang berdoa kepada-Nya. Sang Buddha tidak hanya menyatakan betapa sia-sianya doa-doa permohonan, tapi juga Beliau mencela perbudakan mental seperti itu.
Mengapa Sang Buddha tidak mengajarkan umatnya berdoa atau memohon atau meminta-minta kepada Tuhan, karena Tuhan -Yang Maha Esa- dalam agama Buddha bukanlah suatu pribadi atau makhluk hidup yang menjadi tempat menggantungkan hidup, berdoa, atau memohon. Tuhan dipandang sebagai Tujuan Akhir bagi semua makhluk. Dengan demikian, doa permohonan tidak tepat ditujukan kepada Tuhan dalam pengertian agama Buddha. Sang Buddha telah berhasil menempatkan Tuhan pada proporsi yang sebenamya, yaitu sebagai Dhamma Yang Tertinggi, Yang Tak Bersyarat. Demikian juga halnya dengan Sang Buddha, karena telah menyadari dan menyelami hakikat Tuhan yang sebenamya, maka Beliau tidak seharusnya dipaksa untuk mengurusi hat-hal duniawi. Umpamanya, dengan menjadikannya sebagai cukong yang senang berdagang kesejahteraan atau kebahagiaan; ataupun sebagai hakim yang dapat disuap dengan doa-doa, puji-pujian, maupun persembahan kurban. Sebagai Guru yang menganjurkan Ehipassiko, maka mengapa Sang Buddha tidak mengajarkan doa permohonan/minta-minta, dapat dikaji dari manfaat atau kegunaan doa yang demikian itu. Untuk mengkaji manfaatnya, kita dapat membuat suatu analogi yang sederhana.
Ada tiga orang petani, menanam jagung dengan faktor-faktor penunjang tanah, air, cuaca, perawatan, dl1- yang sama. Tapi:
- Si A, berdoa siang malam, agar biji jagung yang ditanam tumbuh menjadi pohon mangga.
- Si B, berdoa agar biji jagung itu tumbuh menjadi pohon jagung.
- Si C, tidak berdoa, karena yakin “segala sesuatu itu akan tumbuh dan berbuah sesuai dengan benih yang ditanam”.
Adakah yang mampu mengabulkan doa/permohonan si A? Rasanya penjelasan lewat analogi tersebut sudah sangat gamblang. Doa hanya terkabul bila pas dan sesuai dengan benih / karma / perbuatan kita; yang sebetulnya tanpa didoakan/dimohonkan/diminta juga pasti akan terkabul. Untuk membuat keinginan kita terkabul, sebab yang tepat mesti kita miliki atau ciptakan. Berdoa, itu boleh dan bisa saja, seperti kita boleh/bisa menebar pupuk, menyiram dengan air, tapi jika tidak menebar benih, maka tak ada yang tumbuh. Doa permohonan menjadi sia-sia bila kita tidak memiliki simpanan karma balk, tidak memiliki penyebab terkabulnya doa permohonan kita.
Sang Buddha saat menjelaskan bagaimana hukum sebab-akibat bekerja dalam pikiran kita, menyatakan bahwa membunuh akan menyebabkan antara lain, berusia pendek. Menghindari pembunuhan, akan menyebabkan usia panjang dan bebas dari penyakit Bila kita gagal mengikuti nasihat yang paling mendasar ini, tetapi tetap berdoa agar berumur panjang dan memiliki kesehatan yang balk, kita telah salah tafsir. Sebaliknya bila di masa lalu seseorang telah menghindari pembunuhan, menyelamatkan nyawa seseorang atau makhluk lain, maka harapannya mungkin bisa terpenuhi. Dengan cara yang sama, Sang Buddha mengatakan bahwa kemurahan hati merupakan awal dari kekayaan. Jika kita murah hati pada kehidupan yang lalu, dan sekarang berharap agar kekayaan kita bertambah, maka keuangan kita bisa berkembang. Sebaliknya bila kita kikir saat ini, kita sedang menciptakan sebab dari kemiskinan kita di masa mendatang!
Bila ada yang merasa doanya terkabul, maka terkabulnya doa itu sesungguhnya karena ia memiliki sebabnya. Ia mempunyai tabungan karma baik di kehidupannya yang dulu, atau karena usahanya pada kehidupannya sekarang ini. Untuk itu beberapa agama cenderung merangkaikan kata doa menjadi “Berdoa dan bekerja”. Kita tentu menyetujui bahwa yang menjadi penentu terpenuhinya keinginan kita adalah kata “bekerja”. Sebab, bekerja tanpa berdoa, keinginan kita masih bisa tercapai. Tapi kalau berdoa saja tanpa bekerja, hasilnya tidak pasti. Apakah semua ini berarti bahwa doa permohonan adalah satu hal yang sama sekali tidak berguna? Walaupun jelas doa itu sendiri tak bisa mengabulkan keinginan kita, tentu tak bisa dikatakan ‘mutlak sia-sia’. Karena bagaimanapun juga, berdoa jauh lebih baik daripada melamun dengan pikiran kosong, apalagi berbohong, mencuri, mabuk-mabukan, atau perbuatan buruk lainnya. Alih-alih mengajarkan doa-doa permohonan yang sia-sia, Sang Buddha mengajarkan Meditasi. Meditasi bukanlah berdiam diri melamun atau mengosongkan pikiran. Meditasi adalah perjuangan pikiran, latihan pengendalian pikiran; mengesampingkan segala pikiran dan nafsu keinginan yang rendah dan egois, mengendapkan kekotoran batin sehingga pikiran menjadi tenang. Makin maju tingkat meditasi kita, makin tenang, jemih, dan terang pikiran kita. Dengan pikiran yang jernih, tentu kita menjadi lebih waspada, bijaksana, dan lebih bisa membedakan antara yang semu dengan yang sejati. Pada tahap lebih lanjut, ini akan mengubah cara berpikir kita, mengubah pandangan dan tabiat kita menjadi lebih baik. Cara berpikir dan tabiat yang baik tentu membuat tindakan kita pun menjadi baik. Otomatis kelak kita akan memetik kebahagiaan, walaupun kita tidak berdoa, memohon, atau meminta. Meditasi merupakan cara sembahyang yang paling mudah dan bersih, karena tidak mewajibkan seseorang untuk mengucapkan apa-apa yang tidak ia mengerti. Tidak memperbesar keinginan atau keegoisan dengan permohonan atau permintaan untuk kepentingan/keuntungan diri sendiri.
Apakah berarti Dewa tidak bisa menolong manusia?
Jangankan Dewa, manusia pun bisa menolong, tetapi bantuan atau pertolongan itu tidak terlepas dari karma kita sendiri, baik pada kehidupan yang lampau maupun yang sekarang. Dewa yang kita mohoni, hanya mampu menyediakan situasi agar karma baik kita bisa tumbuh dan masak.
Bagaimana Dewa bisa menolong? Apabila moral dan batin kita bersih, otomatis para Dewa suka berada di dekat kita. Tanpa diminta pun, mereka akan berusaha membantu kita. Memberi firasat, menghalangi makhluk jahat atau ‘black-magic’ yang ingin mengganggu. Tapi kalau memang karma buruk kita yang lampau telah masak dan situasi serta kondisinya mendukung, maka siapa pun tak sanggup menolong lagi.
Dalam arti sejati:
“Diri sendiri sesungguhnya pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah seseorang dapat melatih dirinya dengan baik, maka ia akan memperoleh suatu perlindungan yang sukar diperoleh”. Walau tak ada larangan untuk meminta pertolongan kepada para Dewa, umat Buddha tidak seharusnya menggantungkan hidupnya kepada para Dewa. Kemandirian seharusnya menjadi sikap yang utama. Sebab manusia mempunyai potensi tinggi untuk memenuhi kebutuhannya. Hanya karena ketidaktahuannya atau kebodohannya yang sangat dalam itulah, maka manusia gagal untuk menyadari kemampuan tersebut.
