Senin, 16 Maret 2015

Ajaran Buddha & Tradisi-Tradisi Buddhis Oleh : Ven. Thubten Chodron, Singapura.

Apakah esensi Ajaran Buddha?

Singkat kata, esensi ajaran Buddha adalah berusaha untuk tidak menyakiti dan sebanyak mungkin memberikan pertolongan kepada orang lain. Atau,
Tidak berbuat jahat;
Berusahalah melakukan kebajikan;
Sucikan pikiran;
Inilah ajaran para Buddha.

Dengan tidak berbuat jahat (membunuh, dan sebagainya) dan melenyapkan pikiran-pikiran yang merusak (kebencian, kemelekatan, kepicikan dan sebagainya), kita telah berhenti merusak diri sendiri dan orang lain. Dengan menumbuhkan kebajikan luhur, kita mengembangkan sikap-sikap yang membangun, seperti cinta dan belas kasih universal, dan bertindak berdasarkan pikiran-pikiran bajik itu. Dengan menyucikan pikiran, kita membuang semua pandangan salah, sehingga menjadi tenang dan damai dengan menyadari kesunyataan.
Esensi Ajaran Buddha juga tercakup dalam tiga kaidah dari Jalan: pelepasan yang pasti, hati yang mengabdi, dan kebijaksanaan dalam menyadari kekosongan (sunyata). Pada awalnya, kita berusaha untuk keluar dari kemelut masalah-masalah kita dan sebab-sebabnya. Lalu, kita melihat orang lain juga mempunyai masalahnya sendiri, dan dengan cinta kasih dan belas kasih, kita mengabdikan hati ini untuk menjadi seorang Buddha, agar kita dapat benar-benar menolong yang lain. Untuk melakukan hal ini, kita mengembangkan kebijaksanaan dengan menyadari hakikat sebenarnya dari diri kita dan fenomena lainnya.

Apa itu Tiga Permata? Apa artinya berlindung kepada Tiga Permata?

Tiga permata adalah Buddha, Dharma, dan Sangha. Buddha adalah Ia yang telah sempurna menyucikan pikiran-Nya dari semua noda - nafsu yang membawa penderitaan, dan ucapan-perbuatan yang lahir dari nafsu itu beserta karat-karatnya; Ia yang telah mengembangkan semua nilai kebajikan, seperti cinta kasih dan belas kasih universal, kebijaksanaan tentang keberadaan, dan metoda mengajar yang jitu.
Dharma berisikan aturan-aturan yang menjauhkan kita dari semua masalah dan penderitaan. Dharma mencakup Ajaran Buddha, serta praktek atau jalan menuju lenyapnya masalah dan penderitaan itu. Sangha adalah para suci yang memiliki persepsi non-konseptual tentang kekosongan (sunyata) atau kebenaran tertinggi. Kadang-kadang, Sangha juga mengacu kepada mereka yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk mempraktekkan Ajaran Buddha. Dharma adalah perlindungan kita yang sebenarnya, obat yang akan menyembuhkan penyakit kita, tuntas sampai ke akar-akarnya. Seperti seorang dokter ahli, Sang Buddha dengan tepat memberikan diagnosis, apa penyakit kita, sebab-sebabnya, serta memberikan obat yang tepat. Sedangkan Sangha, yang membimbing kita dalam latihan, mirip perawat yang membantu kita menelan obat itu.

Berlindung kepada Tiga Permata berarti kita yakin dengan sepenuh hati pada Tiga Permata sebagai pembawa inspirasi dan penuntun hidup kita ke arah yang benar dan konstruksif. Berlindung tidak berarti secara pasif bersembunyi di balik Buddha, Dharma, dan Sangha. Sebaliknya, ialah suatu proses yang aktif dalam mengambil arah (menjalani) petunjuk mereka, serta meningkatkan kualitas hidup kita.

Mengapa begitu banyak tradisi dalam agama Buddha?

