Senin, 08 Juni 2015

pesan waisak 2559

Pesan Waisak 2559 / 2015

SANGHA THERAVADA INDONESIA
Pusdiklat Buddhis Sikkhadama Santibhumi,
BSD City Sektor VII Blok C Nomor 6,
Tangerang Selatan 15321.
Telp (021) 53167061, Faks. (021) 53156737.
Vihara Mendut,
Kotakpos 111, Kota Mungkid 56501, Magelang
Telp / Faks (0293) 788564.


Namo Tassa Bhagavato Arahato SammĂ sambuddhassa
Dhammam care sucaritam, Na nam duccaritam care
Dhammacari sukham seti, Asmim loke paramhi ca
(Dhammapada 169)
Sepatutnya ia melaksanakan Dhamma dengan baik,
tidak melaksanakan dengan buruk.
Ia yang senantiasa melaksanakan Dhamma,
akan berbahagia di dunia ini dan di dunia lain.
  
Hari Trisuci Waisak memperingati tiga peristiwa suci dalam kehidupan Guru Agung Buddha Gotama, yaitu: kelahiran Siddhartha Gotama calon Buddha, pencapaian Pencerahan Sempurna Buddha, serta kemangkatan Guru Agung Buddha. Tiga peristiwa suci itu terjadi pada hari yang sama, yaitu hari purnama sidi, bulan Waisak, dengan tahun yang berbeda-beda: kelahiran calon Buddha tahun 623 SM di Kapilavasthu, India Utara; Pencerahan Sempurna tahun 588 SM di Bodhgaya, India; dan Buddha mangkat tahun 543 SM pada usia 80 tahun, di Kusinara, India. Hari Trisuci Waisak 2559 tahun ini jatuh pada tanggal 2 Juni 2015. Seluruh umat Buddha di dunia memperingati Trisuci Waisak dengan laku puja bakti, meditasi, pendalaman Dhamma ajaran Buddha, serta kegiatan-kegiatan sosial-budaya Buddhis lain.
Sangha Theravada Indonesia mengangkat tema Trisuci Waisak 2559/2015: Dhamma Melindungi yang Melaksanakan. Dhamma ajaran Buddha meliputi tiga aspek, yaitu: pelajaran, pelaksanaan, dan pengalaman. Pelajaran Dhamma terdapat dalam kitab suci Tipitaka yang memuat kebenaran-Dhamma dan kemoralan-Vinaya, sedangkan pelaksanaan Dhamma adalah praktik kesusilaan (moral), praktik keteguhan pikiran (meditasi), dan praktik kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman Dhamma adalah hasil praktik kesusilaan, keteguhan pikiran, dan kebijaksanaan, yang berupa lenyapnya penderitaan.
Kesusilaan (Moral) sebagai Pelindung
Di tengah-tengah kehidupan dewasa ini, manusia sering mengabaikan pelaksanaan moral, karena ia lebih mengutamakan keberhasilan pencapaian cita-cita atau keinginannya. Menggantungkan cita-cita setinggi langit memang baik, tetapi lebih baik lagi apabila orang berpikir bagaimana cara yang tepat untuk mencapai cita-cita itu. Bukan asal cita-cita tercapai, apapun perilaku boleh dilakukan. Tidak peduli perilaku itu buruk bahkan menimbulkan penderitaan orang lain pun dilakukan demi tercapainya cita-cita seseorang. Sikap orang seperti itu cenderung terpukau pada kesenangan atas keberhasilan semata, dan enggan bersusah-susah melakukan upaya kebaikan untuk meraih keberhasilan itu. Cita-cita lebih diutamakan daripada cara pencapaiannya. Padahal cara pencapaian yang buruk akan berdampak negatif bagi keberhasilannya. Kecemasan, kekhawatiran, permusuhan, nama buruk, bahkan kehancuran rumah tangga bisa saja menyertai keberhasilan dalam perolehan cita-citanya. Sedangkan cara-cara baik, seperti: kerja keras, rajin, semangat hidup, pantang menyerah, kejujuran, kasih sayang, dan lain-lain, akan berdampak positif bagi keberhasilan cita-cita seseorang. Kenyamanan, kedamaian, nama baik, kepercayaan, persaudaraan akan diperoleh bersamaan dengan pencapaian cita-citanya.
