Senin, 20 April 2015

3 ciri manusia baik

3 Ciri Manusia Baik

Minggu 26 mei 2013
Oleh : Ibu Metta Dewi
Setiap orang bisa menjadi lebih maju dan lebih baik kalau mereka mau berusaha dengan sungguh-sungguh. Dalam Anguttara Nikaya 1 ayat 151 tertulis 3 ciri manusia baik :
1.Suka berdana
Berdana ini tidak harus selalu materi. Bisa juga dana tenaga misal bantu persiapan waisak, memberi maaf juga bisa disebut berdana
2.Suka melakukan pabaja
Ini artinya kita melepaskan kepentingan pribadi untuk kepentingan umum demi kebahagiaan orang lain dan juga tidak bersikap kejam.
3.Suka membahagiakan orang tua , merawat orang tua
Ada cerita cerita nyata pada zaman Sang Buddha : Ada seorang bernama Utari, anaknya Sumanna. Utari ini dijodohkan dengan seseorang. Setelah menikah Utari hanya boleh di rumah , tidak boleh kemana-mana. Suatu ketika ayahnya Utari datang menemui anaknya. Ayahnya memberikan sejumlah uang untuk mencari seorang wanita yang bisa menggantikannya di rumah selama 15 hari.ada seorang bernama Sirima yang mau. Ketika itu Utari sangat senang karena dia bisa pulang ke rumah orangtuanya. Di sana Utari mendengarkan dhamma , berdana , dll. 15 hari sudah lewat , saatnya Utari kembali ke rumah suaminya. Saat itu Sirima merasa enggan untuk meninggalkan rumah itu. Dia pun mencari cara agar Utari tidak kembali ke rumah itu. Dia pun ingin menyiram mentega panas ke kepala Utari.
Ketika akan disiram, Utari berdoa semoga mentega ini bisa menjadi dingin di kepala saya. ajaibnya mentega itu menjadi dingin dan Utari tidak apa2. Malah mentega itu kena ke Sirima namun Utari tidak marah tapi malah mengobatinya. Setelah sembuh , Utari menyadarkan Sirima agar mendengarkan dhamma , banyak berdana kepada Arahat. Dia juga mengajak mertua dan suaminya. Ketika kita berdana kepada Arahat , sekecil apapun , kita akan mendapat karma baik dalam waktu 7 hari. Jangan pernah berhenti berbuat baik walau sekecil apapun. Sedikit perbuatan baik akan menghasilkan karma baik yang besar.
Diringkas oleh Doc n Pub Team.

Wejangan Terakhir Dari Sang Bhagava


Posted on by
Kini Sang Bhagava berkata kepada Ananda, “Ada kemungkinan bahwa di antara kalian ada yang berpikir, ‘Berakhirlah kata-kata Sang Guru; kita tidak mempunyai seorang Guru lagi.’ Tetapi, Ananda, hendaknya jangan ada orang yang berpikir seperti itu. Sebab apa yang telah Aku ajarkan sebagai Dhamma (Ajaran) dan Vinaya (Tata Tertib), Ananda, itulah kelak yang akan menjadi Gurumu, apabila Aku sudah tidak ada lagi.”
“Dan, Ananda, sebagaimana sekarang para bhikkhu menegur satu sama lain dengan menggunakan ‘Sahabat’ (Avuso), setelah Aku sudah tidak ada lagi, maka kebiasaan itu harus diubah. Seorang bhikkhu senior, Ananda, boleh memanggil bhikkhu yang lebih muda dengan memanggil namanya, nama keluarganya atau dengan Avuso (sahabat); sedangkan seorang bhikkhu yunior harus memanggil seorang bhikkhu yang lebih senior dengan “Bhante” atau “Ayasma”.
Apabila dikehendaki, Ananda, setelah Aku sudah tidak ada lagi, Sangha dapat menghapus aturan-aturan yang kurang penting (minor rules).”
Ananda, bila Sang Tathagata sudah tidak ada lagi, Sangha harus melaksanakan hukuman berat (brahmadanda) terhadap Bhikkhu Channa.”
Tetapi, Bhante, apakah yang dimaksud dengan hukuman berat itu?”
Ananda, Bhikkhu Channa boleh mengatakan apa saja yang ia suka, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain tidak boleh bicara dengannya, tidak boleh menasehatinya dan tidak boleh memberi petunjuk kepadanya.”
“Kemudian Sang Bhagava bertanya kepada para bhikkhu, ‘Oh, Bhikkhu, mungkin ada di antara kalian yang masih ragu-ragu atau bimbang terhadap Sang Buddha, Dhamma dan Sangha, terhadap Sang Jalan dan terhadap pelaksanaannya. Engkau boleh mengajukan pertanyaan, oh Bhikkhu. Janganlah di kemudian hari engkau menyesal dengan mempunyai pikiran, ‘Sang Guru ketika itu terasa di tengah-tengah kami, berhadap-hadapan muka dengan kami, meskipun berhadap-hadapan muka, kami lalai untuk bertanya kepada Beliau.’’”
Meskipun ditanya demikian, namun para bhikkhu diam saja. Untuk kedua kali dan untuk ketiga kali para bhikkhu ditanya, para bhikkhu diam saja. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada mereka, “Mungkin karena ingin menghormat kepada Sang Guru, engkau tidak mau mengajukan pertanyaan apa-apa. Baiklah kalian berunding dulu dan kemudian baru mengajukan pertanyaan.” Namun para bhikkhu tetap membisu.
Kemudian Ananda berkata kepada Sang Bhagava, “Sungguh mengherankan, Bhante, sungguh luar biasa! Saya mempunyai keyakinan bahwa di antara para bhikkhu yang hadir di sini, tak ada seorang pun yang masih ragu-ragu atau bimbang terhadap Sang Buddha, Dhamma dan Sangha, terhadap Sang Jalan atau terhadap pelaksanaannya!”
Karena engkau mempunyai keyakinan, Ananda, sehingga engkau berbicara seperti itu. Namun di sini dapat Aku terangkan, Ananda, bahwa Sang Tathagata memang tahu dengan pasti bahwa tidak ada seorang pun yang merasa ragu-ragu atau bimbang terhadap Sang Buddha, Dhamma dan Sangha, terhadap Sang Jalan dan terhadap pelaksanaannya. Karena, Ananda, di antara lima ratus bhikkhu yang hadir di sini, yang terendah sudah memperoleh tingkat kesucian Sotapanna, sehingga mereka sudah terbebas dan tak dapat jatuh lagi ke alam-alam sengsara, dan terjamin dalam perjalanannya menuju Pembebasan Terakhir.”
Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu, “Karena itu, oh Bhikkhu, dengarlah baik-baik nasehat-Ku, ‘Segala sesuatu yang terdiri dari paduan unsur-unsur dikodratkan akan hancur kembali. Karena itu berjuanglah dengan sungguh-sungguh (Handa ‘dani bhikkhave amantayamive : Vayadhamma sankhara, appamadena sampadetha)!” ini adalah ucapan terakhir dari Sang Tathagata.

