Senin, 06 Juli 2015

Loe Gue End, Samsara!



Loe Gue End, Samsara!
Siaowan

Dalam memberikan pemahaman Dhamma yang lebih mendalam pada kehidupan para umat, Prasadha Jinarakkhita Buddhis Institute (PJBI) kembali menghadirkan ceramah Dharma Duo Gurus yang kali ini diadakan pada Minggu (21/6/2015) dalam rangka perayaan Waisak 2559 BE/2015. Seperti biasa, pembicara pertama diisi oleh Ashin Kheminda sebagai tuan rumah, sedangkan pembicara kedua menghadirkan Venerable Guo Jun dari Vihara Mahabodhi (Puti Ge), Singapura. Keduanya membicarakan tema “1 Samsara 1000 Wajah”.
Sebelum ceramah dimulai, muda-mudi Dhammagavesi di PJBI yang belum lama terbentuk menampilkan drama “Lentera Hidupku” yang amat memikat hadirin dengan memberikan pemahaman yang benar akan arti berdana.
“Tujuan belajar Dhamma adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan kebahagiaan kita. Orang-orang mengejar kebahagiaan kekal padahal yang mereka dapat adalah penderitaan. Kesuksesan apa pun yang kita raih akan selalu dihantui ketidakpuasan yang pada akhirnya menjauhkan diri dari kebahagiaan,” ujar Ashin Kheminda.
Ketika kehidupan sudah stabil, orang cenderung cari selingkuh. Ketika sukses dalam karir, orang juga cenderung bekerja sampai larut malam demi anak dan istri tapi nyatanya toh juga tidak punya cukup waktu bersama dengan anak dan istrinya untuk membahagiakan mereka. Seseorang yang berada di puncak kesuksesan seperti manajer perusahaan mobil TATA yang besar pun bisa bertengkar dengan istri yang amat dicintainya dan malah memilih bunuh diri.
Ashin pun memberikan solusinya, “Kita harus memahami cara kerja hati dan pikiran. Jika kita dikuasai oleh keserakahan dan kemarahan, maka kita akan kehilangan obyektivitas kita. Pikiran yang tidak obyektif akan berakhir pada penderitaan. Persepsi kita terus berubah oleh karena itu jangan percaya pada persepsi karena terus berubah. Semua tidak kekal. Jadi, janganlah melekat karena segala sesuatu terus berubah. Yang tidak enak akan jadi enak lagi, yang enak bisa jadi tidak enak. Pemahaman bahwa semua anatta (kosong) dan selalu sabar (akan) membuat Anda sabar terhadap penderitaan, berdaya tahan dan damai. Loe Gue End dengan Samsara!”
Sesi kedua dilanjutkan oleh Venerable Guo Jun dengan piawai, “Samsara punya banyak wajah. Lahir, tua, sakit, mati, lalu berulang inilah samsara biologis. Semi, panas, gugur dan dingin lalu muncul, rusak dan lenyap adalah samsara metafisika. Lalu samsara ada pula yang muncul dalam wujud emosi, pikiran mengembara yang muncul dan lenyap. Ini adalah samsara psikologis. Bagi banyak orang, uang dan status adalah yang terpenting. Dan tanpanya, hidup tak ada maknanya.”
Venerable melanjutkan, segala penderitaan ini muncul karena kita tidak “hidup” (alive) untuk mendapat sebuah kehidupan (a life). Kebanyakan orang di dunia ini “tidak hidup (alive)”, semuanya bagaikan mayat hidup, menjalankan kehidupan secara mekanis seperti robot. “Buddha berjalan di muka bumi selama 80 tahun dengan benar-benar hidup (alive), sedangkan sebagian besar orang di muka bumi tidak benar-benar hidup,” tuturnya.
“Karena semua orang bangun, belajar, makan, tidur, belanja, kerja, cari pacar, menikah dan pensiun maka saya ya ikutan bangun, belajar, makan, tidur, belanja, kerja, cari pacar, menikah dan pensiun. Semua orang begitu, ya saya begitu juga. Kalian hidup bukan menjalani hidup kalian melainkan menjalani hidup orang lain,” ujar Venerable memberi perumpamaan.
Di era modern ini, semua orang melekat pada alat komunikasi atau handphone mereka, berkomunikasi hanya lewat layar. Perasaan yang timbul dari hubungan langsung antar manusia berubah menjadi emoticon-emoticon di layar telepon genggam. Semuanya menjadi monoton. Dari monoton menjadi keberadaan yang tawar yaitu sebuah keberadaan yang tidak terhubung satu sama lainnya, tertutup. “Kita bisa punya hunian yang besar tetapi apakah kita benar-benar punya ‘rumah’? ‘Rumah’ itu hidup karena adanya interaksi,” tandas Venerable.
“Jika kita tidak menyadari makna hidup maka kita berada dalam samsara. Kita telah terlahir di 6 alam samsara dan telah punya banyak wajah. Bangkit lalu terjerumus, lalu bangkit, dan terjerumus kembali. Para makhluk seringkali tidak berdaya akan karma dan hanya terseret oleh karma. Peselancar yang berbakat dapat menaiki ombak dengan terampil, maka seperti itulah bagaimana kita seharusnya menghadapi ombak samsara. Kita tidak tersapu olehnya.”
Solusi yang ditawarkan Venerable Guo Jun adalah kita harus memahami batin kita sendiri yang menyebabkan samsara terjadi. Jika kita bisa terbebas dari perangkap persepsi dualisme baik-buruk, maka pembebasan dari samsara (penderitaan) pun akan dapat digapai.