Apabila orang berlomba-lomba memperoleh keberhasilan meskipun dengan cara-cara buruk, maka terjadilah krisis moral yang membuat kekacauan hidup, hidup saling mengancam, saling menjatuhkan, bahkan saling menyerang. Tidak ada rasa aman dalam kehidupan ini. Ada kalanya orang berkata bahwa hukum negara sebagai panglima dalam kehidupan bernegara. Tetapi permasalahan akan muncul, ketika penanggungjawab hukum negara itu tidak bermoral. Sulit dibayangkan bahwa hukum negara menjadi tidak digunakan sebagaimana mestinya. Orang yang bermoral buruk dapat berlindung di balik pembenaran hukum negara. Karena itu pelaksanaan moral tidak dapat ditawar lagi apabila hukum negara ataupun peraturan di tempat manapun juga ingin ditegakkan dan bermanfaat bagi kehidupan bersama. Revolusi mental tidak bisa dilakukan tanpa pelaksanaan moral dalam kehidupan bersama, perlu ada perubahan paradigma mental yang semula menghalalkan segala cara untuk mencapai cita-cita kemudian menjadi sangat peduli terhadap cara-cara baik dan tepat demi pencapaian cita-cita yang memberi berkah bagi diri sendiri maupun orang lain.
Penerapan moral akan menimbulkan perlindungan bagi orang yang melaksanakannya, sebab ia yang menerapkan moral tidak akan mempunyai pikiran bersalah dan menyesal. Ia akan merasa nyaman pergi kemana saja, karena ia merasa tidak bersalah. Ia juga tidak menyesali perbuatan yang telah dilakukannya. Ia akan melindungi dirinya sendiri dari berbagai kesalahan dan penyesalan. Bahkan melindungi orang lain pula, karena orang lain tidak merasa terancam dan tidak takut dengan kehadiran orang yang menerapkan moral.
Keteguhan Pikiran (Meditasi) sebagai Pelindung
Selain penerapan moral dalam kehidupan sehari-hari, keadaan pikiran manusia juga perlu diperhatikan, karena selama manusia masih memiliki keadaan pikiran yang serakah, benci, dan egois, maka kehidupan manusia sangatlah tidak nyaman. Keserakahan dalam pikiran dapat mendorong niat mencuri, korupsi, berzina, perilaku asusila, bahkan merusak hutan dan kandungan alam lingkungan hidup. Sedangkan kebencian akan mendorong niat orang melakukan kekerasan, perbuatan sadis, dan pembunuhan. Egois akan menyebabkan orang memiliki pandangan hidup yang keliru, tidak dapat membedakan mana yang benar dan yang salah, memiliki pandangan eksklusif dan tidak toleran. Hal-hal itu sangat membahayakan bagi kehidupan bersama, karena itu sangatlah penting penerapan meditasi sebagai cara untuk mengolah pikiran, agar pikiran dapat terbebas dari keserakahan, kebencian, dan keegoan. Revolusi mental dapat terlaksana apabila orang mau mengubah kondisi pikirannya yang semula dipenuhi oleh serakah, benci, dan egois, kemudian beralih menjadi pikiran yang memiliki kepedulian, cinta kasih, dan kebersamaan dalam hidup bermasyarakat.
Penerapan meditasi akan mengubah pikiran menjadi tidak lagi serakah melainkan gemar memberi, tidak lagi membenci melainkan penuh welas asih, dan tidak lagi egois melainkan inklusif dan toleran. Pikiran seperti itu akan menimbulkan perlindungan bagi seseorang dan juga perlindungan buat banyak orang di sekitarnya. Orang-orang akan merasa nyaman hidup bersama.
Kebijaksanaan sebagai Pelindung