Perlu diketahui bahwa pertolongan yang dapat diberikan oleh para Dewa maupun makhluk lain hanyalah terbatas pada pertolongan yang bersifat duniawi, tidak kekal, bisa musnah, bisa hilang; sehingga akhimya bisa menimbulkan penyesalan dan kedukaan. Sedangkan kesucian, kebahagiaan sejati, dan kesempurnaan, hanya dapat dicapai melalui usaha dan perjuangan sendiri. Sekarang mungkin timbul pertanyaan, “Kalau memang agama Buddha tidak mengenal ajaran tentang doa, permohonan, atau minta-minta, lalu apa yang dilakukan atau diucapkan oleh umat Buddha saat sembahyang?”
Sang Buddha mengajarkan agar kita memperbaiki yang ada di dalam diri kita sendiri, mengikis Lobha, Dosa, dan Moha. Makin bersih batin kita, makin mampu kita menahan diri dari perbuatan salah; yang berarti makin sedikit buah-buah pahit yang bakal kita terima. Yang diucapkan waktu sembahyang adalah PARITTA atau SUTTA. Dengan mengucapkan paritta atau sutta, pikiran dan ucapan diarahkan untuk berpikir dan berucap yang balk. Itu berarti membuat karma baik lewat pikiran dan ucapan. Makna atau tujuan kita mengucapkan paritta adalah sebagai pengulangan terhadap Ajaran Sang Buddha, agar kita selalu ingat terhadap Dhamma Sang Buddha, selalu ingat kepada sila (kemoralan), kepada sifat-sifat luhur Buddha, Dhamma, dan Sangha. Dan pada akhimya ini memberi kita semangat, penguat tekad, pembangkit usaha untuk melaksanakan Dhamma, serta sebagai pengantar yang menenangkan untuk memulai meditasi.
Umat Buddha menyatakan berlindung kepada Tiratana – Buddha, Dhamma, dan Sangha. Hal ini jangan diartikan sebagai perlindungan yang pasif, karena “berlindung” di sini merupakan pernyataan tekad, janji kepada diri sendiri untuk mempelajari, mempraktikkan Buddha Dhamma sampai akhimya mencapai Tujuan. Jadi terlindung tidaknya, tergantung dari praktik Dhamma kita sendiri; sama sekali tidak terkandung pengertian agar Tiratana menyelamatkan kita, tanpa kita perlu mempraktikkan Dhamma itu sendiri.
Ada juga Paritta yang mirip doa, berisi harapan, memang. Tetapi jelas itu tidak bisa disebut doa, memohon, atau meminta, karena sebetulnya itu adalah PATTIDANA atau Pelimpahan Jasa. Terkabul atau tidaknya harapan itu tergantung pada karma masing-masing. Bukan tergantung pada belas kasihan suatu makhluk. Ada juga yang bermakna ADITTHANA, tekad, untuk mewujudkan harapan itu dengan jalan melaksanakan Dhamma.
Bila kita tak bisa membaca paritta, karena sebagai pemula, maka kita bisa mengucapkan: “Semoga semua makhluk berbahagia”. Kalimat itu diulang-ulang terus. Bila hal itu sering kita lakukan dan hayati, maka batin kita akan diliputi oleh rasa cinta kasih (metta). Bila kita hendak melakukan perbuatan/karma buruk yang merugikan makhluk lain, kita cepat menyadari. “Baru saja saya mendoakan agar semua makhluk berbahagia, mengapa sekarang saya ingin menyakiti orang/makhluk lain?” Karma buruk batal kita laksanakan, buah buruk pun tak bakal kita rasakan. “Sembahyang, Puja Bakti, dalam agama Buddha bukan untuk memaksakan keinginan kita, atau mengubah apa yang ada di luar diri kita, tapi untuk mengubah apa yang ada di dalam diri kita, mengikis kekotoran batin; Lobha, Dosa, dan Moha”.
Persembahan, boleh atau dilarang?
Masalahnya bukan boleh atau dilarang, tetapi bermanfaat tidaknya tindakan itu. Sang Buddha tidak pemah melarang umat awam; Sang Buddha hanya memberitahukan akibat, pahala, dan konsekuensi dari suatu tindakan. Kita sujud dan melakukan persembahan, bukanlah karena Sang Buddha memerlukan, meminta, merasa berhak, apalagi mengharuskan. Seseorang yang telah menyucikan pikirannya dan menikmati kebahagiaan yang datang dari kebijaksanaan dan Kebahagiaan Sejati, sama sekali tidak memerlukan apa-apa dari luar dirinya untuk dapat menjadi bahagia. Dan… Sang Buddha sebetulnya tidak memerlukan atau pun memperoleh apa-apa dari persembahan kita!
Apakah ini berarti persembahan kita sia-sia?
Yang mendapatkan manfaat dari persembahan kita sesungguhnya adalah diri kita sendiri. Kita yang belum meraih kesucian, tentu memiliki kemelekatan dan kekikiran. Selalu merasa kurang dan haus. Ini membuat pikiran. kita tidak tenang, mendorong kita untuk menghalalkan segala cara untuk mernperoleh yang kita inginkan. Untuk mengikis kemelekatan dan kekikiran itu, salah satu caranya adalah melaksanakan persembahan atau berdana. Memberi tanpa merasa kehilangan. Hal ini memberikan potensi positif dan mengembangkan pikiran kita, yang selanjutnya memperbaiki tindakan kita.
Bagaimana dengan persembahan hewan kurban?
Mempersembahkan hewan kurban juga baik dan bermanfaat. Tapi, disamping kebaikannya itu, karena ia juga telah sengaja menimbulkan suatu pembunuhan — yang termasuk karma buruk–, berarti persembahan hewan kurban manfaatnya menjadi berkurang, susut Apalagi bila setelah sembahyang, hewan kurban itu dimakan sendiri –tidak didanakan kepada orang lain–, maka manfaatnya menjadi semakin kecil.
Sang Buddha sebagai Guru para Dewa dan manusia, tidak terlalu mengagung-agungkan kehidupan para Dewa, tapi juga tidak terlalu merendahkan kehidupan binatang. Sang Buddha hanya menempatkan pada proporsi yang sebenarnya saja. Memberikan komentar tentang persembahan kurban, Sang Buddha menyatakan: “Barang siapa mencari kebahagiaan bagi dirinya sendiri dengan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, tidak akan memperoleh kebahagiaan setelah kematian “.
Bagaimana dengan “doa kaul”?
“Tuhan/Dewa, berilah kami rezeki/makanan/anak. Kalau doa kami dikabulkan, kami akan mempersembahkan ayam panggang 10 ekor”. Secara sadar atau tidak, doa itu bermakna; “Tuhan/Dewa, berilah kami rezeki/makanan/anak, kalau Tuhan/Dewa berikan, nanti saya beri ayam panggang. Tapi kalau Tuhan/Dewa tidak beri, saya juga tidak jadi memberi ayam panggang”. Bila Tuhan/Dewa yang kita sembah mampu memberi kita apapun yang kita minta, apakah kita tidak salah kaprah dengan menjanjikan sesuatu kepadanya? Ibarat kita menjanjikan uang sepuluh ribu rupiah kepada Om Liem, bila Om Liem mau mengabulkan permintaan kita…
Bagaimana “kaul” secara Buddhis?
Berdana, berbuat baik dulu, baru lalu mengharap, “Semoga dengan kebaikan yang saya lakukan ini, saya bisa mendapatkan kebahagiaan/rezeki/makanan/anak”. Jadi, tanam dulu benih jagung kita, baru kita bisa berharap memanen jagung. Kalau kita menanam -mendanakan- sebutir jagung, kelak kita akan mendapatkan hasil, pahalanya berbutir-butir. Kalau kita berharap panen dulu baru kelak menanam, berarti kita perlu banyak belajar dari pak tani.