Rabu, 08 April 2015

sejarah bak zhang



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8yhekgvHxETI5uiNsjg8oqLtcQWvOdjfCKrZF2K-KhJHfj0589WCn_xRRCs1tkY_qDqFLz4Ic_oaceJPZcdcmIntFlujiTUPp3UYfni25dgjBAaMpcalcxRxIb9csYnSFDks-D_Vb_gk/s320/bacang.jpg
Ba Tzang (chinese rice dumplings) atau dalam dialek mandarin disebut zongzi adalah makanan tradisional dari Tiongkok, terbuat dari beras ketan dengan aneka variasi isian, dibungkus dengan daun bambu lalu dikukus hingga matang.
Dalam istilah cantonese makanan ini disebut joong, sedangkan dalam dialek Minnan, makanan ini disebut tzang. Karena seringkali berisi olahan daging babi, maka makanan ini lebih dikenal dengan istilah ba tzang.

Awal Mula Zongzi


Zongzi biasanya dihidangkan pada tradisi perayaan Duanwu (Festival Perahu Naga / Dragon Boat Festival) yang jatuh pada tanggal lima bulan ke lima Imlek untuk memperingati wafatnya Qu Yuan, seorang penyair dari jaman kerajaan Chu (sekarang berada di propinsi Hubei) yang hidup pada masa perang saudara. Dikenal dengan jiwa patriotismenya, Qu Yuan mencoba tanpa hasil memperingatkan kaisar dan para pejabat bahaya ekspansi dari kerajaan Qin yang masih bertetangga.

Ketika jenderal kerajaan Qin bernama Bai Qi akhirnya berhasil menguasai Yingdu, ibukota kerajaan Chu pada tahun 278 SM, Qu Yuan melompat kedalam sungai Miluo setelah menuliskan puisi Äi Yǐng (Lament of Ying – berisi ungkapan rasa cemas dan khawatir Qu Yuan menghadapi peperangan ditanah airnya yang sudah ada didepan mata. Puisinya mengekspresikan perhatian dan kekhawatiran yang mendalam akan masa depan tanah airnya, rasa kasihan terhadap masyarakat dan rasa geramnya terhadap para pemimpin negeri yang hanya memikirkan diri sendiri dan membiarkan tragedi tersebut terjadi).

Menurut legenda, orang – orang yang mencoba menyelamatkannya melemparkan bungkusan nasi kedalam sungai untuk memberi makan ikan agar tidak memangsa tubuh sang penyair.

Memasak Zongzi

Zongzi biasanya berbentuk tetrahedral atau silindris. Seni membungkus zongzi benar – benar berupa ketrampilan tersendiri yang diajarkan turun temurun dalam keluarga, demikian pula resepnya. Kegiatan membuat zongzi dulunya adalah kegiatan bersama seluruh keluarga, tapi sekarang sudah semakin jarang.

Zongzi biasanya dibungkus dengan daun bambu, namun jika tidak tersedia, seringkali daun teratai, pisang, kelapa atau daun lainnya dapat juga digunakan sebagai pengganti. Masing – masing daun tersebut memberikan aroma khas pada masakan ini.

Bahan isiannya beraneka ragam tergantung daerah masing – masing, namun beras yang digunakan biasanya adalah beras ketan. Isiannya bisa berupa pasta manis yang terbuat dari aneka kacang – kacangan, atau bisa juga berupa masakan daging babi merah, sosis, jamur shiitake, telor asin, udang atau biji kenari. Beberapa jenis zongzi dibuat tanpa isian sama sekali dan dihidangkan dengan sirup atau gula.