Pemahaman hakikat hidup sering menimbulkan masalah dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bersama. Ada orang yang menganggap bahwa kebahagiaan hidup hanyalah semata kebahagiaan materi, dengan kekayaan yang berlimpah orang berpandangan bahwa ia akan hidup berbahagia. Atau kebahagiaan hidup diperoleh dengan terpenuhinya kenikmatan-kenikmatan indriawi manusia, kenikmatan mata pada saat mata berkontak dengan objek penglihatan, kenikmatan telinga pada saat telinga berkontak dengan objek pendengaran, demikian pula kenikmatan indria lainnya. Pemahaman kebahagiaan hidup seperti itu akan menimbulkan pemujaan terhadap kekayaan materi, pemujaan terhadap kenikmatan indria, sebagai suatu kebahagiaan tertinggi. Apakah memang benar bahwa kebahagiaan tertinggi seperti itu? Bagaimana dengan kebahagiaan tertinggi sesuai ajaran Buddha? Untuk mengetahui hal itu, perlu sekali dipahami adanya hal-hal hakiki yang berlangsung dalam kehidupan ini. Dalam ajaran Dhamma, terdapat penjelasan bahwa meskipun Guru Agung Buddha ada ataupun tidak ada, terdapat hal-hal hakiki yang berlangsung sepanjang masa, yaitu adanya ketidakkekalan, ketiadapuasan, dan ketiadaan ego. Ia yang memahami ketidakkekalan, ketiadapuasan, dan ketiadaan ego, maka ia tidak mau menggenggam erat apapun yang telah diperolehnya. Ia memahami segala sesuatu akan berakhir, segala sesuatu tidak dapat memenuhi kepuasan secara terus menerus, dan segala sesuatu tidak dapat diatur sesuai kehendaknya, sedangkan dirinya sendiri saja akan mengalami hal-hal seperti tersebut di atas, maka hidup ini hanyalah proses yang terus berlangsung. Manusia terlibat dalam proses kehidupan ini bersama dengan segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan itu. Manusia dapat turut berperan serta memengaruhi proses kehidupan itu, apakah akan merawat kehidupan atau akan menghancurkan kehidupan. Apapun yang terjadi dalam proses kehidupan itu berlangsung sesuai dengan hukum sebab akibat yang saling bergantungan. Hukum kausalitas itulah yang melangsungkan proses kehidupan. Revolusi mental juga memerlukan pemahaman bahwa hidup adalah proses yang berlangsung terus menerus karena berlakunya hukum sebab akibat. Karena itu pandangan hidup yang memohon atau menanti, hendaknya perlu diubah menjadi berikhtiar dan bekerja keras karena apa yang kita peroleh dari hidup ini adalah hasil dari upaya kita.
Pengembangan kebijaksanaan adalah pengembangan pemahaman hakikat kehidupan itu, memahami proses kehidupan beserta hukum sebab akibat yang berlaku akan menimbulkan pengertian kebahagiaan hidup sebagai akibat dari segala sesuatu yang dilakukan dengan baik, benar, dan bermanfaat. Kebahagiaan hidup bukan berbentuk suatu kecanduan atau kelekatan, seperti halnya kelekatan terhadap kekayaan materi dan kenikmatan indria. Kebahagiaan hidup justru kebebasan dari kecanduan atau kelekatan. Pelepasan kecanduan dan kelekatan atau sikap bersahaja dalam hidup sehari-hari itulah yang membuat masing-masing orang merasa nyaman dan tidak mengancam orang lain.
Selamat Hari Trisuci Waisak 2559/2015, marilah umat Buddha sekalian membuat perlindungan bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat, bahkan bagi bangsa dan negara dengan cara melaksanakan kebenaran Dhamma. Karena pelaksanaan Dhamma akan menjauhkan hidup kita dari segala keadaan tidak nyaman atau penderitaan. Revolusi mental merupakan gerakan hidup baru yang berlandaskan pada pelaksanaan kesusilaan, keteguhan pikiran, dan kebijaksanaan. Revolusi mental itu akan melindungi hidup kita dari kekacauan laku, pikiran, dan pedoman hidup. Semoga dengan revolusi mental ini dapat mengantarkan kehidupan bangsa dan negara kita maju, sejahtera, serta damai.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Tiratana, selalu melindungi.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia
Kota Mungkid, 2 Juni 2015
SANGHA THERAVADA INDONESIA
ttd.
Bhikkhu Jotidhammo, Mahathera
Ketua Umum / Sanghanayaka
http://www.samaggi-phala.or.id/sangha-theravada-indonesia/pesan-waisak-2559-2015/