Semoga tulisan ini bisa memperbaiki cara kita bersembahyang. Semoga semua makhluk berbahagia.
[Dikutip dari Buku Mutiara Dhamma XIV ]

Kebijaksanaan


Sang Buddha bersabda : “Rago doso mado moho yattha panna na gadhati : Dimana terdapat nafsu, kebencian, kemabokan dan kedungguan disitu tidak terdapat kebijaksanaan”. Didalam tindakan sehari-hari yang tanpa disadari kita telah banyak melakukan kesalahan-kesalahan walau pun ada kalanya bertujuan baik.
Sering dijumpai seorang manager yang emosional mengomelin bawahannya dihadapan orang ramai tanpa mau tahu apakah bawahan tersebut sakit hati atau tidak. Di rumah adakalanya orang tua juga menghardik anak-anaknya yang telah dewasa dengan sejumlah kata-kata yang kurang tepat walaupun maksudnya baik. Demikian juga halnya di sekolah sang guru yang emosional tanpa pikir panjang membentak-bentak dan bahkan menyudutkan siswanya yang kurang mampu menangkap mata pelajaran dengan kalimat yang menyakitkan dihadapan siswa lainnya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang demikian terjadi didalam kehidupan sehari-hari. Maksud & tujuan memang baik tapi cuma caranya yang kurang tepat sehingga hasil yang diinginkan kebanyakan tidaklah sesuai dengan yang diharapkan. Siapapun yang diomelin walaupun salah dihadapan orang ramai pasti akan menimbulkan rasa malu dan rendah diri. Siapapun juga jika selalu dipermalukan dan disepelekan, suatu saat pasti akan kecewa dan timbul antipati. Jika kondisi antipati yang timbul dari orang-orang yang ditegur maka apapun hasil yang diharapkan dari dia akan sia-sia belaka. Mengapa semua kondisi ini bisa terjadi…..? Semuanya tidaklah terlepas dari kurangnya kebijaksanaan yang dimiliki. Orang yang kurang bijaksana akan bertindak dan berlaku semau gue didalam meraih cita-cita yang diingininya, walaupun niat dan tujuan adakalanya baik tapi belum tentu memberikan hasil yang memuaskan. Didalam sabda NYA, Sang Buddha menekankan bahwa hidup dengan kebijaksanaan adalah yang terluhur.
Untuk mengetahui apakah tindakan kita apakah telah sesuai dan pantas menurut kebenaran serta dapat dikatakan bijaksana, marilah kita simak kembali 7(tujuh) hal yang diutamakan oleh Sang Buddha yang terdapat dalam kitab suci Dhammavibhanga sutta yaitu mengenai penguraian tentang Satta Sappurisadhamma (7 hal yang dimiliki oleh orang yang bijaksana). Kalau kita telah memiliki ke 7 hal ini maka semua tindak tanduk dan keputusan yang diperbuat pasti akan menimbulkan simpati serta rasa hormat, yang namanya antipati dan bahkan dendam akan bisa dihindari. Seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha bahwa tanpa adanya Mata Kebijaksanaan maka seseorang itu tak ubahnya seperti orang buta yang menginjak lentera penunjuk jalan. Agar kita berhasil melalui jalur kehidupan ini dengan pasti mana yang pantas dilaksanakan dan mana yang harus dihindari maka sebagai siswa Sang Buddha yang berkeinginan meraih kebijaksanaan, inilah saatnya kita selalu berpedoman kepada ajaran Sang Buddha.
Didalam Sutta Sappurisadhamma (7 hal pencapaian kebijaksanaan) Sang Buddha menguraikan sebagai berikut :
  1. Dharmannuta : Memaklumi kebenaran-kebenaran yang pasti timbul.
    Didalam kehidupan yang nyata ini makhuk hidup tidak akan terlepas dari apa yang namanya “suka dan duka” yang silih berganti timbul serta tenggelam. Si A bisa saja hari ini tampil dengan penuh keceriaan karena kondisi bathin lagi senang tapi beberapa saat kemudian setelah mengetahui dompetnya hilang maka keceriaan tersebut segera berubah menjadi kesedihan. Peristiwa suka dan duka ini silih berganti menghadiri kehidupan kita, dalam kondisi senang dan gembira dimana cita-cita yang didambakan berhasil diraih maka suka dirasakan, begitu apa yang diharapkan atau dicintai tak didapat maka dukapun menyelimuti jalur kehidupannya.
    Disisi lain harus juga menyadari kebenaran-kebenaran yang pasti terjadi di alam semesta ini, ketidak kekalan adalah hal yang pasti hidup dengan kondisi apapun juga pasti diliputi oleh derita dan segala sesuatu yang berada di alam semesta ini tidaklah memiliki inti yang kekal, semuanya senantiasa mengalami perubahan. Dengan menyadari kesunyataan (kebenaran-kebenaran) ini hendaknya kemelekatan akan apapun juga haruslah segera mungkin disingkirkan. Buddha bersabda didalam Kitab Suci Vibhangga (Abhidhammapitaka) yang berisi :
    1. Basmilah segera kejahatan yang sudah muncul
    2. Cegahlah timbulnya kejahatan yang belum muncul
    3. Timbulkan kebajikan yang belum muncul
    4. Pertahankan dan kembangkanlah kebajikan yang sudah muncul
  2. Atthannuta : Memiliki pengertian yang benar akan Dharma (kebenaran).
    Dengan dimilikinya pengertian yang benar akan Dharma bahwa segala sesuatu yang timbul suatu hari kelak pasti akan tenggelam (ketidak kekalan) maka yang namanya derita, keluh kesah maupun frustasi tak akan pernah menyelimuti diri kita seandainya kemalangan/kekurangan beruntungan menimpa diri kita karena sudah menyadari bahwa hal ini adalah hal yang lumrah dan pasti akan terjadi, cepat atau lambat. Didalam Pandita Vangga V1:83, Sang Buddha bersabda :”Lepaskanlah segala yang menimbulkan ikatan seperti hanlnya orang bijaksana yang tak pernah membicarakan segala nafsu dan kesenangan hidup duniawi. Karena itu tidak diganggu oleh kegembiraan dan kesedihan, tidak pernah memperlihatkan rasa senang dan tidak senang”. Memiliki pengertian yang benar akan Dharma (kebenaran) akan menimbulkan kebahagiaan yang luhur dan permanen karena terlindung oleh kebajikan-kebajikan sendiri dan bukanlah sebagai hasil dari penerima belas kasihan (berkahan) dari makhluk lainnya. Berbahagialah bagi yang telah memiliki pengertian yang benar akan Dharma. Selanjutnya Sang Buddha menekan bahwa jasa kebajikanlah yang menjadi pelindung bagi setiap insane dalam menyongsong kehidupan dimasa depan.
  3. Attannuta : Mampu mengontrol diri sesuai dengan Dharma (kebenaran).
    Kelebihan maupun kekurangan yang telah dimiliki hendaknya tidaklah menimbulkan masalah maupun kedukaan bagi masyarakat yang ada di lingkungannya. Dia sangat menyadari bahwa tidak satupun yang logis (pantas ditunding) atas kelebihan maupun kemalangan yang menimpa dirinya. Semuanya tidaklah terlepas dari buah-buah karma yang harus diterima. Hidup senantiasa memiliki sila (moral) yang baik dan berkreasi demi keharmonisan, ketentraman dan kesejahteraan semua makhluk.