Sang Buddha membabarkan ajaran-Nya dengan banyak cara karena makhluk hidup (semua makhluk yang memiliki kesadaran tetapi belum menjadi Buddha, termasuk juga yang berada di alam-alam kehidupan lain) mempunyai watak, kebiasaan, dan minat yang berbeda-beda. Beliau tidak pernah mengharapkan kita semua cocok dengan satu bentuk sehingga ajaran-Nya pun di berikan dalam banyak cara dan dalam beragam cara melatih diri - dengan demikian tiap orang bisa menemukan sesuatu yang sesuai dengan tingkat kesadaran dan kepribadiannya. Dengan keahlian dan belas-kasih-Nya dalam menuntun yang lain, Sang Buddha memutar roda Dharma sebanyak tiga kali - setiap kali selalu dengan sedikit perubahan sistem filosofi. Tetapi esensi dari semua ajaran itu sama: tekad yang teguh untuk keluar dari lingkaran penderitaan yang berulang-ulang (samsara), belas-kasih kepada makhluk lain, dan kebijaksanaan ketanpa-akuan.

Tidak semua orang menyukai menu yang sama. Jika sebuah jamuan besar terhampar di depan kita, kita akan memlih makanan yang kita senangi. Tidak ada keharusan untuk menyukai semuanya. Akan tetapi, meski kita lebih menyukai makanan yang manis-manis, tidak berarti bahwa yang asin tidak baik dan mesti di buang! Demikian juga halnya, kita bisa saja memilih suatu pendekatan khusus dari Ajaran: apakah itu Theravada, Tanah Suci (Sukhavati), Zen, Vajrayana, dan sebagainya. Kita memiliki kebebasan untuk memilih pendekatan yang paling sesuai, yang dengannya kita merasa paling nyaman. Pun begitu, kita harus tetap mempertahankan pikiran yang terbuka dan menghormati tradisi yang lain. Seiring dengan berkembangnya batin, kita bisa mengerti unsur-unsur dalam tradisi yang lain yang gagal kita pahami pada awalnya.

Singkatnya, apa saja yang berguna dan bermanfaat bagi kita untuk hidup lebih baik, kita praktekkan, dan kita kesampingkan segala yang belum kita mengerti, tanpa perlu menolaknya. Sementara itu, jangan menempelkan identitas padanya dengan cara-cara yang konkret, seperti: "Saya seorang Mahayanis, engkau seorang Theravadin," atau "Saya seorang Buddhis, engkau seorang kr****n." Adalah penting untuk di ingat di sini bahwa kita semua adalah makhluk hidup yang mencari kebahagiaan dan ingin menyelami Kebenaran, yang masing-masing menemukan satu metoda yang sesuai.

Bagaimanapun, mempertahankan pikiran yang terbuka terhadap pendekatan yang berbeda tidak berarti mencampur-adukkan semuanya dengan acak, dan membuat latihan kita seperti cap-cai. Jangan mencampur teknik-teknik meditasi dari tradisi yang berbeda dalam satu latihan meditasi. Dalam satu masa latihan, lebih baik mempraktekkan satu cara saja. Jika kita mengambil sedikit dari teknik ini dan secuil dari teknik itu, tanpa benar-benar mengerti satu teknik pun, hasilnya barangkali hanya kebingungan!

Meskipun ajaran dari suatu tradisi bisa memperkaya pengertian dan latihan dari teknik yang lain, di nasihatkan untuk mempraktekkan hanya satu metoda dalam latihan sehari-hari. Jika kita melakukan meditasi pernafasan hari ini, melafalkan Buddha keesokan harinya, meditasi analitis pada hari ketiga, maka kita tidak akan memperoleh kemajuan dalam satu metoda pun karena tidak adanya kontinuitas dalam latihan tersebut.

Apa saja tradisi Buddhis yang beragam itu?