Untuk memasaknya, zongzi harus dikukus selama beberapa jam lamanya tergantung bagaimana beras dan bahan isian yang dipakai dipersiapkan sebelumnya. Setelah matang, zongzi juga dapat disimpan lama dalam lemari pendingin untuk dihidangkan sewaktu – waktu. Karena proses memasak yang sangat lama, seringkali zongzi gagal dibuat karena tergesa – gesa diangkat dari kukusan. Ada kepercayaan lama yang mengatakan bahwa zongzi akan gagal dimasak apabila ada wanita hamil memasuki dapur pada saat zongzi sedang dikukus !

Sumber Tulisan :

1. http://community.siutao.com/showthread.php/2570-Ba-Tzang
2. Cerita turum temurun masyarakat Tionghoa Indonesia
Label: Adat Istiadat, Perayaan dalam Penanggalan China, Simbol dan Makna

sejarah dewa dapur



Ritual perayaan Tahun Baru Imlek bagi masyarakat tionghoa terdiri dari empat kegiatan utama, diawali oleh ritual menghantar Dewa Dapur naik kelangit seminggu sebelum tahun baru. Beberapa hari sebelum tahun baru, dewa dapur akan pergi ke langit untuk melaporkan catatan kehidupan orang-orang di bumi, apakah mereka berbuat baik atau tidak.

“Ditanggal 24 bulan ke-12 Dewa dapur akan naik ke surga membawa laporan-Nya. Berkendaraan awan yang ditiup oleh angin, Ia menikmati makanan dan minuman yang berlimpah, ikan segar dan kepala babi yang dimasak dengan baik…..
Jangan menybutkan hal-hal yang tidak baik dalam laporan-Mu, dan bawalah keberkahan dan keberuntungan saat Engkau kembali”


Demikian penggalan sebuah puisi mengenai persembahan/persembahyangan bagi Dewa Dapur yang ditulis oleh seorang sastrawan dari dinasti Song.

Bagi masyarakat Tionghoa, sembahyang dilakukan pada tanggal 24 dibulan ke-12 untuk menghantarkan Toa Pek Kong naik ke langit dan pada tanggal 3 di bulan-1 kembali diadakan persembahyangan untuk menyambut Toa Pek Kong yang turun dari langit.

Yang dimaksud dengan Toa Pek Kong adalah Dewa Dapur, yang kita kenal denga Zau Jun Ye/Zao Jun Gong (Mandarin) atau Ciau Kun Ye/Ciao Kun Kong (Hokkian).

Diyakini bahwa Ciao Kun Kong akan naik dengan membawa laporan perilaku keluarga berikut anggota keluarga, baik buruknya, kehadapan Giok Hong Siang Te. Bila berkelakuan tidak baik, maka tiada berkah namun hukuman yang diterima.sementara bila berkelakuan baik, maka berkah kebahagiaan melimpah ditahun yang baru yang akan dibawa serta saat Dewa Dapur kembali.

Dewa Dapur sangat dipuja sebagai pelindung rmah tangga dan dewa pemberi berkah bagi keluarga. Disebutkan bahwa pemujaan sudah ada sejak Zaman Dinasti Zhou sekitar 2000 tahun yang lalu. Pemujaan dilakukn hampir disetiap rumah, sehingga tidak dibangun di klenteng. Ataupun kalau ada, maka diletakkan juga paa daerah dapur. Karena itu, untuk simbolisasi keberadaan lebih umum berupa Gambar daripada Patung/Arca.

Persembahan yang dilakukan dalam persembahyangan pun berbeda dan berkembang. Semisal di zaman Dinasti T’ang ada yang menyebutkan arak sebagai persembahan. Namun ada pula yang menyebutkan hanya menggunakan The dan 3 batang Hio.

Didalam puisi diatas, biasa terlihat dengan menggunakan persembahan berupa makanan, minuman dan uang kertas. Gula ataupun makanan manis yang dikatakan untuk “menyogok” Dewa Dapur agar hanya akan mengatakan hal yang baik-baik baru mulai menjadi persembahan di Zaman Dinasti Ching.

Selain persembahan, di persembahyangan Toa Pek Kong naik ke langit, gambar Dewa Dapur akan diletakkan ditengah altar, dengan diapit kertas merah yang bersyair. Kurang lebih dapat diartikan dengan :

“Paduka Zao Jun yang mulia, Sebutlah kebaikan kami dilangit,
Bawalah berkah bagi kami apabila Anda turun kembali”


Setelah persembahyangan ini, membersihkan altar ataupun persembahyangan lain dilakukan.

Bagaimana asal mula kepercayaan Dewa Dapur?