  4. Mattannutta : Hidup sesuai dengan kebutuhan. Salah satu noda bathin yang seharusnya yang harus dihentikan adalah keserakahan “Luddho dhamam napassati : Apabila kelobaan telah merasuk, seseorang tidak melihat Dharma(kebenaran)”. Orang serakah dalam hal ini akan menempuh berbagai macam cara demi pemuasan akan kehausannya yang tiada henti-hentinya. Dia tidak segan-segannya menghalalkan tindakan negatif untuk memenuhi ambisinya. Oleh karena itu agar terlepaskan dari jeratan belenggu kejahatan ini, berusahalah terus menerus menyadari bahwa hidup sesuai dengan kebutuhan adalah yang terbahagia, bebas dari keruwetan, kepusingan maupun kekecewaan. Renungkanlah selalu sabda Sang Buddha yang singkat ini : “Kamehi Lokamhi Na Hatthi Titi : Di dunia ini tidak ada kepuasan dalam penikmatan nafsu inderawi”.
  5. Kalannuta : Mengatur waktu dengan bijaksana. Orang yang selalu berkomentar sibuk dan tiada waktu luang untuk ini dan itu adalah cirri khas orang yang diperbudak oleh waktu. Pengertian benar di dalam pemanfaatan waktu belum dimiliki olehnya sama sekali tapi bagi yang berhasil menguasai dan menaklukan serta mampu memanfaatkan waktu dengan benar, tidak akan pernah berkomentar sibuk ini dan itu. Bagi yang telah berkeluarga, waktu untuk keluarga telah tersedia dan disamping itu juga harus mampu membagi waktu untuk kegiatan duniawi maupun keagamaan. Yang terpenting adalah dimilikinya pengertian yang benar akan jalan tengah yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha dimana waktu dimanfaatkan kebijaksanaan mungkin. Waktu hanya dimanfaatkan untuk hal-hal yang berguna demi kebahagiaan diri sendiri maupun makhluk-makhluk yang ada dilingkungannya.
  6. Parisannuta : Bisa mengerti kenyataan-kenyataan yang ada di lingkungannya.
    Pada dasranya tidak satupun makhluk yang berkenan dilahirkan dengan kondisi-kondisi yang kurang menuntungkan misalnya ; miskin, bodoh, cacat, jelek, dan sebagainya. Di dalam masyarakat jika ditetemukan ketimpangan ini hendaknya memperlakukan mereka-mereka ini dengan sepantasnya. Jangan dikarenakan kemiskinan, kita menghina dan menyepelekan orang lain. Jangan karena kebodohan kita mengejeknya. Sadarilah bahwa setiap makhluk tidaklah akan terlepas oleh karma (perbuatan) yang diperbuat olehnya. Apapun perbuatan yang dilakukannya maka itulah suatu hari kelak yang akan diterimanya. Senantiasalah bertutur kata yang lemah lembut dan bimbinglah siapapun demi pencapaian kebahagiann bersama. Milikilah “Positive thinking” dan hindarilah keangkuhan.
  7. Puggalaparopannuta : Mengerti akan Dharma (kebenaran)menimbulkan kebijaksanaan.
    Dengan dimilikinya pengertian yang benar akan Dharma maka dapat dengan jelas mana yang pantas dilaksanakan dan mana yang harus dihindari, mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana sahabat dan mana musuh. Dalam hal ini dia bisa memaklumi kelebihan maupun kekurangan orang lain sehingga yang namanya emosinal akan jauh keberadaannya dan menangani kekurangan-kekurangan yang terjadi disamping pengembangan sifat welas asih yang terus diterapkan.
Kesimpulan :
“Panna naranam ratanam : kebijaksanaan menjadi permata bernilai bagi seseorang.” Demikianlah yang disabdakan oleh Sang Buddha. Tanpa adanya kebijaksanaan maka kesalahan dan kekasaran akan semakin sering dilakukan. Berpegang teguhlah pada ajaran Sang Buddha dengan dimilikinya pengertian yang benar akan Dharma bahwa semua yang berlaku terhadapa diri kita tidaklah harus mutlak sesuai dengan keinginan kita, apapun yang terjadi tidaklah terlepas dari karma yang harus dilalui (dijalani), agar jangan sampai terjerumus ke liang dukkha sebagai akibat dari perbuatan tercela, hidup sederhana dan sesuai dengan kebutuhan (jangan serakah), bisa mengatur waktu dengan baik (jangan diperbudak oleh waktu) dan senantiasa berkreasi demi pembebasan dan kebahagian bagi diri sendiri serta semua makhluk.
Dibagian lain dari sabdanya Sang Buddha menekankan bahwa kebijaksanaanlah yang lebih mulia dari pada kekayaan. Semoga dengan dimilikinya kebijaksanaan hendaknya keberadaan kita dibumi pertiwi tercinta ini merupakan salah satu asset yang berharga bagi ketentraman, kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan bagi bangsa dan negara kita tercinta Indonesia…………… Sabbe satta bhavantu sukhitata : Semoga semua makhluk terbebas dari derita dan semoga semuanya berbahagia…..sadhu…..sadhu…..sadhu………
( Dikutip dari Majalah Buddhis Indonesia Edisi 62 )

Rabu, 17 Desember 2014

Perdukunan

Oleh UP. Dharma Mitra (Peter Lim)

Beberapa waktu yang lalu , masyarakat kota Medan disentakkan dari lamunan , yang seakan akan bagaikan mimpi yaitu dengan ditemukannya 42 korban kebiadaban, dukun Ahmad Suraji (AS) alias Nasib Kelewang (Datuk), di dusun I Aman Damai, Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal Deli Serdang. Semua korbannya adalah wanita, yang dijadikan tumbal untuk kesempurnaan ilmu hitam, yang di dalami (dituntut). Jasa praktek perdukunan, sudah merupakan rahasia umum, yang diharapkan bagi segelintir orang orang, yang tidak tahan di dalam menghadapi rintangan rintangan hidup atau tidak memiliki kepercayaan diri, menatap kenyataan kenyataaan yang telah terjadi. Di daerah daerah yang masih terpencil dan jauh dari jangkauan teknologi, praktek perdukunan sangat dominan mempengaruhi pola hidup masyarakat di sekitarnya. Di saat menghindari rintangan hidup, misalnya untuk mendapatkan kesembuhan, meminta hujan, menolak bencana alam atau mendapatkan kesejahteraan hidup, jasa dukun sangatlah diharapkan, apakah memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan atau tidak, itu adalah nomor dua. Yang terpenting, sang dukun telah berusaha, untuk memenuhi apa yang diminta (diinginkan). Kalau praktek perdukunan terjadi di daerah yang terpencil, itu adalah hal yang sangat lumrah dan umum dijumpai serta rasanya, tidaklah perlu diherankan lagi, karena kondisi masyarakatnya masih lugu, polos dan taraf pendidikannya, masih sangat minim. Tetapi di era teknologi yang serba canggih ini, terutama sekali di perkotaan, ternyata praktek perdukunan, juga tidak mengalami penurunan dalam hal "omzet : pemasukan", dan tidak sedikit yang dijumpai, baik yang datang secara terang terangan maupun sembunyi sembunyian. Dengan terungkapnya kasus Dukun Ahmad Suraji ( AS), yang telah membantai 42 orang korbannya dengan sadis, nampaklah dengan jelas bahwa praktek perdukunan, sesungguhnya lebih banyak dampak negatifnya, daripada yang diharapkan. Kasus korban dukun Ahmad Suraji (AS), bisa saja hanya merupakan satu, diantara sekian banyak kasus korban, yang dirugikan oleh praktek perdukunan, yang telah berhasil diketemukan (dibongkar) oleh aparat keamanan. Seperti yang telah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pada umumnya, seseorang menggunakan jasa perdukunan adalah:
  1. Kurangnya rasa percaya diri, dalam arti kata, tidak memiliki suatu keyakinan bahwa dia mampu, untuk menyelesaikan problema problema yang sedang atau yang telah terjadi.
  2. Tidak sabar dan ingin secepatnya meraih atau menyelesaikan, apa yang diharapkan.
  3. Tidak yakin akan adanya hukum karma, bahwa setiap makhluk pasti akan memiliki, mewaisi dan terlindung oleh perbuatannya masing masing.