Dhamma Adalah Harta Yang Paling Mulia


Dhamma Adalah Harta Yang Paling Mulia
Oleh: Venerable Phra Ajahn Yantra Amaro

Khotbah ini adalah hari yang istimewa saat anda semua datang untuk memberikan dana makanan dan persembahan, serta memohon tuntunan sila bersama.
Dhamma adalah harta yang paling berharga. Jika misalnya seseorang menggali dan menemukan, serta memanfaatkannya, orang tersebut akan menjadi kaya dalam sepanjang hidupnya, kaya dalam kesadaran dan kebijaksanaan serta amat bahagia.
Dhamma berarti segala sesuatu yang baik, sejuk, damai, sejahtera, dan terang. Seseorang yang telah memperoleh pengertian tentang Dhamma memiliki hati yang baik, tenang, damai, bermanfaat, berbudi luhur, dan bijaksana. Apapun yang ia lakukan, dilakukannya dengan penuh semangat, perhatian, dan kebijaksanaan, karena batin mereka tenang dan damai, dan pikiran mereka terang dan jernih. Seseorang yang memiliki Dhamma tidak pernah merasa kesepian tetapi penuh daya/semangat, pengetahuan, kesadaran, dan kebahagiaan.
Bagaimana agar kita dapat mencapai keadaan tersebut di dalam hidup kita? Kita perlu latihan, praktek, dan mempunyai pendirian yang benar. Jalan yang paling cepat adalah dengan selalu memancarkan cinta-kasih, melakukan tugas anda dengan baik dalam apapun yang anda kerjakan, serta mengerjakannya dengan sebaik mungkin. Dengan cinta-kasih sebagai landasannya, lakukan kewajiban anda terhadap putra-putri anda, istri-suami anda, orang-orang yang anda cintai dan hormati, orang lain, dan kepada hewan-hewan.
Dhamma adalah kewajiban/tugas. Seseorang yang tidak melakukan tugas seorang ayah, ia bukanlah seorang ayah. Begitu pula, seorang ibu harus melakukan tugas seorang ibu kepada anak-keturunannya. Jika seseorang mengabaikan tugasnya, ia semata-mata disebut manusia tetapi bukan manusia yang baik. Anak-anak juga harus melakukan tugas mereka. Para guru dan murid mempunyai tugas satu terhadap lainnya. Guru wajib mengajar, membimbing, dan mendorong murid-murid untuk belajar serta mengikuti petunjuk guru dengan rasa terima kasih, serta berusaha melakukan yang terbaik terhadap orang tua mereka, para guru mereka, teman-teman dan kerabat mereka. Seseorang harus berpikir tentang mereka semua dengan cinta kasih.
Hari ini saya akan memberikan khotbah Dhamma singkat yang bertema: “Berusahalah sebaik mungkin melakukan tugas anda”. Setiap hari kita harus memeriksa diri kita sendiri dan apa yang telah kita lakukan. Tugas-tugas apa yang harus kita lakukan pada hari ini? Kita harus melakukan dengan sebaik mungkin yang dapat kita lakukan, dan ingatlah selalu untuk tidak mudah menyerah. Kita harus melakukan yang terbaik untuk memecahkan setiap problem dan mengatasi setiap rintangan. Putuskanlah untuk melakukan hal ini setiap hari, serta mencintai dan bersikap baik kepada semua makhluk, bahkan kepada mereka yang tidak baik dan tidak menyenangkan, juga bahkan kepada mereka yang pernah menyakiti kita. Meskipun jika mereka menyakiti kita, kita harus siap untuk menjadi baik dan cinta kepada mereka. Kita tidak seharusnya menjadi marah, karena marah merupakan penderitaan.
Jika kita berbaik-hati, tenang, dan damai, kebajikan kita itu akan membuat kita bahagia. Hal ini juga memberikan kesempatan kepada orang-orang yang tidak menyenangkan untuk menjadi baik, orang-orang yang bertemperamen panas menjadi tenang.
Jika kita benar-benar tenang dan dipenuhi dengan cinta-kasih, maka apabila orang lain marah, kita dapat tetap tersenyum. Jika kita tak dapat tersenyum, cukuplah untuk diam saja. Jika orang lain mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan, kita dapat sebaliknya mengucapkan kata-kata yang menyenangkan. Jika orang lain mencoba mengambil keuntungan dari kita, kita dapat memberikan apa yang mereka inginkan. Lihatlah kemudian siapa yang pada akhirnya menang dan bahagia.
Dunia memerlukan Dhamma, memerlukan ketenangan, walaupun kita harus siap berkorban untuk memberikan hal tersebut. Kekerasan selalu dikalahkan oleh kelembutan, karena kelembutan tersembunyi, terdapat di dalam kekerasan. Perhatikan gusi dan gigi kita, meskipun gigi tanggal, tetapi gusi tetap di tempatnya. Angin yang paling lembut pun dapat mengikis gunung, dan dapat menciptakan gelombang yang pada akhirnya lenyap karena penguapan. Angin tidak memiliki jasmani/wujud, tetapi ia memiliki energi. Sebuah roda terbuat dari poros dan jari-jari/ruji. Ruji tidak dapat bergerak jika poros tidak berputar, dan poros hanya dapat berputar karena di tengah-tengahnya adalah kosong. Lihatlah pada mulut saya, yang saya pergunakan untuk berbicara. Ia memiliki gigi, lidah dan sebagainya, tetapi saya dapat berbicara hanya karena mulut saya juga memiliki rongga kosong. Jika mulut saya padat, saya tidak akan dapat berbicara. Jadi kekosongan adalah sangat berguna. Lihatlah pada mangkuk makan saya. Besi yang dipakai untuk membuat ini memang pasti ada, tetapi adalah ruang kosong di dalam mangkuk yang membuatnya berguna. Kita dapat menaruh benda-benda di dalam ruang tersebut. Bergunanya mangkuk tersebut datang dari kekosongannya.