Secara garis besar, terdapat dua pembagian: Theravada dan Mahayana. Silsilah Theravada (Tradisi Sesepuh), yang berlandaskan pada sutra-sutra berbahasa Pali, tersebar dari India ke Srilanka, Thailand, Myanmar, dan lain-lain. Aliran ini menekankan pada meditasi pernafasan untuk mengembangkan konsentrasi dan meditasi penyadaran tubuh, perasaan, pikiran, dan fenomena, untuk mengembangkan kebijaksanaan. Tradisi Mahayana (Kendaraan Agung), berdasarkan pada kitab suci yang di tulis dalam bahasa Sanserketa - menyebar ke China, Tibet, Jepang, Korea, Vietnam, dan sebagainya. Walaupun dalam aliran Theravada praktek cinta kasih dan belas kasih adalah faktor yang fundamental dan penting, dalam Mahayana cinta kasih dan belas kasih ini di tekankan dengan jangkauan yang jauh lebih luas.

Dalam Mahayana, terdapat beberapa cabang: Aliran Tanah Suci yang menonjolkan pelafalan nama "Amithaba" agar bisa terlahir di Tanah Suci-Nya; Aliran Zen yang memberi tekanan pada meditasi untuk melenyapkan karat-karat dan konsep dari pikiran; Vajrayana (Kenderaan Intan) yang menggunakan meditasi dengan bantuan makhluk-makhluk suci untuk mentranformasikan tubuh dan pikiran kita yang kotor menjadi tubuh dan pikiran seorang Buddha.

Mengapa ada umat Buddha dari aliran tertentu makan daging sedangkan dari aliran lainnya vegetarian?

Pada awalnya, mungkin agak membingungkan bahwa kaum Theravada makan daging, orang Cina Mahayana tidak, dan orang Tibet yang mempraktekkan Vajrayana juga makan daging. Perbedaan dalam praktek ini tergantung kepada perbedaan penekanan pada masing-masing aliran. Penekanan pada ajaran Theravada adalah untuk melenyapkan kemelekatan pada obyek-obyek indria dan untuk menghentikan pikiran tidak seimbang yang berkata, "Saya suka yang ini dan tidak yang itu."

Dengan demikian, ketika bhikshu-bhikshunya pergi ke luar mencari derma, mereka menerima dengan tenang dan rasa terima kasih - apapun yang di berikan, daging atau bukan. Tidak hanya akan menyinggung perasaan orang yang memberi tetapi juga akan merusak latihan bhikshu itu sendiri dan menambah kemelekatan, jika ia berkata, "Saya tidak boleh memakan daging, jadi berilah saya sayur-sayuran yang segar." Dengan demikian, sepanjang daging itu datang bukan karena di pesan olehnya, serta tidak melihat, mendengar, atau curiga bahwa binatang itu di bunuh untuknya, bhikshu itu di perkenankan memakannya. Tetapi, akan lebih bijaksana jika mereka yang memberikan derma ingat bahwa premis dasar dari Ajaran Buddha adalah tidak menyakiti makhluk lain, dan mau memilih apa yang akan di persembahkan secara tepat.

Berpijak pada landasan ketidakmelekatan, belas kasih bagi makhluk lain sangat di tonjolkan, khususnya dalam tradisi Mahayana. Dengan demikian, bagi mereka yang mengikuti ajaran ini, di nasihatkan untuk tidak memakan daging - supaya tidak menimbulkan penderitaan bagi makhluk lain dan untuk mencegah orang menjadi tukang jagal. Selain itu juga, karena getaran yang di timbulkan daging dapat menghalangi seorang siswa biasa dalam mengembangkan belas kasih.

Jalan Tantra atau Vajrayana mempunyai empat kelas. Di kelas bawah, kebersihan dan kesucian sebelah luar di tekankan sebagai teknik bagi praktisi untuk menumbuhkan kesucian sebelah dalam dari pikiran. Jadi, praktisi ini tidak memakan daging, yang di anggap tidak bersih. Sebaliknya, dalam Tantra-yoga tertinggi, berlandaskan pada ketidakmelekatan dan belas kasih, praktisi yang memenuhi syarat melaksanakan meditasi dengan mengambil obyek sistem urat syaraf yang sangat halus, dan untuk itu, unsur-unsur jasmaniah yang kuat sangat di butuhkan. Dengan demikian, daging bahkan di anjurkan bagi orang seperti itu. Pada tingkat ini juga di tekankan transformasi obyek dengan meditasi atas ketanpaintian. Tapi ia, karena meditasi yang mendalam, tidak makan daging dengan serakah bagi kepentingan dirinya sendiri.

Di Tibet, terdapat faktor tambahan untuk di pertimbangkan: berkenaan dengan tempat yang sangat dingin dan iklim yang kejam, terdapat sedikit sekali yang di makan selain gandum tanah, produk-produk susu, dan daging. Untuk bertahan hidup, rakyat di sana mesti makan daging. Yang Mulia Dalai Lama telah mendorong rakyat Tibet dalam pengasingan, yang sekarang tinggal di negeri-negeri yang penuh dengan sayur-mayur dan buah-buahan, untuk menahan diri sedapat mungkin dari memakan daging. Juga, jika seorang siswa mempunyai masalah berat dengan kesehatannya yang mengharuskannya makan daging, maka sang guru mungkin akan membolehkannya. Dengan demikian, setiap orang mesti memeriksa tingkatan latihannya serta kemampuan tubuhnya; dan makanlah dengan bijaksana.

Adanya beragam doktrin Buddhis itu, akhirnya, menjadi bukti kesanggupan Sang Buddha dalam menuntun orang berdasarkan watak dan kebutuhannya. Sungguh amat sangat penting untuk tidak terpecah dalam sekte-sekte, melainkan mesti menghargai semua tradisi beserta praktisinya.

Mengapa sejumlah bhikshu dan bhikshuni memakai jubah kuning sementara yang lain memakai jubah merah tua, abu-abu atau hitam?
Menyebar dari satu negeri ke negeri yang lain, Ajaran Buddha dengan lentur beradaptasi dengan kebudayaan dan cara berpikir masyarakat setempat, tanpa mengubah esensi dan artinya. Jadi tidak perlu di herankan jika corak jubah bhikshu pun bervariasi. Di Srilanka, Thailand, dan Myanmar, jubah bhikshu berwarna kuning dan tanpa lengan, seperti jubah di zaman Sang Buddha. Tetapi, di Tibet bahan pewarna kuning tidak tersedia, sehingga di gunakan warna yang lebih gelap, merah. Sedangkan di Cina, orang beranggapan tidak sopan untuk menampakkan kulit badan, jadi pakaian bhikshu pun di sesuaikan, kostum berlengan panjang dari Dinasti Tang lalu di pilih orang. Kebudayaan tertentu menganggap warna kuning terlalu cerah untuk maksud keagamaan, dan di pakai warna abu-abu. Tetapi, spirit yang di bawa oleh jubah itu tetap di pertahankan dalam bentuk tujuh dan sembilan keping jubah luar berwarna coklat, kuning, dan merah.

Cara paritta di lafalkan di tiap-tiap tempat juga berbeda, tergantung pada kebudayaan dan bahasa di tempat itu. Pun ada alat bunyi-bunyian yang di gunakan, dan cara memberi hormat. Orang Cina berdiri saat mereka membaca paritta, sementara orang Tibet duduk. Variasi ini di sebabkan oleh adaptasi kebudayaan. Adakah penting untuk mengerti bahwa bentuk luar dan cara melakukan sesuatu bukanlah Dharma. Mereka hanya alat untuk membantu kita mempraktekkan Dharma dengan lebih baik sesuai dengan kebudayaan dan tempay dimana kita tinggal. Tetapi, Dharma sejati tidak dapat di lihat dengan mata atau di dengar dengan telinga. Dharma sejati adalah untuk di selami oleh pikiran. Dharma sejati adalah apa yang mesti kita tekankan dan perhatikan, bukannya penampilan luar yang bisa berbeda dari tempat ke tempat

Rabu, 04 Maret 2015

Tradisi Pai Ti Kong Suku Hokkien ( Hari ke-9 Imlek )