Selanjutnya, faktor faktor lain yang menjadi penyebab, sampai terjeremusnya seseorang menggunakan jasa perdukunan, pada umumnya adalah :
  1. MASALAH PERJODOHAN
    Hingga saat ini, masih terdapat anggapan keliru yang menyatakan bahwa hidup berdampingan alias sampai berumah tangga adalah hidup yang sesungguhnya. Sehingga dengan adanya anggapan yang keliru ini, bagi yang masih lajang / gadis, akan berusaha untuk mendapatkan pasangan yang didambakan, baik secara halus maupun kasar. Yang halus misalnya dengan menggunakan jasa dukun, yang salah satu wujudnya adalah dengan cara memasang "pemanis" untuk memikat yg diinginkan. Sedangkan cara yang kasar adalah dengan menculik atau menggunakan kekerasan lainnya. Ada juga pameo yang mengatakan jika " cinta ditolak maka dukun pun bertindak " Di dalam sabdanya, Sang Buddha menyabdakan, bahwa kebahagiaan bisa diraih, selain melalui jalur berumah tangga juga "non" berumah tangga, misalnya menjadi anggota Sangha (Bhikkhu / ni). Hidup berpasangan yang katanya "setia sehidup semati" , tidaklah bertentangan dengan Buddha Dharma, sejauh diraih dengan jalur yang benar dan tidak dengan cara cara yang kurang terpuji alias pemaksaan, misalnya melalui jasa perdukunan. Di media massa, hampir setiap hari bisa dijumpai berita berita perceraian, yang pada umumnya terjadi setelah beranak satu atau dua. Mengapa perihal ini sampai terjadi……? Ini merupakan salah bukti yang nyata bahwa jalur percintaan yang diawali dengan ketulusan hingga ke pelaminan, tidaklah menjamin kebahagiaan hingga ke anak cucu dan apalagi jika diraih dengan cara yang tidak benar, misalnya melalui jasa perdukunan (pemakaian "susuk ", " pemanis " atau " guna - guna ") Kalau demikian halnya, untuk apakah hidup berdampingan jika kebahagiaan jauh keberadaannya…? Bukankah setiap orang selalu mendambakan kebahagiaan…? Bagi pasangan yang mendambakan kebahagiaan yang sesungguhnya, Sang Buddha menyabdakan bahwa terdapat empat syarat yang harus dipenuhi.
    Pertama : milikilah samma saddha : keyakinan yang sama " Jika:
    1. Yakin bahwa setiap perbuatan (baik /jahat), pasti akan berdampak negatif maupun positif bagi si pembuat.
    2. Yakin bahwa ketidak kekalan, pasti akan dialami oleh setiap makhluk.
    3. Yakin bahwa kebahagiaan maupun penderitaan, sumber utamanya adalah diri sendiri .
    4. Yakin bahwa Triratna (Buddha, Dhamma dan Sangha) adalah tiga permata mulia, yang merupakan acuan, untuk mencapai pantai seberang NIBBANA/ NIRWANA dan seterusnya… maka milikilah pasangan yang demikian, agar jalur kehidupan yang dilalui, tidak saling bertentangan.
    Kedua : milikilah " samma sila : moral yang sama baik". Kalau pada dasarnya, kita memiliki sifat yang selalu berusaha, untuk menghindari pembunuhan, pencurian, perzinahan, pendustaan dan memakan/ meminum yang menyebabkan, hilangnya kesadaran (bermabuk-mabukkan), maka carilah pasangan yang penuh dengan cinta kasih, jujur, setia,lemah lembut tutur katanya dan senantiasa mawas diri.
    Ketiga : milikilah " samma caga : keluhuran budi yang sama". Di kala kita berkenan melepaskan beban derita makhluk lain, hendaknya dia pun menyokong niat mulia ini. Dikala kita beraktivitas sosial, hendaknya dia pun ikut berpartisipasi dan seterusnya.
    Keempat : milikilah " samma panna : kebijaksanaan yang sama ". Di dalam tutur kata dan tindakan, hendaknya sama sama tidak merugikan, pihak manapun juga.
    Dengan dimilikinya ke empat (berkeyakinan, bermoral, berkeluhuran budi dan berkebijaksanaan yang sama) persamaan ini, maka pasangan (jodoh) yang dijumpai adalah yang abadi, di kehidupan ini maupun mendatang akan senantiasa bersama. Apakah dalam hal ini, jasa perdukunan masih dibutuhkan…?
  2. Masalah Materi
    Memang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa di era yang serba materialistis ini, semua kedudukan dan ada kalanya kehormatan seseorang, ditakar atau diukur dari jumlah meteri yang dimiliki. Tetapi apakah materi yang berlimpah ruah, akan menjamin kebahagiaan bagi si pemilik……? Fakta telah membuktikan bahwa sejumlah hartawan yang hartanya ada dimana-mana , hidupnya berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan, misalnya ketakutan, stress dan bahkan ada yang melakukan bunuh diri agar terlepas dari cengkraman problema problema kehidupan ini. Bagi yang berpengertian benar, harta materi hanya dimanfaatkan sebatas sarana, untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik bagi diri sendiri maupun makhluk lain yang membutuhkan uluran tangannya. Materi yang diraih dengan jalur yang benar, penuh dengan semangat dan kesabaran serta tanpa menimbulkan penderitaan bagi makhluk lain, juga merupakan salah satu modal awal, untuk dinikmatinya dengan penuh kebahagiaan. Oleh Sang Buddha ditekankan bahwa kelebihan materi yang berhasil diraih juga bisa dijadikan motivasi awal, untuk meraih kebahagiaan apabila diperoleh dengan cara yang benar serta tidak melanggar kesilaan. Akan adakah manfaatnya, jika kelebihan materi yang berlimpah ruah ini, mengisi kehidupan dengan segala perasaan yang tidak menentu, misalnya: " was was, takut, kecewa dan cemas"? Dan dapatkah dalam hal ini jasa pedukunan membuat orang menjadi kaya bagaikan mie yang serba " instant : segera "….? Kalau dapat, mengapa realitanya para dukun, kebanyakan dijumpai masih berada dalam kondisi melarat (miskin), sedangkan disisi yang sebaliknya, kelebihan materi adalah dambaan setiap orang….? Adakah dukun yang mengharamkan kekayaan materi bagi dirinya ….? Bukankah ini suatu hal yang cukup ironis….? Sesuai dengan konsep hukum karma yang diajarkan oleh Sang Buddha, sesuai dengan apa yang ditanam maka itulah yang akan dipetik. Jika jagung yang ditanam maka jagung pulalah yang akan dipanen dan tidaklah mungkin tomat dan sebaliknya. Dan jika sering berdana dalam bentuk materi maka akan terlimpahi dengan kelebihan - kelebihan meteri. Mengapa pula harus gelisah dan takut, untuk menghadapi masa mendatang, bukankah kitalah penentuannya….? Ingin kaya, maka rutinlah berdana dalam bentuk materi !, itulah satu satunya cara yg terlogis, yang seharusnya diterapkan agar terbebas dari dampak negatif yg tidak diharapkan.
  3. Masalah Penyakit
    Yang namanya makhluk hidup adalah ladang yang tersubur, untuk diserang oleh bibit bibit penyakit. Kalau berdasarkan " diagnosa " dokter disimpulkan bahwa kita menderita sakit A, B atau C, maka alangkah bijaksananya, sesegera mungkin membeli obat - obatan yang telah diresepkan . Tetapi pada kenyataannya, masih ada juga yang telah berobat ke dokter, masih menjumpai dukun untuk memohon penyembuhan. Alhasil apa yang didapatnya….? Umumnya adalah kekecewaan dan diluar dari yang dikehendaki.