Jika kita membuat batin kita kosong, tenang, dan bebas dari kekotoran, dan tidak memikirkan apa-apa kecuali cinta-kasih, maka batin kita akan menjadi sangat kuat. Batin sedemikian adalah suci, dan kekuatan suci benar-benar ada di dunia ini. Tetapi batin yang paling memiliki kekuatan di dunia ini adalah batin yang terang dan tenang. Jika kita dapat melatih pikiran kita untuk menjadi baik, maka apapun kemudian akan menjadi baik. Berusahalah untuk melatih pikiranmu dan berusahalah untuk menjadi penuh cinta-kasih. Katakan kepada dirimu, “Sejak saat ini saya tidak akan menjadi marah”. Jika seseorang marah kepada saya, tidak mengapa, saya akan tetap tersenyum atau kalau tidak, hanya akan diam saja dan mengingat kalimat keramat/ magis itu “Itu memang demikian”. Mereka bersikap seperti itu disebabkan oleh sifat alamiah mereka. Tidak usah peduli bila seseorang marah, dan jika tidak mungkin untuk berucap sesuatu, maka pikirlah bahwa itu adalah alamiah/ wajar, “Hanya kedemikianan”. Bersikaplah yang sama jika seseorang mengutuk atau menyalahkanmu; ingatkan dirimu bahwa engkau tidak akan menjadi marah. Anda akan selalu melakukan kebajikan, jika anda ingin setiap hari hanya melakukan kebajikan. Anda dapat mengandaikan bahwa anda mesti meraih angka/nilai tertentu untuk dapat lulus dari ujian, dan kemudian memberi nilai tambah/plus kepada diri anda sendiri apabila anda melakukan kebajikan, dan nilai kurang/minus apabila anda melakukan kejahatan. Di akhir hari (malam hari) lihatlah nilai apa yang telah anda raih. Apakah nilai kebajikan anda mengungguli nilai kejahatan anda?
Memang benar bahwa tiada seorang pun yang lahir di dunia ini sempurna dan tidak pernah melakukan suatu kesalahan, akan tetapi kita masih memiliki kesempatan untuk mengubah dan memperbaiki diri kita. Jika anda dapat melihat ke dalam diri anda sendiri, melihat cacat atau kekurangannya, serta berusaha untuk mengubah dan memperbaikinya, anda akan menjadi mulia dan dipuji oleh orang-orang bijaksana. Kadang-kadang adalah baik untuk diberitahukan apa yang tidak baik tentang diri kita, kita tidak perlu marah, tetapi kita harus membiarkan orang lain mengemukakan sisi buruk atau kekurangan kita. Apakah anda pikir anda begitu sempurna? Bahkan Sang Buddha sendiri memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengatakan tentang dirinya. Sang Buddha juga mengatakan untuk tidak memeriksanya dengan seksama dan mempraktekkan apa yang Beliau ajarkan hingga seseorang mencapai hasil-hasil yang seperlunya, sebelum ia mempercayainya.
Jadi janganlah kecewa atau sedih jika tak seorang pun yang memuji, menghargai, mendukung, atau bahkan mereka menentang perbuatan baik yang kita lakukan. Jika kita tahu bahwa apa yang ingin kita lakukan adalah baik dan pantas, lakukanlah itu dengan penuh keyakinan dan kesabaran, maka tiada kerugian yang akan datang kepada diri kita atau orang lain. Kita harus memulainya dengan keyakinan di dalam diri kita.
Kita mengira kita sudah mengerti Dhamma dan menginginkan dunia (orang-orang lain) mengetahui tentang hal tersebut, tetapi kemudian kita tidak bahagia ketika kita dikritik. Kita sangat sensitif terhadap kritikan, itu membuat kita merasa bodoh dan tidak bahagia. Kadang-kadang kita memiliki niat/maksud yang baik, tetapi hal itu dapat ternoda jika kita membiarkan telinga kita meladeninya, misalnya kita goyah oleh kritikan. Batin kita haruslah kuat sepanjang waktu, harus tidak pernah menyerah, dan harus selalu penuh perhatian/kesadaran akan saat ini.
Saya percaya bahwa perbuatan baik yang kita lakukan akan membuat kita bertambah bahagia, seperti sebatang pohon yang mula-mula berupa sebuah tanaman yang kecil dengan hanya satu batang saja, sampai tumbuh cabang-cabang, daun-daun, bunga-bunga, dan buah-buah. Batin yang baik dan tenang akan semakin memberikan kebahagiaan dan mendapatkan cinta dari setiap orang atau para dewa kemana pun ia pergi. Adalah kenyataan bahwa kekuatan yang didapatkannya dari praktek Dhamma adalah nyata, kuat dan lebih bernilai dari pada apapun juga. Seseorang yang memiliki keyakinan di dalam Dhammanya tidak perlu melakukan hal spesial lainnya, karena apapun yang ia lakukan akan memberikan hasil yang memuaskan. Anda tidak perlu melakukan hal-hal apapun yang rumit, kadang-kadang hanya dengan berpikir baik saja akan memperoleh hasil yang baik dan hebat. Cobalah lalukan itu. Bila anda memiliki batin yang baik dan bersih, jalan menuju sukses akan nampak lancar, dan hal-hal akan berjalan dengan baik. Tetapi jika batin anda tidak tenang, tentram, dan bersih, hal-hal yang anda harapkan dan lakukan tidak akan berjalan sesuai yang anda harapkan, meskipun anda mengharapkannya dengan kuat dan sering. Batin seperti itu adalah batin yang bingung, lemah, dan tiada berdaya. Maka, berusahalah untuk melakukan hanya hal-hal yang baik, laksanakan tugas anda dengan sebaik mungkin yang dapat anda lakukan, selalu dengan cinta kasih dan kesadaran akan saat sekarang. Apapun yang muncul atau terjadi, anggaplah itu sebagai hal yang alamiah, sebagai “kedemikianan”.