Banyak sekali versi yang ada. Namun jarang selalu yang langsung terkait dengan dapur. Namun lebih pada makanan ataupun kesetiaan dalam keluarga. Sebagai contoh kisah sepasang suami istri yang kelaparan dan akhirnya dengan berat hati melepaskan istrinya untuk menjadi istri muda seorang hartawan. Saat ada pembagian makanan oleh si hartawan tersebut, Zhang sang suami, berada dalam urutan terakhir sehingga tidak kebagian makanan. Ketika keesokan harinya sang istri memulai pembagian makanan dan diatur mulai dari belakang, ternyata Zhang berada diurutan paling depan, dan kemudian ketika diatur mulai dari tengah, Zhang sudah tiada karena terlalu lapar.
Istri Zhang kemudian bunuh diri karena rasa setianya, dan oleh Giok Hong Siang Te, keduanya diangkat menjadi Dewa dan Dewi Dapur.

Versi lain menyebutkan bahwa Kaisar Huang Di adalah penemu tungku sehingga kemudian diangkat menjadi Dewa Dapur. Dan masih banyak lagi versi yang ada sehingga siapa sebenarnya Ciao Kun Kong masih menjadi perdebatan ahli sejarah.

Permen untuk Dewa Dapur

Bubur laba dibuat dari beras, kacang-kacangan, buah zao. Buah lonjong berbiji ini lebih besar dari biji rambutan. Kulitnya merah tua dengan daging putihnya yang manis. Dengan yang lain-lain jumlah jenis isi bubur ini mencapai + 10 macam. Tapi, itu bukan harga mati. Bagi keluarga kurang mampu, beras dan buah zao merah saja cukup.

Pada tanggal 23 ada upacara penting karena dipercaya Dewa Dapur akan naik ke surga. Hari itu sang Dewa akan melaporkan semua kejadian selama satu tahun di setiap keluarga kepada Tian. Manusia pun mencari akal agar Tian tidak marah. Caranya, hari itu sang Dewa disuguhi permen yang amat lengket dan manis, namanya guandongtang (baca: kuan tung tang). Setelah makan permen itu, mulut sang Dewa yang terasa manis, diharapkan cuma melaporkan hal yang bagus-bagus.

Menurut versi lain, mulut sang Dewa terkancing akibat makan permen yang amat lengket. Makanya, ia cuma bisa senyam-senyum di depan Thian. Berhubung upacara itu hanya berjarak 1 minggu dengan tahun baru, tanggal 23 disebut xiao nian atau "Tahun Baru Kecil".

Sebagian orang menyebut tanggal 23 yaoming de guandongtang atau "permen guandong peminta nyawa". Usut punya usut, rupanya mereka percaya, sebelum memasuki Imlek semua utang sudah harus lunas. Jelaslah, bagi yang berutang hari sengsara (karena harus membayar utang) pun semakin dekat

Sumber Tulisan :
1. Setiawan dan Kwa Thong Hay, 1990
2. Dewa Dewi Klenteng, Yayasan Klenteng Sam Poo Kong, Wu Luxing, 1995
3. 100 Chinese Gods, Asiapac books
4. Buletin Hikmah Tri Dharma, Edisi 01/XXIX/Januari-Februari 2005
5. Berdasarkan Cerita turun temurun Masyarakat Tionghoa Gorontalo
Langganan: Entri (Atom)

Imlek ( Festival Musim Semi)




https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKOotMzGyesb98Bg0C0iHYLli5N3oF8Gw7F1Ntg8Nljf64-kuyhvAzmGMxR4yjrVIhger0Oa4m1NMkcmNtduxMg9eo9e2UJmeLp_dy8GLpnNvcFlHu1PDGijx2oQfpOlgT3rvWedAbkr0/s320/m_imlek.jpg
Bagi kebanyakan orang Tionghoa Indonesia, Imlek adalah saat menggunakan warna merah, tanda kebahagiaan, sembahyang dan yang paling menarik adalah menerima angpau.

Hal ini tidak heran, karena bagi para generasi muda, pengertian dari Imlek sendiri sudah memudar.

Kita mengenal berbagai sistem penanggalan. (Gong Li / Yang Li) Kalender Masehi yang menggunakan Sistem Gregorian / Tata Surya / Solar / Matahari, yang dihitung berdasarkan lamanya peredaran bumi mengelilingi matahari selama 365,25 hari. Tahun pertamanya berdasarkan pada tahun kelahiran Nabi Yesus Kristus. Kalender Islam yang menggunakan Sistem Lunar, yang berdasarkan pada masa orbit bulan mengelilingi bumi selama 354 hari, atau selisih 11 hari dibandingkan sistem solar. Tahun pertamanya dihitung sejak Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Medinah.

Sedangkan Yin Li {Hok Kian = Im Lek = Kalender Imlek} merupakan perpaduan kedua sistem Matahari & Bulan sekaligus. Perhitungan hari per-bulannya mengacu pada sistem lunar. Namun selisih 11 hari per tahun disesuaikan dengan sistem matahari melalui Run Yue {Hok Kian = Lun Gwe = mekanisme penyisipan bulan ketiga belas sebanyak 7 (tujuh) kali dalam kurun waktu 19 tahun}. Koreksi atau penyisipan ini membuat jatuhnya awal Tahun Baru Imlek selalu berada dalam rentang waktu antara 21 Januari – 19 Februari, tidak bergeser maju ataupun mundur.
Melalui mekanisme Lun Gwe ini, maka pada tahun-tahun tertentu, Kalender Imlek kadang memiliki bulan ganda. Misal tahun 2009 ada Lun Go Gwe (2x bulan Lima). Dengan adanya penyesuaian ini maka Kalender Imlek lebih tepat disebut Kalender Yin Yang Li {Im Yang Lek / Sistem Lunisolar}.