    Di alam pemikiran yang logis, apakah mungkin dengan hanya mengumandangkan sejumlah kalimat, yang menurut empunya memiliki kekuatan gaib dan ampuh, serta bisa menyembuhkan beragam penyakit..? Kalau benar adanya, ngapain lagi seseorang mengikuti kuliah yang lamanya, bisa saja puluhan tahun, untuk mengambil spesialis ini dan itu…? Sering dijumpai, kasus yang seharusnya bisa diselamat,eeeeh akhirnya menjadi tamat (mati) karena tidak meyakini, akan hasil diagnosa dokter. Dibawah ini terdapat sebuah kisah nyata, yang pernah terjadi pada seorang usahawan yang cukup sukses. Suatu hari, usahawan tersebut mengeluh kesakitan, di sekitar sebelah kiri dadanya bagaikan ditusuk jarum halus. Setelah di diagnosa oleh seorang dokter spesialis jantung (cardiologist) maka disimpulkan bahwa dia menderita "angina pectoris: penyumbatan pembuluh darah jantung " dan disarankan agar sesegera mungkin, menjalani " coronary bypass : operasi jantung " dan jika tidak, maka kemungkinan hidup hanya 50 % saja. Usahawan yang termasuk kaum "behave : beruang " ini, , bukannya mengikuti nasehat dokter, malahan mencari dukun. Setelah dikonsultasikan dengan Sang dukun maka disimpulkan bahwa bedah jantung tidaklah diperlukan dan semua keluhan yang dirasakan, tidak lain penyebab utamanya adalah gangguan dari makhluk halus. Setelah dijampi jampi dengan sejumlah kalimat yang sukar sekali dimengerti, si usahawan dinyatakan sembuh. Sebulan kemudian, si usahawan diberitakan meninggal mendadak akibat dari penyumbatan di pembuluh darah jantung. Dan masih banyak lagi kisah kisah nyata, yang tidak sepantasnya terjadi, eeeeh malahan terjadi….Siapakah yang bodoh dalam hal ini…….? Sang Buddha kalau sakit tetap makan obat, mengapa kita sebagai siswanya mau dipengaruhi untuk mempercayai sesuatu yang tak seyogyanya diyakini…..? Inilah yang namanya "moha : kebodohan" !
  4. Masalah Kegagalan, Kekuasaan dan Masa Depan
    Kegagalan….. siapa sich yang tidak pernah mengalaminya…? Berawal dari belajar merangkak, berjalan dan berlari, rasanya sudah tak terhitung lagi, kita mengalami jatuh bangun…? Demikian juga halnya, dikala ingin meraih juara satu, tetapi kenyataannya, jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Setelah dewasa, begitu berkeinginan memikat si A, ternyata sudah di booking orang (ada yang punya) dan seterusnya. Berdasarkan pada pengalaman ini, haruskah kita mencari jalan pintas, dengan menggunakan jasa perdukunan agar terbebas dari kegagalan…..? Begitu pula halnya dengan kekuasaan, siapapun pasti mendambakannya. Tetapi jika diraih dengan jalur yang tidak benar, akankah bermanfaat..? Bukankah, alangkah nikmatnya hidup ini jika kita selalu disegani daripada ditakuti…? Dan sudah merupakan hukum alamnya bahwa jika kita disegani maka akan menimbulkan rasa enggan dan simpati, dan tiada niat jahat dari pihak manapun juga, untuk mau menyakiti dan apalagi mencederai diri kita. Tetapi jika kita selalu ditakuti oleh orang lain maka konsekwensinya adalah bersiap sedialah 24 jam non-stop, menyewa seorang tukang pukul agar hidup ini bisa berjalan normal dan selamat. Pada umumnya, unsur ketakutan bisa muncul kepermukaan karena adanya perasaan yang tertekan oleh kekuasaan yang otoriter/diktator, tetapi rasa segan/kagum bisa muncul (timbul) karena adanya rasa simpati yang mendalam disertai oleh unsur kelembutan serta keluwesan. Selanjutnya, berbicara mengenai masa depan…apakah perlu dirisaukan…? Sesuai dengan konsep hukum karma bahwa keberadaan atau kondisi yang dimiliki/dirasakan hari ini, tidaklah terlepas daripada timbunan perbuatan perbuatan yang telah diperbuat. Kalau ingin (mengharapkan) kondisi masa depan yang lebih bahagia dan sejahtera maka kuncinya hanya satu yaitu dengan menimbun kebajikan sebanyak banyaknya.
KESIMPULAN :
Praktek perdukunan tidaklah sesuai dengan Konsep Buddhis. Di dalam " Vinaya : peraturan kebhikkuan " ditekankan bahwa seorang Bhikkhu yang meramal - ramal masa depan siapapun juga akan dikenakan sanksi. Untuk terhindar dari jeratan prakter perdukunan, marilah kita tingkatkan;
  1. Rasa percaya diri yang kuat Yakinlah selalu bahwa dia bisa mengapa pula aku tidak…?
  2. Memiliki kesabaran dalam segala hal. Oleh bersabarlah baru kita bisa melatih diri dengan baik.
  3. Yakinlah hukum karma dengan sebaik - baiknya jangan mencari perlindungan diluar dirimu dan berlindunglah dengan kekuatan dari karma (perbuatan baik) yang diperbuat.
    Semoga dengan adanya pengertian yang benar, hendaknya kita tidak lagi terjerumus kepandangan- pandangan salah, untuk meraih sesuatu yang diluar logika…. Sabbe satta sabba dukkha pamuccantu- sabbe satta bhavantu sukhitata…sadhu….sadhu……… .sadhu……

Menghadapi Stress Dengan Agama Buddha




Oleh Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera



Kemajuan jaman ibarat pisau bermata ganda. Di satu sisi ia memberikan kemudahan hidup bagi masyarakat yang telah siap sehingga dapat memanfaatkannya. Di sisi yang lain sesungguhnya ia pun dapat memberikan akibat negatif untuk mereka yang belum siap mental menghadapi perubahan lingkungan yang sedemikian cepat. Ada tuntutan-tuntutan jaman dan konflik-konflik yang harus dihadapi seseorang untuk memenuhi tuntutan jaman itu akhirnya dapat menjerumuskan orang yang lemah pengertian batinnya pada kondisi stress.
Hakekat dari pengertian batin sebagai bekal yang paling pokok dalam menghadapi dampak negatif kemajuan jaman ini adalah memiliki kemampuan melihat hidup sebagaimana adanya, bahwa hidup tidak kekal dan hanyalah proses belaka. Pengertian ini biasanya telah dimengerti oleh hampir setiap orang secara teoritis tetapi pada kenyataannya orang jarang siap mental bila menghadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya.
Dalam usaha menyesuaikan antara pengertian batin (baca: teori) yang dimiliki dengan penerapannya pada kehidupan yang sesungguhnya inilah peranan Agama Buddha diperlukan. Agama Buddha adalah gabungan antara tradisi penghormatan kepada Sang Guru Agung, Buddha Gotama, dengan Ajaran Luhur Sang Buddha yang berisikan kiat-kiat untuk menghadapi kenyataan hidup yang kadang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan tujuan Agama Buddha secara umum adalah agar orang yang mengikuti dan melaksanakan Ajarannya akan memperoleh kebahagiaan duniawi, surgawi dan sebagai tujuan tertinggi adalah tercapai kebebasan mutlak yaitu Nibbana (=Nirwana) sebagai Tuhan Yang Mahaesa dalam pengertian Agama Buddha.