Pertimbangkanlah ungkapan “tidak apa-apa”. Kata-kata ini adalah seperti kata keramat untuk meringankan batin kita, menasehatkan bahwa jika kita tidak ambil peduli, jika kita tidak menganggap hal-hal dengan serius, kita tidak akan menderita. Namun sebaliknya, kita harus selalu “peduli”, selalu berpikir, dan melakukan hal-hal yang baik saja.
Cobalah untuk membaca paritta setiap hari, pada pagi hari dan malam sebelum tidur. Ambillah nafas panjang yang dalam dan perhatikan nafas yang masuk dan nafas yang keluar, dan anda akan menemukan kebahagiaan. Pada saat yang sama, sadarilah akan perhatianmu. Pada akhirnya batin akan tetap memiliki kesadaran di dalam tanpa memperhatikan nafas. Anda akan mendapatinya dalam keadaan tanang dan damai karena batin bagitu terkonsentrasi pada saat itu. Apapun yang anda lakukan, apakah berbicara, berpikir, atau bertindak, berdiri, duduk berbaring, atau apa saja, anda akan merasa bahagia dan tidak pernah kesepian. Mereka mengerti Dhamma tidak pernah marasa kesepian, karena selalu ada teman baik di dalam hatinya. Pada saat yang sama, hal itu merupakan sumber dari hidup panjang umur yang berharga, corak yang baik, kebahagiaan, kekuatan, kebijaksanaan, dan kekayaan. Tiada lagi yang lebih berharga dari pada Dhamma. Apabila kita mempraktekkannya dengan rajin dan sungguh-sungguh, kebajikan akan tumbuh dengan semakin besar.
Jika kita berkecil-hati, pikirkanlah tentang diri Sang Buddha. Sang Buddha, yang pada akhirnya mencapai kesempurnaan (parami) tertinggi (kesepuluh tingkat dari kesempurnaan spritual) dengan ketekunan dan kesabaran, sila (sikap laku bermoral), dan bhavana (meditasi), telah mengalami kelahiran-kembali sebanyak sekitar 1600 juta kali sebelum Beliau mencapai Pencerahan sebagai seorang Buddha. Karena itu, kita yang mengikuti jejak-Nya sebagai seorang Buddhis, harus mempraktekkan hal-hal yang Beliau ajarkan. Janganlah menyerah, tetapi berusahalah melakukan kebajikan. Majulah selangkah-demi selangkah hingga anda mencapai tujuan (gol). Tidak peduli berapa jauh jaraknya, seribu atau sepuluh ribu langkah, lakukan satu langkah setiap saat, maka akhirnya anda akan tiba juga. Saya sendiri berjalan dari Thailand Selatan menuju Burma Utara. Tidak akan terasa jauh jika anda tetap melaksanakan 2 langkah tersebut, kiri dan kanan. Dengan kesabaran dan keyakinan anda akan berhasil, karena di mana ada kemauan, di sana pasti ada jalan. Orang yang tekun/ulet tidak pernah gagal.
Pada khotbah kali ini, saya menekankan bahwa kita harus berusaha dan melakukan perbuatan baik, dan berusaha untuk membebaskan diri kita dari penderitaan. Berusahalah untuk mengetahui dan mengerti tentang penderitaan, sehingga bila ia datang, ia akan dapat dihadapi. Adalah tidak hanya saya/anda yang menderita, orang lain pun menderita, bahkan beberapa dari mereka lebih buruk dari pada saya/anda. Cobalah untuk mengerti bahwa apapun yang muncul, bertahan untuk waktu yang agak lama atau singkat, kemudian lenyap. Tidak ada satu pun yang permanen. Suatu waktu, kita tidak memiliki apa-apa, dan apa yang kita miliki dan menjadi apa kita sekarang ini, adalah datang belakangan. Tiada satupun yang tetap untuk selamanya. Kita harus berusaha untuk mengerti hal-hal ini dan merenungkan mereka dengan perhatian dan cinta-kasih. Ketahuilah kapan untuk melepas. Berusahalah untuk mencintai orang lain, bahkan kepada mereka yang tidak menyukaimu sekalipun. Berusahalah untuk mencintai dan memafkan mereka. Cobalah untuk mengerti tentang dirimu sendiri dan hal-hal baik dari orang lain. Berusahalah untuk tidak berat sebelah/memihak. Jangan menunggu sampai orang lain mengerti tentang dirimu sebelum anda mencoba untuk mengerti tentang mereka. Janganlah merasa cemas dengan berlebihan.
Saya percaya bahwa jika kita mengerti orang lain, kita dapat belajar untuk mencintai mereka, karena cinta kasih tumbuh dari (adanya) pengertian. Dalam suatu keluarga yang tanpa pengertian, cinta takkan bertahan lama. Jadi, cobalah untuk memahami satu sama lain dan jalanilah hidup yang baik. Tidak peduli apakah orang lain tidak mencintai atau menghormatimu, cobalah untuk mengerti dan “maafkan dan lupakan”. Hadiah yang paling penting adalah hadiah berupa memafkan. Janganlah melekat kepada benda-benda dengan kuat, karena tiada satu apapun yang kekal. Relakan mereka pergi, dan jadilah orang yang baik dan penuh cinta kasih.
Kini waktunya untuk berhenti, sehingga saya harus menghentikan khotbah untuk hari ini.