Selain itu penanggalan Imlek masih dilengkapi beberapa unsur yang mempengaruhi, yaitu : 5 unsur, 12 Shio, 24 Jie Qi (pembagian 24 musim yang amat erat hubungannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada alam, yang terbukti amat berguna bagi pertanian dalam menentukan saat tanam maupun saat panen), 60 Hua Jia (60 konsep penggabungan Tian Gan & Di Zi). Walaupun demikian, semua perhitungan ini dapat terangkum dengan baik menjadi satu sistem “Penanggalan Tionghoa” yang Lengkap & Harmonis, bahkan hampir bisa dikatakan Sempurna karena sudah mencakup “Koreksi” -nya juga, sebagai contoh adalah Lun Gwe.

Penanggalan Tionghoa telah ada sejak zaman Kaisar Huang Di [2.696 – 2.598 SM]. Tapi baru digunakan secara resmi oleh Dinasti Xia [2.205 – 1.766 SM], yaitu 4.213 tahun yang lalu

Pada tanggal 14 Februari 2010 ini kita merayakan Tahun Baru Imlek yang ke 2561. Lalu dari mana angka 2.561 ini? Ini dihitung dari kelahiran Nabi Kong Zi {Hok Kian = Khong Cu} atau Confusius yang lahir pada tahun 551 SM.

Jadi tahun 2010 ini berarti tahun 551 + 2010 = 2561 Imlek. Karena awal tahunnya dimulai dari awal kelahiran Nabi Kong Zi, maka kalender Imlek disebut juga Khong Cu Lek. Namun bukan berarti usia Kalender Imlek sama dengan usia Kong Hu Cu. Pada kenyataannya, Penanggalan Imlek telah digunakan jauh sebelumnya, tepatnya sejak zaman Kaisar Huang Di, yaitu pada tahun 2.696 SM. Dengan demikian Kalender Imlek telah berusia 4.704 tahun.

Banyak dan sering sekali timbul pertanyaan, mengapa tahun pertama penanggalan Imlek dihitung sejak kelahiran Nabi Kong Zi ?

Sejarahnya amat panjang. Kalender Imlek secara resmi digunakan oleh Dinasti Xia [2.205 – 1.766 SM]. Dinasti Xia hanya berkuasa sampai 1.766 SM, dan kemudian digantikan oleh Dinasti Shang [1.766 – 1.122 SM].

Pada masa Dinasti Shang, kalender Imlek yang kita kenal sekarang, dimodifikasi dengan dimajukan penentuan awal tahun barunya sekitar satu bulan. Akibatnya awal tahun baru yang semula jatuh di awal musim semi, bergeser ke musim dingin. Demikian pula dengan perhitungan awal tahunnya, dihitung sejak dinasti Shang berkuasa.

Ketika dinasti Shang digantikan dengan dinasti Zhou [1.122 – 255 SM], perhitungan awal tahun barunya dimajukan lagi, bertepatan dengan Dong Zi, puncak musim dingin sekitar 22 Desember, tepat ketika matahari berada di 23,5o Lintang Selatan. Perhitungan awal tahunnya dimulai sejak berdirinya Dinasti Zhou.

Nabi Kong Zi, Confusius [551 – 479 SM] hidup pada masa dinasti Zhou. Kong Zi pernah mengingatkan bahwa sebuah sistem penanggalan seharusnya dibuat dengan mempertimbangkan kepentingan orang banyak. Kalender yang baik harus bisa dijadikan Pedoman bagi rakyat yang menggunakannya.

Sementara Kalender Dinasti Zhou yang digunakan semasa Kong Zi hidup, dirasakan amat tidak cocok untuk digunakan sebagai panduan bagi rakyat yang mayoritas hidup dari sektor pertanian, karena penentuan awal tahun barunya bertepatan dengan musim dingin. Bila tahun baru jatuh di musim dingin, sulit dijadikan pedoman bagi rakyat untuk mulai kerja baru.

Atas dasar pemikiran ini, Kong Zi menyarankan kepada Kaisar Zhou agar kembali menggunakan Kalender Dinasti Xia, di mana awal tahun baru bertepatan dengan awal musim semi, sehingga dapat dijadikan pedoman bagi rakyat yang mayoritas petani untuk mulai kerja baru. Namun usulan Kong Zi ini tidak ditanggapi penguasa Zhou pada waktu itu.

Ketika dinasti Zhou digantikan oleh dinasti
Qin [255 SM – 202 SM], nasehat Kong Zi pun tetap diabaikan. Kaisar waktu itu tetap mengikuti tradisi sebelumnya, berupaya memperkuat legitimasi kekuasaan dengan berbagai cara, di antaranya dengan membuat kalender baru. Soal apakah kalender tersebut cocok atau tidak dengan kebutuhan rakyatnya, kurang diperhatikan.
Jadi ketika dinasti Shang diganti dengan dinasti Zhou, dan kemudian diganti dengan dinasti Qin, sistem penanggalan yang digunakan juga terus digonta-ganti, sesuai keinginan sang penguasa.

