Apakah esensi Ajaran Buddha?
Singkat
kata, esensi ajaran Buddha adalah berusaha untuk tidak menyakiti dan
sebanyak mungkin memberikan pertolongan kepada orang lain. Atau,
Tidak berbuat jahat;
Berusahalah melakukan kebajikan;
Sucikan pikiran;
Inilah ajaran para Buddha.
Dengan
tidak berbuat jahat (membunuh, dan sebagainya) dan melenyapkan
pikiran-pikiran yang merusak (kebencian, kemelekatan, kepicikan dan
sebagainya), kita telah berhenti merusak diri sendiri dan orang lain.
Dengan menumbuhkan kebajikan luhur, kita mengembangkan sikap-sikap yang
membangun, seperti cinta dan belas kasih universal, dan bertindak
berdasarkan pikiran-pikiran bajik itu. Dengan menyucikan pikiran, kita
membuang semua pandangan salah, sehingga menjadi tenang dan damai dengan
menyadari kesunyataan.
Esensi Ajaran Buddha juga tercakup dalam tiga
kaidah dari Jalan: pelepasan yang pasti, hati yang mengabdi, dan
kebijaksanaan dalam menyadari kekosongan (sunyata). Pada awalnya, kita
berusaha untuk keluar dari kemelut masalah-masalah kita dan
sebab-sebabnya. Lalu, kita melihat orang lain juga mempunyai masalahnya
sendiri, dan dengan cinta kasih dan belas kasih, kita mengabdikan hati
ini untuk menjadi seorang Buddha, agar kita dapat benar-benar menolong
yang lain. Untuk melakukan hal ini, kita mengembangkan kebijaksanaan
dengan menyadari hakikat sebenarnya dari diri kita dan fenomena lainnya.
Apa itu Tiga Permata? Apa artinya berlindung kepada Tiga Permata?
Tiga
permata adalah Buddha, Dharma, dan Sangha. Buddha adalah Ia yang telah
sempurna menyucikan pikiran-Nya dari semua noda - nafsu yang membawa
penderitaan, dan ucapan-perbuatan yang lahir dari nafsu itu beserta
karat-karatnya; Ia yang telah mengembangkan semua nilai kebajikan,
seperti cinta kasih dan belas kasih universal, kebijaksanaan tentang
keberadaan, dan metoda mengajar yang jitu.
Dharma berisikan
aturan-aturan yang menjauhkan kita dari semua masalah dan penderitaan.
Dharma mencakup Ajaran Buddha, serta praktek atau jalan menuju lenyapnya
masalah dan penderitaan itu. Sangha adalah para suci yang memiliki
persepsi non-konseptual tentang kekosongan (sunyata) atau kebenaran
tertinggi. Kadang-kadang, Sangha juga mengacu kepada mereka yang
mengabdikan seluruh hidupnya untuk mempraktekkan Ajaran Buddha. Dharma
adalah perlindungan kita yang sebenarnya, obat yang akan menyembuhkan
penyakit kita, tuntas sampai ke akar-akarnya. Seperti seorang dokter
ahli, Sang Buddha dengan tepat memberikan diagnosis, apa penyakit kita,
sebab-sebabnya, serta memberikan obat yang tepat. Sedangkan Sangha, yang
membimbing kita dalam latihan, mirip perawat yang membantu kita menelan
obat itu.
Berlindung kepada Tiga Permata berarti kita yakin
dengan sepenuh hati pada Tiga Permata sebagai pembawa inspirasi dan
penuntun hidup kita ke arah yang benar dan konstruksif. Berlindung tidak
berarti secara pasif bersembunyi di balik Buddha, Dharma, dan Sangha.
Sebaliknya, ialah suatu proses yang aktif dalam mengambil arah
(menjalani) petunjuk mereka, serta meningkatkan kualitas hidup kita.
Mengapa begitu banyak tradisi dalam agama Buddha?