Pai Ti Kong
Apa itu Pai Ti Kong ? Tradisi sembahyang kepada Ti Kong di hari ke 9 Imlek ini hanya dilakukan oleh suku Hokkien dan tidak dikenal disuku Hakka ,Tio Ciu atau suku lainnya.Bangsa Tiong Hoa selalu menyebut Thian atau Tuhan sebagai A Kong ( kakek ).
Suku Hokkien melakukan sembahyang ( Pai ) ke Ti Kong ( Dewa /Thian ) pada hari ke 9 Imlek karena suatu legenda. Ada tiga versi mengenai legenda tsb. ( Foto diatas,Kelenteng di Penang dicopas dari internet .)
Versi pertama terjadi pada zaman Dinasti Song, ketika bangsa Mongol menyerang Tiongkok Selatan.Hokkien atau provinsi Fujian merupakan target pasukan Mongol yang merencanakan membunuh semua penghuni daerah tsb. Penyerangan dilakukan tepat pada hari pertama Imlek sehingga suku Hokkien tidak bisa merayakan tahun baru. Mereka sangat ketakutan dan yang bisa dilakukan hanya menyembunyikan diri di perkebunan tebu supaya terhindar dari pasukan Mongol.
Tepat pada hari ke 9 Imlek mereka bersembunyi , pasukan Mongol mungkin juga mulai capek dan berhenti melakukan pencarian dan pergi meninggalkan daerah tsb. Penduduk percaya bahwa berkat perlindungan dari para Dewa, mereka terhindar dari pembunuhan.Dan sejak saat itulah setiap tahun timbul tradisi sembahyang atau Pai Ti Kong pada hari ke 9 Imlek untuk mengucapkan syukur dan terima kasih atas perlindungan –Nya..
Versi lainnya terjadi di abad ke 16 dimana ada sekelompok bajak laut menyerang pantai timur provinsi Hokkien tepat pada hari pertama Imlek. Para bajak laut melakukan penyerangan dari semua jurusan ke daerah Fujian dan membunuh siapa saja yang ditemuinya.
Ketika penduduk sangat ketakutan ,putus asa dan sudah mulai mau menyerah, tiba-tiba muncullah perkebunan tebu dihadapan mereka. Mereka yang sempat sembunyi di kebun tebu selamat dari pembunuhan dan hari itu tepat hari ke 9 Imlek. Orang-orang yang selamat dari pembunuhan itu percaya bahwa mereka telah mendapat pertolongan Ti Kong. Untuk menunjukkan kesetiaan mereka kepada Ti Kong, maka sejak itu suku Hokkien melakukan tradisi sembahyang pada hari ke 9 Imlek dengan batang tebu.
Versi terakhir legenda ini melibatkan Jendral Ming yang terkenal karena memiliki kemampuan berbicara dan mengerti dialek lokal hanya dengan meminum air dari provinsi tsb.Pada zaman itu dia ditugaskan menghabiskan setiap orang asing yang bukan penduduk di setiap provinsi. Dia dengan kemampuan khususnya sanggup membedakan mana penduduk asli dan mana yang asing.
Ketika mengunjungi provinsi Hokkian tepat pada hari pertama Imlek, pembantunya salah memberikannya air dari provinsi lain sehingga dia tidak mengerti bahasa yang diucapkan oleh penduduk Hokkian. Hal tsb. membuatnya yakin bahwa orang-orang tsb. bukan orang Hokkian. Keluarlah perintah untuk membunuh semua penduduk disana. Pembunuhan ini berlangsung sampai hari ke 9 Imlek , ketika dia meminum air sumur disana dan mendadak bisa bicara dan mengerti bahasa Hokkian. Jenderal Ming langsung sadar bahwa pasukannya telah salah membunuh dan segera memberikan perintah menghentikan pembantaian tsb. Mulai dari itu penduduk Hokkien percaya bahwa mereka telah dilindungi oleh Ti kong sehingga terjadi mukzijat tsb .Dan oleh karena itu sampai sekarang orang Hokkien selalu melakukan tradisi Pai Ti Kong pada hari ke 9 Imlek untuk mengucap syukur dan terima kasih kepada Ti Kong.

Tradisi Pai Ti Kong Suku Hokkien ( Hari ke-9 Imlek )

REP | 31 January 2012 | 19:40 Dibaca: 910   Komentar: 0   0
Pai Ti Kong
Apa itu Pai Ti Kong ? Tradisi sembahyang kepada Ti Kong di hari ke 9 Imlek ini hanya dilakukan oleh suku Hokkien dan tidak dikenal disuku Hakka ,Tio Ciu atau suku lainnya.Bangsa Tiong Hoa selalu menyebut Thian atau Tuhan sebagai A Kong ( kakek ).
Suku Hokkien melakukan sembahyang ( Pai ) ke Ti Kong ( Dewa /Thian ) pada hari ke 9 Imlek karena suatu legenda. Ada tiga versi mengenai legenda tsb. ( Foto diatas,Kelenteng di Penang dicopas dari internet .)
Versi pertama terjadi pada zaman Dinasti Song, ketika bangsa Mongol menyerang Tiongkok Selatan.Hokkien atau provinsi Fujian merupakan target pasukan Mongol yang merencanakan membunuh semua penghuni daerah tsb. Penyerangan dilakukan tepat pada hari pertama Imlek sehingga suku Hokkien tidak bisa merayakan tahun baru. Mereka sangat ketakutan dan yang bisa dilakukan hanya menyembunyikan diri di perkebunan tebu supaya terhindar dari pasukan Mongol.
Tepat pada hari ke 9 Imlek mereka bersembunyi , pasukan Mongol mungkin juga mulai capek dan berhenti melakukan pencarian dan pergi meninggalkan daerah tsb. Penduduk percaya bahwa berkat perlindungan dari para Dewa, mereka terhindar dari pembunuhan.Dan sejak saat itulah setiap tahun timbul tradisi sembahyang atau Pai Ti Kong pada hari ke 9 Imlek untuk mengucapkan syukur dan terima kasih atas perlindungan –Nya..
Versi lainnya terjadi di abad ke 16 dimana ada sekelompok bajak laut menyerang pantai timur provinsi Hokkien tepat pada hari pertama Imlek. Para bajak laut melakukan penyerangan dari semua jurusan ke daerah Fujian dan membunuh siapa saja yang ditemuinya.
Ketika penduduk sangat ketakutan ,putus asa dan sudah mulai mau menyerah, tiba-tiba muncullah perkebunan tebu dihadapan mereka. Mereka yang sempat sembunyi di kebun tebu selamat dari pembunuhan dan hari itu tepat hari ke 9 Imlek. Orang-orang yang selamat dari pembunuhan itu percaya bahwa mereka telah mendapat pertolongan Ti Kong. Untuk menunjukkan kesetiaan mereka kepada Ti Kong, maka sejak itu suku Hokkien melakukan tradisi sembahyang pada hari ke 9 Imlek dengan batang tebu.
Versi terakhir legenda ini melibatkan Jendral Ming yang terkenal karena memiliki kemampuan berbicara dan mengerti dialek lokal hanya dengan meminum air dari provinsi tsb.Pada zaman itu dia ditugaskan menghabiskan setiap orang asing yang bukan penduduk di setiap provinsi. Dia dengan kemampuan khususnya sanggup membedakan mana penduduk asli dan mana yang asing.
Ketika mengunjungi provinsi Hokkian tepat pada hari pertama Imlek, pembantunya salah memberikannya air dari provinsi lain sehingga dia tidak mengerti bahasa yang diucapkan oleh penduduk Hokkian. Hal tsb. membuatnya yakin bahwa orang-orang tsb. bukan orang Hokkian. Keluarlah perintah untuk membunuh semua penduduk disana. Pembunuhan ini berlangsung sampai hari ke 9 Imlek , ketika dia meminum air sumur disana dan mendadak bisa bicara dan mengerti bahasa Hokkian. Jenderal Ming langsung sadar bahwa pasukannya telah salah membunuh dan segera memberikan perintah menghentikan pembantaian tsb. Mulai dari itu penduduk Hokkien percaya bahwa mereka telah dilindungi oleh Ti kong sehingga terjadi mukzijat tsb .Dan oleh karena itu sampai sekarang orang Hokkien selalu melakukan tradisi Pai Ti Kong pada hari ke 9 Imlek untuk mengucap syukur dan terima kasih kepada Ti Kong.