Dinasti Qin tidak berumur panjang, digantikan oleh Dinasti Han [202 SM – 206 M] yang didirikan oleh Lu Bang. Kaisar pertama ini tidak sempat memikirkan penggantian kalender. Baru pada saat
漢武帝 Han Wu Di [140 SM – 86 SM] berkuasa, ia menuruti fatwa Nabi Kong Zi & mengumumkan berlakunya kembali Kalender Xia. Sebagai penghormatan kepada Nabi Kong Zi, penentuan perhitungan awal tahun Kalender Xia (penetapan tahun ke-1 Kalender Imlek), dihitung sejak tahun kelahiran Nabi Kong Zi, 551 SM.

Kebijakan Han Wu Di ini ternyata lebih abadi, terbukti kaisar sesudahnya, baik dari Dinasti Han maupun dinasti sesudahnya, tetap menggunakan Kalender Xia. Jadi walaupun kaisar berganti kaisar, dinasti berganti dinasti, tidak terjadi lagi pergantian penanggalan. Semuanya menggunakan kalender peninggalan Dinasti Xia, dengan awal tahun yang mengacu pada tahun kelahiran Nabi Kong Zi. Tidak sampai di situ saja, pada masa Dinasti Han, agama Khong Hu Cu pun kemudian ditetapkan sebagai agama negara, bahkan sampai Dinasti Qing. Ajaran Nabi Kong Zi juga menjadi pedoman utama bagi mereka yang ingin meraih gelar pendidikan tinggi.

Penanggalan Imlek cocok digunakan sebagai pedoman masyarakat yang mayoritas hidup dari pertanian, sehingga sering disebut Nong Li (Kalender Petani). Banyak juga yang menyebut Kalender Kong Zi {Khong Cu Lek}, sehingga tahun barunya disebut Tahun Baru Khong Zi. Sebutan ini lazim digunakan di kalangan umat agama Khong Hu Cu di Indonesia, maupun di beberapa negara yang masyarakatnya banyak menganut agama Khong Hu Cu.

Walaupun demikian, Perayaan Tahun Baru Imlek bukan hanya perayaan umat Khong Hu Cu saja. Pada kenyataannya, Perayaan Tahun Baru Imlek terutama diperingati juga oleh penganut agama Buddha & Taoisme, dan juga orang Tionghoa di seluruh dunia. Selain itu, pada Cia Gwe Ce It (tanggal 1 bulan 1 Imlek) ini umat Buddha juga memperingati hari lahirnya Mi Le Gu Fo {Bi Lek Ko Hud = Buddha Maitreya}.
Hari itu juga adalah perayaan untuk menyambut musim semi yang baru di Cina dan merupakan awal untuk melakukan kembali kegiatan pertanian.

Persiapan perayaan imlek berlangsung beberapa hari sebelum hari H. Dimulai dengan acara membersihkan rumah. Mereka percaya, dewa kekayaan Chai Shen hanya mau mendatangi rumah yang bersih. Saat tahun baru tiba, rumah sudah harus dalam keadaan bersih agar rejeki mengalir lancar. Selama tiga hari, terhitung dari tahun baru dan dua hari sesudahnya, ada larangan memegang sapu, alias menyapu. Dipercaya, dewa kekayaan bersembunyi dibalik debu. Jadi, kalau menyapu dikhawatirkan sang dewa akan ikut terbuang.

Asal-Usul Kegiatan bersih-bersih di tanggal 24 bulan 12 Lunar
(Seminggu sebelum Imlek)

Alkisah, seorang dewa bernama Dewa Tiga Mayat (San Shi Shen) ingin menjadi pahlawan bagi manusia dengan cara licik. Ia menjelek-jelekkan manusia di hadapan Mahadewa Tertinggi ( Yuhuan Dadi). Dalam waktu singkat Mahadewa menerima 99.999 laporan tentang rencana manusia berontak melawannya. Mahadewa marah bukan kepalang, memerintahkan Dewa Tiga Mayat memberi tanda khusus pada dinding rumah si manusia pemberontak, juga menyuruh laba-laba membuat jaring yang amat besar di langit-langit rumah. Saking marah, ia pun menyuruh Dewa Pencabut Nyawa ( Lingshenggong) turun ke bumi di malam tahun baru untuk membunuh orang yang rumahnya sudah ditandai oleh Dewa Tiga Mayat!

Dewa Tiga Mayat, tanpa buang waktu, cepat-cepat terbang ke bumi menuju rumah yang sudah ditandainya guna "menyelamatkan manusia". Dengan demikian, dia akan dipandang manusia sebagai dewa terbaik. Tak disangka, pimpinan dewa dapur mengetahui rencana busuknya. Si Pimpinan cepat-cepat pergi ke Dewa Dapur di setiap rumah mencari akal bagaimana menghalangi niat busuk Dewa Tiga Mayat. Akhirnya mereka sepakat menghapus bersih semua tanda yang dibuat Dewa Tiga Mayat.

Kagetlah ketika Dewa Pencabut Nyawa tiba di bumi, ia tidak menemukan apa pun di rumah manusia. Rencananya gagal total. Malah begitu akal liciknya terbongkar, Dewa Tiga Mayat pun dihukum kurungan di langit. Sebaliknya, Dewa Dapur menjadi pahlawan. Itulah asal-usul ada hari khusus membersihkan rumah sebelum Tahun Baru.