Sang
Buddha membabarkan ajaran-Nya dengan banyak cara karena makhluk hidup
(semua makhluk yang memiliki kesadaran tetapi belum menjadi Buddha,
termasuk juga yang berada di alam-alam kehidupan lain) mempunyai watak,
kebiasaan, dan minat yang berbeda-beda. Beliau tidak pernah mengharapkan
kita semua cocok dengan satu bentuk sehingga ajaran-Nya pun di berikan
dalam banyak cara dan dalam beragam cara melatih diri - dengan demikian
tiap orang bisa menemukan sesuatu yang sesuai dengan tingkat kesadaran
dan kepribadiannya. Dengan keahlian dan belas-kasih-Nya dalam menuntun
yang lain, Sang Buddha memutar roda Dharma sebanyak tiga kali - setiap
kali selalu dengan sedikit perubahan sistem filosofi. Tetapi esensi dari
semua ajaran itu sama: tekad yang teguh untuk keluar dari lingkaran
penderitaan yang berulang-ulang (samsara), belas-kasih kepada makhluk
lain, dan kebijaksanaan ketanpa-akuan.
Tidak semua orang menyukai
menu yang sama. Jika sebuah jamuan besar terhampar di depan kita, kita
akan memlih makanan yang kita senangi. Tidak ada keharusan untuk
menyukai semuanya. Akan tetapi, meski kita lebih menyukai makanan yang
manis-manis, tidak berarti bahwa yang asin tidak baik dan mesti di
buang! Demikian juga halnya, kita bisa saja memilih suatu pendekatan
khusus dari Ajaran: apakah itu Theravada, Tanah Suci (Sukhavati), Zen,
Vajrayana, dan sebagainya. Kita memiliki kebebasan untuk memilih
pendekatan yang paling sesuai, yang dengannya kita merasa paling nyaman.
Pun begitu, kita harus tetap mempertahankan pikiran yang terbuka dan
menghormati tradisi yang lain. Seiring dengan berkembangnya batin, kita
bisa mengerti unsur-unsur dalam tradisi yang lain yang gagal kita pahami
pada awalnya.
Singkatnya, apa saja yang berguna dan bermanfaat
bagi kita untuk hidup lebih baik, kita praktekkan, dan kita kesampingkan
segala yang belum kita mengerti, tanpa perlu menolaknya. Sementara itu,
jangan menempelkan identitas padanya dengan cara-cara yang konkret,
seperti: "Saya seorang Mahayanis, engkau seorang Theravadin," atau "Saya
seorang Buddhis, engkau seorang kr****n." Adalah penting untuk di ingat
di sini bahwa kita semua adalah makhluk hidup yang mencari kebahagiaan
dan ingin menyelami Kebenaran, yang masing-masing menemukan satu metoda
yang sesuai.
Bagaimanapun, mempertahankan pikiran yang terbuka
terhadap pendekatan yang berbeda tidak berarti mencampur-adukkan
semuanya dengan acak, dan membuat latihan kita seperti cap-cai. Jangan
mencampur teknik-teknik meditasi dari tradisi yang berbeda dalam satu
latihan meditasi. Dalam satu masa latihan, lebih baik mempraktekkan satu
cara saja. Jika kita mengambil sedikit dari teknik ini dan secuil dari
teknik itu, tanpa benar-benar mengerti satu teknik pun, hasilnya
barangkali hanya kebingungan!
Meskipun ajaran dari suatu tradisi
bisa memperkaya pengertian dan latihan dari teknik yang lain, di
nasihatkan untuk mempraktekkan hanya satu metoda dalam latihan
sehari-hari. Jika kita melakukan meditasi pernafasan hari ini,
melafalkan Buddha keesokan harinya, meditasi analitis pada hari ketiga,
maka kita tidak akan memperoleh kemajuan dalam satu metoda pun karena
tidak adanya kontinuitas dalam latihan tersebut.
Apa saja tradisi Buddhis yang beragam itu?