PEMBAHASAN
Pengertian batin untuk melihat hidup sebagaimana adanya ternyata lebih mudah diucapkan dan dinasehatkan kepada orang lain daripada untuk membantu diri kita sendiri dalam mengatasi kenyataan hidup yang kadang tidak sesuai dengan harapan. Bila menjumpai orang lain yang sedang menderita, kita akan lebih mudah menjadi penasehat yang tampaknya amat bijaksana untuk membantu orang tersebut agar mampu menerima kepahitan hidup. Sebaliknya, bila tiba giliran kita yang menerima penderitaan akibat perubahan yang tidak diinginkan, kadang nasehat tulus dari seorang kawan dapat dianggap sebagai pelecehan atas kondisi yang sedang kita alami.
Untuk mengubah pengertian benar yang masih teoritis menjadi praktis itulah Sang Buddha dalam berbagai kesempatan sepanjang hidup Beliau telah menjelaskannya kepada para umatNya tentang tahapan-tahapan yang harus dilakukan. Bila tahapan ini diikuti sungguh-sungguh maka hasil nyata yang dapat dialami sebagai awal pencapaian adalah hidup bahagia dan bebas dari stress. Kebahagiaan awal ini kemudian dapat dilanjutkan untuk dapat mencapai bentuk-bentuk kebahagiaan yang lebih tinggi sehingga akhirnya tercapailah kebahagiaan tertinggi yaitu Tuhan Yang Mahaesa (=Nibbana/Nirwana).
Secara ringkas, tahapan-tahapan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
TAHAP PERTAMA :
SUMBER STRESS ADALAH KEINGINAN
Manusia hidup pasti tidak akan pernah terlepas dari keinginan. Memiliki keinginan adalah wajar sejauh kita tidak menjadi budak keinginan kita sendiri. Oleh karena itu, keinginan dapat menjadi salah satu sumber stress. Stress dapat timbul bila orang bersikap terlalu kaku pada keinginannya sendiri tanpa memiliki kesadaran bahwa kadang orang harus menyesuaikan diri antara keinginan dengan kenyataan yang dihadapi. Dengan kata lain, orang sering tidak siap dan tidak berkeinginan menghadapi perubahan. Padahal, setiap saat dan di setiap tempat ada kemungkinan orang akan mengalami perubahan. Perubahan dalam hidup ini dapat merupakan perubahan ke arah yang menggembirakan ataupun sebaliknya. Menghadapi perubahan yang menggembirakan, orang tidak akan mempermasalahkan seperti bila sedang menghadapai perubahan yang tidak menyenangkan. Dalam masalah ini, perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang membuat orang tidak bahagia karena tidak sesuai dengan keinginannya. Perubahan dapat dirasakan mengarah pada hal yang tidak membahagiakan karena disebabkan oleh niat orang untuk tidak ingin berkumpul dengan yang tidak disenangi dan berpisah dengan yang dicinta. Perubahan ini terjadi dalam bentuk yang seluas-luasnya, misalnya dalam hubungan dengan sesama manusia, dengan benda maupun dengan suasana serta masih banyak yang lainnya. Stress muncul karena orang tidak ingin melihat perubahan ke arah yang tidak menggembirakan itu terwujud sebagai kenyataan. Orang bahkan ingin memaksakan kenyataan seperti keinginannya. Tentunya hal ini tidaklah mungkin dapat terjadi.
Pada dasarnya terdapat dua macam keinginan yang dominan dalam kehidupan ini yaitu ingin selalu bersama dengan hal-hal atau kondisi yang menyenangkan dan yang lainnya adalah ingin tidak pernah menjumpai hal-hal atau kondisi yang tidak menyenangkan. Tentu saja bila kedua macam keinginan ini dapat terpenuhi maka bahagialah kehidupan orang tersebut. Namun, karena hidup selalu berubah maka orang kadang, kalau tidak dapat dibilang sering, mengalami kekecewaan. Bila kekecewaan ini bertambah banyak kuantitas maupun kualitasnya maka stress dan akibat-akibat negatif lainnya akan muncul.
Dewasa ini masalah stress dan akibatnya serta juga cara-cara menanggulanginya telah ramai dibicarakan di seluruh dunia. Banyak ahli menuliskan pendapatnya tentang stress. Salah satu diantaranya adalah Peter G. Hanson. Menurut hasil penelitian Hanson, beberapa di antara sumber stress dalam masyarakat adalah terutama karena memiliki kondisi yang tidak seimbang pada bidang-bidang keuangan, pribadi, kesehatan dan pekerjaan. Hanson mengartikankeuangan sebagai kondisi memiliki ketrampilan kerja yang dapat dijual, memiliki cukup uang untuk mencapai tujuan, dan jaminan keuangan jika nanti terserang penyakit, resesi, atau kehilangan pekerjaan. Pribadi adalah berarti memiliki teman sejati (tidak perlu banyak) dan keluarga, misalnya perkawinan atau hal yang serupa. Kesehatan yang dimaksudkan adalah kesehatan lahir batin yang dinyatakan oleh dokter dan bukan pendapat pribadi. Sedangkanpekerjaan berarti adalah tampil efisien dengan integritas dan mendapatkan rasa hormat dari lingkungan, dalam hal ini apabila sebagai seorang pelajar berarti segi pendidikan.
Bila orang mengalami perubahan atau kegagalan pada salah satu atau lebih dari keempat hal di atas maka ia memiliki potensi untuk mengalami stress, kecuali bila pengertian batinnya telah matang.
TAHAP KEDUA :
KEINGINAN DAPAT DIKENDALIKAN
Apabila sumber stress diketahui maka sesungguhnya jalan untuk mengatasinya telah terjawab setengahnya. Telah disadari bahwa keinginan yang tidak fleksibel justru akan menjerumuskan seseorang ke dalam jurang stress. Semakin kukuh keinginan seseorang, semakin besar pula kemungkinan stress yang akan dihadapinya. Untuk itulah, orang perlu memiliki wawasan berfikir bahwa dalam hidup ini sering keinginan tidak dapat menjadi kenyataan sedangkan kenyataan tidak jarang amat berbeda dari keinginan yang dimiliki. Wawasan ini berguna untuk melunakkan keinginan sehingga akhirnya dapat diubah dan disesuaikan dengan kenyataan. Bila keinginan telah sesuai dengan kenyataan maka stress pun akan dapat dihalau jauh-jauh dari hidup ini.
TAHAP KETIGA :
CARA MENGENDALIKAN KEINGINAN
Untuk mengendalikan keinginan agar stress dapat diusir dari kehidupan ini, ada beberapa langkah dalam Agama Buddha yang harus ditempuh, yaitu:
a. Kerelaan
Dalam Agama Buddha, kerelaan atau keikhlasan meliputi dua macam yaitu kerelaan materi dan non-materi. Kerelaan materi akan lebih mudah dilakukan karena lebih kelihatan secara indriawi. Kerelaan materi juga menjadi awal untuk mencapai tahap yang lebih tinggi lagi. Kerelaan materi dapat berbentuk bantuan sandang, pangan, papan, obat-obatan maupun keuangan.
Kerelaan non-materi atau kerelaan batin agak lebih sulit dilakukan. Kerelaan non-materi dapat dikatakan sebagai bentuk kerelaan yang lebih tinggi daripada kerelaan materi. Kerelaan ini membutuhkan sikap mental untuk tidak mementingkan diri sendiri. Memiliki sikap mental mengharapkan semoga semua makhluk hidup berbahagia. Memperhatikan sekeliling dan siap membantu mereka dengan tenaga, ucapan maupun pikiran yang dimiliki. Beberapa bentuk kerelaan non-materi adalah nasehat, pengendalian diri dan peka pada kondisi lingkungan.
Melaksanakan kedua bentuk kerelaan di atas secara bersama-sama akan menumbuhkan kebahagiaan dalam hati si pelaku. Perasaan menjadi lebih ringan dan bahagia karena mempunyai ingatan bahwa dirinya telah mampu mengisi kehidupan ini dengan sesuatu yang berguna yaitu 'melakukan perbuatan baik' kepada fihak lain secara aktif. Kebahagiaan yang muncul karena orang telah mampu mengatasi dirinya ataupun keinginannya sendiri untuk mengembangkan rasa kebersamaan di jaman orang tidak lagi terlalu memperhatikan lingkungannya. Perasaan ini akan menambah semangat hidup dan ketenangan batin serta dapat membebaskan diri dari stress.
b. Kemoralan
Kemoralan adalah usaha mencegah berkembangnya bahkan -kalau dapat- menghilangkan perbuatan atau kebiasaan buruk yang telah dimiliki dan berusaha agar diri sendiri tidak melakukan keburukan yang telah dilakukan oleh orang lain.
Kemoralan juga akan memberikan ketenangan batin karena kemoralan menjaga segala perbuatan yang dilakukan lewat badan, ucapan dan pikiran agar 'terbebas dari kesalahan'. Manusia pada dasarnya berhasrat untuk melaksanakan segala bentuk keinginannya baik keinginan luhur maupun tidak baik. Namun dengan pengertian akan kemoralan maka orang kemudian akan mampu memilih perbuatan yang pantas dilakukan dari hal-hal yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan maupun ukuran kemoralan yang lainnya. Semakin tepat pilihannya, semakin diterima pula seseorang dalam lingkungannya, semakin besar pula keyakinan pada dirinya sendiri bahwa ia 'terbebas dari kesalahan'.
Bila keinginan telah terbiasa dikendalikan, maka bila dalam kehidupan ini orang menjumpai kenyataan yang bertentangan dengan keinginannya, ia akan dengan lapang dada dan penuh pengertian akan mampu menerima kenyataan tersebut. Ia tenang menghadapi kenyataan.
Dalam pengertian Agama Buddha, apabila kerelaan adalah unsur aktif untuk berbuat kebaikan maka kemoralan adalah unsur negatif yaitu mencegah kejahatan. Kedua unsur ini masing-masing bekerja aktif untuk mengendalikan keinginan seseorang, menundukkan keinginan seseorang. Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya karena mereka bekerja saling melengkapi untuk mencapai tujuan yang sama, hidup bahagia dan bebas dari stress sebagai awal pencapaian yang lebih tinggi. Dengan demikian, umat Buddha selalu dianjurkan untuk melaksanakan kedua hal pokok ini.
Dalam menyimpulkan hasil penelitiannya Dr. Claire Weekes menyatakan bahwa menganut salah satu agama tertentu dapat mencegah serta mengatasi stress disamping memiliki pekerjaan yang sesuai dan keberanian dalam menghadapi resiko hidup.
c. Ketenangan batin
Langkah yang ketiga ini digunakan untuk mengatasi stress langsung dari sumbernya yaitu pikiran. Dalam pikiran itulah terletak bermacam-macam keinginan. Ketenangan batin dicapai melalui latihan meditasi. Meditasi dapat digunakan untuk mengendapkan dan menyusun segala bentuk keinginan dalam latihan berpikir dengan benar. Manusia mampu melatih setiap gerakan badan dan ucapan sesuai dengan kemauan, demikian pula terhadap pikiran. Sarana melatih pikiran itulah yang disebut dengan meditasi. Meditasi mengarahkan batin seseorang untuk dapat menyadari bahwa hidup adalah saat ini, bukan masa lalu maupun masa yang akan datang. Pada masa lalu orang pernah hidup tetapi sudah tidak hidup, di masa datang orang akan hidup tetapi belum hidup; di masa ini, saat inilah orang hidup dan sedang hidup. Bila batin telah mencapai tahap ini, batin akan mampu memisahkan antara keinginan yang diperlukan saat ini dari keinginan yang dapat ditunda atau bahkan keinginan yang perlu dihilangkan. Dengan demikian, maka orang akhirnya dapat menundukkan keinginannya sendiri dan terbebaslah ia dari stress.
Pada hakekatnya meditasi adalah menyadari segala sesuatu yang sedang dilakukan, diucapkan dan terutama segala yang dipikirkan. Meditasi bukanlah berdoa, mengatur pernafasan maupun mengosongkan pikiran. Dalam melaksanakan meditasi dibutuhkan beberapa persyaratan dasar yaitu posisi tubuh yang benar, waktu meditasi yang sesuai, tempat meditasi yang memenuhi persyaratan, obyek meditasi yang cocok dan juga guru yang mampu mengarahkan meditasi sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Bila ketenangan batin tercapai maka stress pun tidak mempunyai kesempatan muncul dalam kehidupan ini. Dr. Vernon Coleman juga mengarahkan para pasien stress-nya untuk melakukan relaksasi terutama dengan meditasi walaupun tidak harus mengikuti satu bentuk institusi tertentu.
d. Kebijaksanaan
Kemampuan meditasi bukan hanya untuk menghasilkan ketenangan batin saja tetapi dapat dikembangkan ke arah pengertian batin yang hendak dicari sebagai obat tertinggi dalam menanggulangi stress.
Menurut Sang Buddha, ada dua macam kebijaksanaan yaitu kebijaksanaan duniawi yang berupa teori dan kebijaksanaan mutlak yaitu tercapainya tujuan tertinggi dalam Agama Buddha, Nibbana/Nirwana. Kebijaksanaan duniawi adalah pengertian dasar bersifat filosofis dan teoritis untuk mendorong pelaksanaannya agar orang dapat membuktikan kebenarannya. Apabila telah dilaksanakan maka setahap demi setahap orang akan mendekati tujuan akhir yaitu kebijaksanaan mutlak.
Pencapaian kebijaksanaan mutlak dengan melatih ketenangan batin berpandangan terang. Sasaran latihan ketenangan batin tahap akhir ini adalah agar orang setelah mampu memisahkan antara keinginan yang pokok dan sampingan, kini di arahkan untuk menyadari bahwa keinginan itulah yang menjadi dasar ketidakpuasan dalam hidup ini. Keinginan itu pulalah yang menjadi salah satu sebab munculnya stress dalam hidup ini. Sedangkan sumber keinginan adalah karena tidak menyadari bahwa hidup akan selalu berubah dan hanyalah proses. Tahap ini menjadi tahap akhir dan menjadi tahap tertinggi dalam Agama Buddha. Untuk menguraikan tahapan ini membutuhkan suatu latihan dasar dari ketiga tahap sebelumnya, oleh karena itu dalam kesempatan ini tahap terakhir ini hanya diuraikan secara singkat untuk memberikan gambaran sepintas dahulu. Dalam kesempatan lain, mungkin akan dibicarakan secara khusus dan mendalam.
Sesungguhnya bila hanya untuk mengatasi stress saja ketiga tahap di atas sudah lebih dari cukup. Bila hendak mengatasi masalah hidup yang sesungguhnya yaitu untuk mencapai Tuhan Yang Mahaesa (=Nibbana/Nirwana) maka tahap keempat adalah tahap yang harus dilaksanakan.


PENUTUP
Istilah 'stress' kelihatannya baru muncul dalam beberapa dekade belakangan ini, tetapi sesungguhnya sejak jaman Sang Buddha hidup bahkan mungkin jauh sebelumnya itu kondisi stress ini telah dialami umat manusia. Oleh karena itu, Ajaran Sang Buddha bukan hanya berisikan petunjuk untuk mengembangkan kebahagiaan yang telah dimiliki, namun juga berisikan kiat-kiat untuk memperbaiki situasi lahir batin yang sedang dihadapi. Apabila kondisi lahir batin dapat diselaraskan dengan kenyataan hidup, maka terbebaslah orang dari stress.
Kini, pengertian untuk mengatasi stress sebagai fenomena era globalisasi dan teknologi telah diberikan, tinggal dilaksanakan. Sesungguhnya menurut Sabda Sang Buddha:
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat timbul dan tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi, sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat timbul dan tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi.
( DHAMMAPADA VIII, 14 )
[Dikutip dari website Samaggi-phala WWW.samaggi-phala.or.id ]