Sumber Tulisan :
1. Sejarah Panjang Tahun Baru Imlek, Kim Tek Ie
2. http://jindeyuan.org/sejarah-panjang-tahun-baru-imlek/index.htm
3. Walter, Derek. The Complete Guide to Chinese Astrology: The Most Comprehensive
Study of the Subject Ever Published in the English Language, Watkin Publishing,
London, 2002
4. Berdasarkan penuturan turun temurun masyarakat Tionghoa Gorontalo

sejarah pai ti kong



Beribu tahun sebelum Masehi, masyarakat tionghoa sudah mengenal adanya Tuhan. Kaisar Kuning (Oey Tee / Huang Ti) pada tahun 4697SM mengajarkan kepada rakyatnya nilai - nilai budaya yang tinggi, diantaranya adalah bersembahyang kepada Tuhan, menghormati Roh Suci dan memuliakan para leluhur. Masyarakat kuno yang sederhana dengan taat menjalankannya. Ritual ini disempurnakan oleh Pangeran Zhougong dan para nabi berikutnya.

Setiap tanggal 9 bulan 1 Imlek orang Tionghoa terutama orang Hok Kian, melakukan upacara sembahyang Jing Tian Gong {Hok Kian = King Thi Kong}, yang berarti sembahyang kepada Tuhan YME. Di kalangan orang Tionghoa di Indonesia, sembahyang ini dikenal dengan sebutan Sembahyang Tuhan Allah yang dilakukan dengan penuh kekhidmatan. Upacara sembahyang ini termasuk salah satu rangkaian upacara pada pesta menyambut Tahun Baru Imlek / Musim Semi yang berlangsung selama 15 hari; dari tanggal 1 s/d 15 bulan 1 penanggalan Imlek.

Di Propinsi Fu Jian {Hok Kian} & Taiwan muncul istilah yang sangat populer, yaitu Chu Jiu Tian Gong Sheng , yang berarti bahwa pada Cia Gwe Cwe Kao (Tanggal 9 bulan pertama Imlek) adalah Hari Ulang Tahun Thi Kong. Sehingga masyarakat di propinsi Hok Kian & Taiwan mengadakan sembahyang khusus untuk menghormati Thi Kong (Tuhan YME). Upacara King Thi Kong ini juga telah menyebar di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Upacara King Thi Kong dapat diselenggarakan secara sederhana atau lengkap, yang terpenting adalah ketulusan dan kesuciannya, bukan kemewahannya. Biasanya yang menjalankan ritual King Thi Kong adalah orang yang sudah berpantang makanan berjiwa atau vegetarian sejak beberapa hari sebelumnya. Dalam ritual ini, segala perlengkapan harus khusus atau tidak pernah dipergunakan untuk keperluan lainnya, bersih lahir dan batin.

Penduduk yang miskin cukup menempatkan sebuah Hiolo (pedupaan = tempat menancapkan dupa) kecil yang digantungkan di depan pintu rumahnya dan menyalakan hio (dupa) dari pagi sampai tengah malam secara kontinue.

Bagi orang berada, acara sembahyang ini merupakan hal yang paling megah & khidmat. Sebuah meja besar dengan keempat kakinya diletakkan di atas 2 buah bangku panjang. Lalu di atas meja tersebut diatur 3 buah Shen Wei(Tempat Dewa) yang terbuat dari kertas warna-warni yang saling dilekatkan. Kemudian di depan Shen Wei dijajarkan 3 buah cawan kecil yang berisi teh, & 3 buah mangkuk yang berisi misoa yang diikat dengan kertas merah. Setelah itu Wu Guo Liu Cai {Hok Kian = Go Ko Lak Chai} diatur di bagian depan. Wu Guo Liu Cai berarti 5 macam buah-buahan & 6 macam masakan vegetarian, ini menjadi dasar utama dalam penataan barang sajian upacara sembahyang orang Tionghoa. Di bagian paling depan (sebelah kiri & kanan) dipasang lilin 1 pasang (= 2 batang).

Sehari sebelum upacara sembahyang (Cia Gwe Cwe Pe = Tanggal 8 bulan 1 Imlek) dimulai, seluruh penghuni rumah melakukan mandi keramas & ganti baju. Sembahyang dilakukan tepat pukul 12 tengah malam, dimulai dengan anggota keluarga yang paling tua dalam urutan generasinya. Semua melakukan San Gui Jiu Kou {Hok Kian = Sam Kwi Kiu Kho} yaitu 3 X berlutut & 9 X menyentuhkan kepala ke tanah. Setelah selesai baru kemudian kertas emas yang dibuat khusus lalu dibakar bersama dengan Shen Wei yang terbuat dari kertas warna-warni. Kemudian dinyalakan petasan untuk mengantar kepergian para malaikat pengiring. Upacara sembahyang King Thi Kong ini di kalangan Hoa Qiao Indonesia dikenal dengan sebutan “Sembahyang Tuhan Allah”.