Secara
garis besar, terdapat dua pembagian: Theravada dan Mahayana. Silsilah
Theravada (Tradisi Sesepuh), yang berlandaskan pada sutra-sutra
berbahasa Pali, tersebar dari India ke Srilanka, Thailand, Myanmar, dan
lain-lain. Aliran ini menekankan pada meditasi pernafasan untuk
mengembangkan konsentrasi dan meditasi penyadaran tubuh, perasaan,
pikiran, dan fenomena, untuk mengembangkan kebijaksanaan. Tradisi
Mahayana (Kendaraan Agung), berdasarkan pada kitab suci yang di tulis
dalam bahasa Sanserketa - menyebar ke China, Tibet, Jepang, Korea,
Vietnam, dan sebagainya. Walaupun dalam aliran Theravada praktek cinta
kasih dan belas kasih adalah faktor yang fundamental dan penting, dalam
Mahayana cinta kasih dan belas kasih ini di tekankan dengan jangkauan
yang jauh lebih luas.
Dalam Mahayana, terdapat beberapa cabang:
Aliran Tanah Suci yang menonjolkan pelafalan nama "Amithaba" agar bisa
terlahir di Tanah Suci-Nya; Aliran Zen yang memberi tekanan pada
meditasi untuk melenyapkan karat-karat dan konsep dari pikiran;
Vajrayana (Kenderaan Intan) yang menggunakan meditasi dengan bantuan
makhluk-makhluk suci untuk mentranformasikan tubuh dan pikiran kita yang
kotor menjadi tubuh dan pikiran seorang Buddha.
Mengapa ada umat Buddha dari aliran tertentu makan daging sedangkan dari aliran lainnya vegetarian?
Pada
awalnya, mungkin agak membingungkan bahwa kaum Theravada makan daging,
orang Cina Mahayana tidak, dan orang Tibet yang mempraktekkan Vajrayana
juga makan daging. Perbedaan dalam praktek ini tergantung kepada
perbedaan penekanan pada masing-masing aliran. Penekanan pada ajaran
Theravada adalah untuk melenyapkan kemelekatan pada obyek-obyek indria
dan untuk menghentikan pikiran tidak seimbang yang berkata, "Saya suka
yang ini dan tidak yang itu."
Dengan demikian, ketika
bhikshu-bhikshunya pergi ke luar mencari derma, mereka menerima dengan
tenang dan rasa terima kasih - apapun yang di berikan, daging atau
bukan. Tidak hanya akan menyinggung perasaan orang yang memberi tetapi
juga akan merusak latihan bhikshu itu sendiri dan menambah kemelekatan,
jika ia berkata, "Saya tidak boleh memakan daging, jadi berilah saya
sayur-sayuran yang segar." Dengan demikian, sepanjang daging itu datang
bukan karena di pesan olehnya, serta tidak melihat, mendengar, atau
curiga bahwa binatang itu di bunuh untuknya, bhikshu itu di perkenankan
memakannya. Tetapi, akan lebih bijaksana jika mereka yang memberikan
derma ingat bahwa premis dasar dari Ajaran Buddha adalah tidak menyakiti
makhluk lain, dan mau memilih apa yang akan di persembahkan secara
tepat.
Berpijak pada landasan ketidakmelekatan, belas kasih bagi
makhluk lain sangat di tonjolkan, khususnya dalam tradisi Mahayana.
Dengan demikian, bagi mereka yang mengikuti ajaran ini, di nasihatkan
untuk tidak memakan daging - supaya tidak menimbulkan penderitaan bagi
makhluk lain dan untuk mencegah orang menjadi tukang jagal. Selain itu
juga, karena getaran yang di timbulkan daging dapat menghalangi seorang
siswa biasa dalam mengembangkan belas kasih.
Jalan Tantra atau
Vajrayana mempunyai empat kelas. Di kelas bawah, kebersihan dan kesucian
sebelah luar di tekankan sebagai teknik bagi praktisi untuk menumbuhkan
kesucian sebelah dalam dari pikiran. Jadi, praktisi ini tidak memakan
daging, yang di anggap tidak bersih. Sebaliknya, dalam Tantra-yoga
tertinggi, berlandaskan pada ketidakmelekatan dan belas kasih, praktisi
yang memenuhi syarat melaksanakan meditasi dengan mengambil obyek sistem
urat syaraf yang sangat halus, dan untuk itu, unsur-unsur jasmaniah
yang kuat sangat di butuhkan. Dengan demikian, daging bahkan di anjurkan
bagi orang seperti itu. Pada tingkat ini juga di tekankan transformasi
obyek dengan meditasi atas ketanpaintian. Tapi ia, karena meditasi yang
mendalam, tidak makan daging dengan serakah bagi kepentingan dirinya
sendiri.