Bagaimanakah yang Disebut Upasaka Upasika Itu


/

Bagaimanakah yang Disebut Upasaka Upasika Itu
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Shanti Bhadra Mahathera

Dalam bahasa Pali umat Buddha laki-laki disebut Upasaka, sedangkan wanita disebut Upasika. Kata “upasaka” berarti seseorang yang mengenal dekat dan akrab Tiratana (Tiga Permata) —Buddha (orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna), Dhamma (ajaran), dan Sangha (persaudaraan dari orang yang meninggalkan keduniawian). Ketika seseorang menerima Tiga Perlindungan atau menganggapnya sebagai pedoman hidup, umumnya dapat dikatakan sebagai seorang umat Buddha.Saat menerima ajaran Sang Buddha sebagai pedoman hidup, dia harus menjalani suatu bentuk latihan, yaitu kemoralan (Sila). Lima bentuk latihan sebagai dasar dari kemoralan (Sila). Kelima Sila itu dilaksanakan dengan pengendalian diri, bukan dengan diperintah. Dan melakukan Sila itu berdasarkan pengertian untuk mengurangi kadar dari tiga akar kejahatan yakni lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kebodohan).Dengan melatih diri menghindari diri dari pembunuhan, pencurian, perzinahan, kebohongan, dan mabuk-mabukan; dan berdasarkan ini memupuk diri dengan kemurahan hati (alobha), cinta kasih (adosa), dan pengertian benar (amoha).Sang Buddha telah menunjukkan bahwa seorang upasaka yang mempunyai lima hal berikut ini dengan baik dapat diumpamakan seperti bunga teratai merah (paduma), teratai putih (pundarika), dan permata (ratana).

Kelima hal tersebut adalah:Saddha (keyakinan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha Sila (kemoralan, etika). Tidak yakin pada Kotuhala Mangalika (menerima sesuatu yang baik dan buruk yang ia anggap sebagai pertanda keberuntungan dan kemalangan). Yakin pada Hukum Kamma (Hukum sebab dan akibat). Nabahida dakkhinineyyan gaveseti (pencarian di manapun, di luar ajaran Sang Buddha, untuk berdana baik segi materi maupun non materi; dan mengulurkan tangan pertama-tama pada kebenaran, sebagai pengamalan ajaran Sang Buddha). Melalaikan hal-hal tersebut berarti menodai upasaka yang dapat diumpamakan seperti orang buangan (chandala), noda (malan), dan orang dari keturunan rendah (patikuttha). Dalam Milinda Panha (pertanyaan Raja Milinda), Bhikkhu Nagasena dalam percakapannya dengan Raja Yunani, menjelaskan garis besar sepuluh kualitas seorang upasaka.Dia selalu menginginkan kesejahteraan Sangha. Dhamma menempati kedudukan yang utama dalam kehidupannya. Dia selalu memberi dengan kemurahan hati. Bila dia melihat tanda kemunduran dari ajaran Sang Buddha (sasana), dia berbuat dengan sekuat tenaga untuk menolong dan menegakkan kembali.

Dia terbebas dari takhyul tentang pertanda dan tanda-tanda yang memberikan keberuntungan atau kemalangan. Dan ia memiliki pengertian yang benar. Kalaupun ada kejadian dalam kehidupannya, ia tidak memikirkan orang lain selain Sang Buddha sebagai Gurunya. Dia tertib, dalam ucapan dan perbuatannya. Dia rukun dan harmonis dalam hubungan antar manusia. Dia tidak bersifat iri hati. Dia tidak menggunakan agama Buddha untuk menipu orang lain atau untuk memperoleh nama dan kemashyuran. Dia menerima Perlindungan (berpedoman pada) Buddha, Dhamma, Sangha. Dalam percakapan dengan Mahanama, salah seorang saudara sepupu Sang Buddha, Beliau menguji delapan tanda seorang upasaka yang melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan memberikan berkah serta bantuan kepada orang lain. Delapan ciri tersebut adalah:Dia memiliki kepercayaan dan menanamkannya pada orang lain. Dia memiliki kebajikan dan disiplin serta mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Dia memiliki kemurahan hati dan menjelaskan perbuatan baik tersebut kepada orang lain. Dia senang bertemu dengan bhikkhu dan juga mengajak orang lain untuk bergabung bersama-sama. Dia gemar mendengarkan diskusi Dhamma dan mendorong ketertarikannya pada Dhamma itu kepada orang lain; dan dia memulainya untuk berbuat demikian. Dia menunjang Dhamma yang telah ia dengarkan dan merenungkan dalam batin pada waktu senggang untuk memperdalam pengertiannya. Dia menganjurkan orang lain berbuat demikian. Dia mengkaji dan menerapkan Dhamma secara terus menerus dan mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama. Dia mempraktikkan Dhamma dalam kehidupannya sehari-hari, mendorong dan membangkitkan orang lain untuk melakukan hal yang sama. Seorang Upasaka seharusnya tidak melakukan sejumlah pekerjaan yang merugikan orang lain. Yaitu menghindari lima jenis perdagangan:

berdagang peralatan perang, budak, daging/binatang, makanan yang dapat memabukkan, dan racun.
Tapussa dan Bhallika adalah dua pedagang bersaudara yang pertama kali mempersembahkan makanan sejenis gandum dan madu kepada Sang Buddha setelah Beliau mencapai Penerangan Sempurna. Mereka juga menjadi upasaka pertama yang menerima Dua Perlindungan pada Buddha dan Dhamma. Saat itu belum ada Sangha.Tercatat, mereka bertemu Sang Buddha lagi setelah empat atau lima bulan di Rajagaha. Mereka mendengarkan ajaran Sang Buddha. Dan Tapussa mencapai tingkat kesucian yang pertama (Sotapana) dan tetap sebagai upasaka. Sedang Bhallika mencapai Arahat dan kemudian menjadi anggota Sangha.Kisah tentang upasaka pertama yang menerima Tiga Perlindungan sangat menarik. Di kota kuno Benares, tinggal seorang pedagang kaya yang mempunyai seorang putra bernama Yasa. Dia dibesarkan di lingkungan yang mewah. Bosan dengan hidupnya dalam sangkar kemewahan, dia menempuh hidup dengan kesenangan indera yang melemahkan dan dangkal. Dia mengungkapkan dirinya demikian,
Aduh, letih aku dalam kesibukan duniawi, apakah gunanya semua nafsu dan kesakitan ini, datang, datanglah kedamaian, kedamaian yang indah, ke dalam dadaku(Goethe)

Pada suatu pagi, dia meninggalkan rumahnya dengan sembunyi-sembunyi dan berangkat menuju Sarnath (Taman Rusa), mencari kedamaian dan ketenangan batin.Ketika itu Sang Buddha tinggal di Sarnath bangun di pagi hari dan berjalan mondar-mandir di suatu ruangan terbuka. Saat Beliau melihat seorang pemuda —Yasa datang mendekatinya, Beliau duduk dan menunggunya. Yasa datang kepada Sang Buddha, memberikan hormat, dan duduk di dekatnya. Sang Buddha tahu bahwa pikiran Yasa sedang tak menentu. Diawali dengan uraian tentang kehidupan sehari-hari, perlahan-lahan Sang Buddha mengantarkannya menuju khotbah yang lebih berkembang dan mendasar tentang Empat Kesunyataan Mulia.

Seperti halnya kain yang masih bersih tanpa noda hitam atau kotoran, akan mudah dicelup warna, demikian juga dengan setiap rangkaian, kesucian dan kemurnian pandangan Dhamma —bangkit dalam pikiran Yasa. Dan dia mencapai tingkat kesucian pertama, Sotapana.Tidak lama kemudian, Ayah Yasa datang mencarinya. Sang Buddha menjumpainya dengan senyum yang memancarkan cinta kasih, menghibur dan membuatnya gembira dengan sebuah khotbah yang dalam maknanya. Pada akhir khotbah ayah Yasa berkata, Luar biasa, luar biasa, Sang Bhagava.
( Dikutip dari Majalah Jalan Tengah No.58 ) 
Kisah Upasaka Dhammika, Kisah Dua Bhikkhu yang Bersahabat, Suara yang Paling Indah, Kisah Bhikkhu-bhikkhu Yang Berjumlah Banyak, Kisah Kijang yang Cerdas
 http://buddhist.dipankarajayaputra.com/bagaimanakah-yang-disebut-upasaka-upasika-itu.html