Ritual di Indonesia, umumnya dilaksanakan dengan mendirikan meja tinggi didepan pintu menghadap langit, bersembahyang mengucap syukur kepada Yang Kuasa, berjanji untuk hidup lebih baik terhadap sesama dan memenuh kewajiban sebagai mahluk ciptaanNya. Dipilih tanggal 9 bulan 1 adalah karena angka 1 berarti esa dan angka 9 adalah yang tertinggi.

Altar Langit (Tian Tan)

Altar ini terletak di timur laut kota Beijing, membujur dari utara ke selatan, merupakan tempat kaisar - kaisar dari Dinasti Ming (1389 - 1644) dan Qing (1644 - 1912) melakukan ritual King Thi Kong. Altar tersebut didirikan pada tahun 1420 diatas tanah seluas 273 hektar. Kompleks Altar Langit dikelilingi taman luas, berbentuk lingkaran bersusun tiga seperti kue tart sehingga dinamakan juga Altar Bukit Bundar, tidak beratap dan tiap lingkaran dihubungkan dengan tangga yang batuannya terdiri dari 9 tangga. Semuanya terbuat dari batu granit putih dan diempat penjuru terdapat tiga gerbang yang indah. Orang - orang menyebutnya Kuil Surgawi, terbuat dari batu granit putih dengan genting berlapis warna biru, biru langit dan putih awan seperti warna - warna yang ada di langit.

Kaisar bersembahyang ditempat tersebut diiringi oleh sekitar 3000 peserta upacara, membawa semua atribut kerajaan dengan naik tandu diiringi kereta kuda, gajah dan sebagainya dalam formasi yang harmonis, berangkat dari Istana Terlarang (Forbidden Palace). Tepat ditengah malam ritual dimulai hanya dengan diterangi cahaya obor, bulan dan bintang. Doa - doa dilantunkan hingga menjelang fajar.

Altar Langit atau Tian Tan biarpun sudah berusia berabad - abad, hingga sekarang masih terawat dengan sangat baik. Jika anda berkesempatan mengunjungi Beijing, jangan lupa untuk menikmati keindahan dan keagungannya.

Versi Lain

Tidak jelas kapan masyarakat propinsi Hok Kian & Taiwan memulai King Thi Kong ini. Sebuah sumber mengatakan bahwa King Thi Kong baru mulai diadakan pada masa awal Dinasti Qing [1644 - 1911].

Seperti diketahui bahwa Hok Kian merupakan basis terakhir perlawanan sisa-sisa pasukan yang masih setia kepada Dinasti Ming [1368 – 1644]. Pada waktu pasukan Qing (Man Zhu) memasuki Hok Kian, mereka berhadapan dengan perlawanan gigih dari rakyat setempat & sisa-sisa pasukan Ming. Setelah perlawanan ditaklukkan dengan penuh kekejaman, akhirnya seluruh propinsi Hok Kian dapat dikuasai oleh pihak Qing.

Selama terjadinya peperangan & kekacauan ini, banyak rakyat yang bersembunyi di dalam perkebunan tebu yang banyak tumbuh di sana. Di dalam rumpun tebu itulah mereka melewati malam & hari Tahun Baru Imlek. Setelah keadaan aman, pada Cia Gwe Cwe Kaw (Tanggal 9 bulan 1 Imlek) pagi mereka berbondong-bondong keluar & kembali ke rumah masing-masing. Untuk menyatakan rasa syukur karena terhindar dari bencana maut akibat perang, mereka lalu mengadakan upacara sembahyang King Thi Kong pada tanggal 9 bulan 1 Imlek ini sebagai ucapan rasa terima kasih kepada Thi Kong atas lindungan-Nya. Oleh karena ini, maka sebagian besar orang Hok Kian mengatakan bahwa Cia Gwe Cwe Kaw adalah Tahun Baru-nya orang Hok Kian, sedikitpun tidak salah.

Selain upacara King Thi Kong, pada tanggal 9 bulan 1 Imlek ini bertepatan pula dengan Hari Kelahiran Maha Dewa Yu Huang Shang Di {Hok Kian = Giok Hong Siong Tee = Maha Dewa Kumala Raja}, yaitu Dewata Tertinggi yang melaksanakan pemerintahan alam semesta dan dibantu oleh para dewata lain.
Karena 2 hal yang bertepatan inilah maka orang Tionghoa menganggap Giok Hong Siong Tee sebagai penitisan dari Tian (Tuhan YME).
Cap It Gwe Cwe Lak (tanggal 6 bulan 11 Imlek) adalah Hari Giok Hong Siong Tee mencapai kesempurnaan.

Dari cerita di atas, jelaslah bahwa orang Tionghoa percaya kepada Tuhan YME (God the Almighty) yang disebutkan sebagai Tian atau Tian Gong {Thi Kong}, hanya saja konsepsinya berbeda dengan agama lain. Bagi umat Tionghoa, Tuhan memiliki pembantu-pembantu yang terdiri dari berbagai dewa yang mempunyai jabatan & wilayah tertentu, & berkewajiban melakukan pengawasan terhadap perbuatan manusia dalam lingkungan kekuasaan & wilayah masing-masing.

Sumber Tulisan :
1. http://www.gangbaru.com/
2. http://jindeyuan.org/asal-mula-king-thi-kong/index.htm
Label: Kepercayaan, Perayaan dalam Penanggalan China