Di Tibet, terdapat faktor tambahan untuk di
pertimbangkan: berkenaan dengan tempat yang sangat dingin dan iklim yang
kejam, terdapat sedikit sekali yang di makan selain gandum tanah,
produk-produk susu, dan daging. Untuk bertahan hidup, rakyat di sana
mesti makan daging. Yang Mulia Dalai Lama telah mendorong rakyat Tibet
dalam pengasingan, yang sekarang tinggal di negeri-negeri yang penuh
dengan sayur-mayur dan buah-buahan, untuk menahan diri sedapat mungkin
dari memakan daging. Juga, jika seorang siswa mempunyai masalah berat
dengan kesehatannya yang mengharuskannya makan daging, maka sang guru
mungkin akan membolehkannya. Dengan demikian, setiap orang mesti
memeriksa tingkatan latihannya serta kemampuan tubuhnya; dan makanlah
dengan bijaksana.
Adanya beragam doktrin Buddhis itu, akhirnya,
menjadi bukti kesanggupan Sang Buddha dalam menuntun orang berdasarkan
watak dan kebutuhannya. Sungguh amat sangat penting untuk tidak terpecah
dalam sekte-sekte, melainkan mesti menghargai semua tradisi beserta
praktisinya.
Mengapa sejumlah bhikshu dan bhikshuni memakai jubah kuning sementara yang lain memakai jubah merah tua, abu-abu atau hitam?
Menyebar
dari satu negeri ke negeri yang lain, Ajaran Buddha dengan lentur
beradaptasi dengan kebudayaan dan cara berpikir masyarakat setempat,
tanpa mengubah esensi dan artinya. Jadi tidak perlu di herankan jika
corak jubah bhikshu pun bervariasi. Di Srilanka, Thailand, dan Myanmar,
jubah bhikshu berwarna kuning dan tanpa lengan, seperti jubah di zaman
Sang Buddha. Tetapi, di Tibet bahan pewarna kuning tidak tersedia,
sehingga di gunakan warna yang lebih gelap, merah. Sedangkan di Cina,
orang beranggapan tidak sopan untuk menampakkan kulit badan, jadi
pakaian bhikshu pun di sesuaikan, kostum berlengan panjang dari Dinasti
Tang lalu di pilih orang. Kebudayaan tertentu menganggap warna kuning
terlalu cerah untuk maksud keagamaan, dan di pakai warna abu-abu.
Tetapi, spirit yang di bawa oleh jubah itu tetap di pertahankan dalam
bentuk tujuh dan sembilan keping jubah luar berwarna coklat, kuning, dan
merah.
Cara paritta di lafalkan di tiap-tiap tempat juga
berbeda, tergantung pada kebudayaan dan bahasa di tempat itu. Pun ada
alat bunyi-bunyian yang di gunakan, dan cara memberi hormat. Orang Cina
berdiri saat mereka membaca paritta, sementara orang Tibet duduk.
Variasi ini di sebabkan oleh adaptasi kebudayaan. Adakah penting untuk
mengerti bahwa bentuk luar dan cara melakukan sesuatu bukanlah Dharma.
Mereka hanya alat untuk membantu kita mempraktekkan Dharma dengan lebih
baik sesuai dengan kebudayaan dan tempay dimana kita tinggal. Tetapi,
Dharma sejati tidak dapat di lihat dengan mata atau di dengar dengan
telinga. Dharma sejati adalah untuk di selami oleh pikiran. Dharma
sejati adalah apa yang mesti kita tekankan dan perhatikan, bukannya
penampilan luar yang bisa berbeda dari tempat ke tempat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar